Pintu yang Dicat
Di kota kecil Calamary, ada sebuah pintu tua yang lapuk berdiri di tepi taman yang terlupakan. Pintu Itu tidak terhubung dengan bangunan mana pun, melainkan berdiri tegak sendiri, dikelilingi oleh bunga liar dan rumput tinggi. Penduduk desa menyebutnya "Pintu Berwarna," karena warna-warninya yang cerah—biru, merah, dan kuning—seolah menari di bawah sinar matahari, kontras yang mencolok dengan kebosanan lanskap sekitarnya.
Legenda mengatakan bahwa pintu itu adalah portal ke dunia lain, tempat di mana mimpi menjadi kenyataan. Anak-anak saling menantang untuk menyentuhnya, sementara orang dewasa menganggap cerita-cerita itu hanya sekadar folklore. Namun, setiap malam saat senja, pintu itu tampak berkilau, memancarkan cahaya hangat yang memanggil mereka yang cukup berani untuk mendekat.
Suatu malam musim gugur yang segar, seorang gadis muda bernama Faticia menjelajahi taman. Dia adalah seorang seniman sejati, dengan imajinasi liar dan buku sketsa yang selalu terselip di bawah lengannya. Saat dia berjalan-jalan di antara rumput tinggi, dia melihat pintu dan merasakan tarikan tak terjelaskan ke arahnya. Warna-warna itu tampak berbisik padanya, mendorongnya untuk mendekat.
Dengan campuran kegembiraan dan ketakutan, Faticia mendekati pintu. Dia meraih dan meletakkan telapak tangannya di permukaan yang dingin dan dicat. Seketika, dia merasakan aliran kehangatan menyebar melalui jarinya, dan warna-warna mulai berputar dan bergeser, mengungkapkan gambar-gambar lanskap fantastis—hutan lebat, sungai berkilau, dan langit yang dipenuhi bintang-bintang berputar.
Jantung Faticia berdebar-debar. "Bagaimana jika itu nyata?" pikirnya. Mengambil napas dalam-dalam, dia memutar gagang pintu. Dengan keterkejutannya, pintu itu berderit terbuka, mengungkapkan cahaya cemerlang yang mengalir keluar seperti madu. Tanpa berpikir dua kali, dia melangkah masuk.
Di sisi lain, Faticia mendapati dirinya berada di dunia yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Udara dipenuhi dengan aroma manis bunga yang sedang mekar, dan langit berwarna ungu cerah. Makhluk-makhluk dari segala bentuk dan ukuran berkeliaran dengan bebas—hewan-hewan yang bisa berbicara, peri-peri yang penuh fantasi, dan bahkan raksasa lembut yang melambaikan tangan padanya dari kejauhan.
"Selamat datang, seniman!" kata seorang peri kecil yang berkilau dan melayang ke sampingnya. "Kami sudah menunggu seseorang seperti kamu!"
Mata Faticia membelalak penuh keheranan. "Menunggu Aku? Mengapa?"
"Kamu memiliki bakat imajinasi," jelas peri itu. "Di sini, impianmu bisa menjadi kenyataan. Kami membutuhkan kreativitas mu untuk mengembalikan warna dunia kami. Mereka mulai memudar, dan hanya seniman sejati yang bisa mengembalikannya."
Kegembiraan menggelegak di dalam dirinya. “Apa yang perlu aku lakukan?”
"Ikuti kami!" kata peri itu, memimpin Faticia melalui pemandangan yang menawan. Bersama-sama, mereka mengunjungi ladang bunga yang membutuhkan warna-warna cerah, pohon-pohon yang merindukan desain yang rumit, dan sungai-sungai yang mendambakan pantulan yang berkilau. Dengan setiap sapuan kuasnya, Lily menyaksikan dunia berubah di depan matanya, meledak dengan kehidupan dan warna.
Hari-hari berlalu menjadi minggu, dan Faticia kehilangan jejak waktu. Dia melukis dan menciptakan, merasa lebih hidup daripada sebelumnya. Makhluk-makhluk di daratan menjadi temannya, dan dia mempelajari cerita-cerita mereka, masing-masing lebih ajaib daripada yang terakhir.
Tetapi saat matahari mulai terbenam suatu malam, memancarkan cahaya keemasan di atas tanah, peri itu mendekati Faticia dengan hati yang berat. "Kamu harus pulang, seniman tersayang. Pintu akan segera ditutup, dan kamu tidak bisa tinggal selamanya."
Faticia merasakan sebersit kesedihan. “Tapi aku tidak mau pergi! Tempat ini terasa seperti rumah."
Peri itu tersenyum lembut. "Kamu bisa membawa keajaiban ini bersamamu. Setiap kali kamu melukis, ingatlah apa yang telah kamu ciptakan di sini. Imaginasi mu juga bisa memberi warna pada dunia mu."
Dengan hati yang berat, Faticia mengangguk. Dia melirik terakhir kali ke pemandangan yang berwarna-warni itu, mengetahui bahwa dia akan sangat merindukannya. Peri itu menuntunnya kembali ke pintu, dan saat dia melangkah masuk, dia merasakan kehangatan warna-warna itu menyelimuti dirinya sekali lagi.
Kembali di Calamary, matahari terbenam, memancarkan cahaya lembut di atas taman. Pintu Berwarna berdiri diam, warnanya masih cerah. Faticia melihat ke bawah pada buku sketsnya, yang kini dipenuhi dengan ide-ide baru dan inspirasi.
Sejak hari itu, dia melukis dengan penuh semangat, membawa kehidupan dan warna ke kota kecilnya. Dan setiap malam, saat dia duduk di dekat jendelanya, dia akan melirik ke taman, mengetahui bahwa di balik Pintu Berwarna, dunia sihir menunggu kepulangannya.