Sudah kali keempat bunga mawar merah yang berisi note tulisan manis terdapat di halaman rumah Alice.
Gadis itu mengembuskan napas. Merasa kesal karena keempat kalinya juga dia gagal mengetahui siapa pelaku di balik ini semua.
Diamatinya bunga beserta note bertulis "Have a great day, Alice." itu dengan seksama. Masalahnya adalah, tulisan ini seperti tidak asing. Dia pernah melihatnya. Tapi, di mana dan siapa pelakunya?
"Ck. Dasar menyebalkan." Alice berjalan sambil menggerutu, lalu duduk di kursi teras rumah. Menunggu Ayahnya untuk mengantarkan sekolah.
Sekali lagi gadis itu melihat bunga mawar tersebut, lalu menggeleng lesu. "Sebenarnya ini sangat indah. Aku mulai membayangkan bahwa ada seseorang yang menyukaiku secara diam-diam. Ah, itu sangat menakjubkan."
Setelahnya Alice terdiam, merapatkan bibir dengan raut penuh sesal. "Huh ... tapi masalahnya aku tidak menyukai bunga," keluhnya. "Akan lebih baik jika orang tersebut mengirimkan sebungkus roti dan susu saja. Daripada bunga seperti ini tidak bisa dimakan."
***
Buk!
"Wow, Alice. Ada apa dengan wajah singa itu? Apa ada hal buruk terjadi?" Mata Jack menyipit mengamati raut muka Alice dan bunga yang tadi diletakkan temannya itu secara bergantian.
"Hey, lihat. Kaulah wanita paling aneh yang pernah kutemui, Alice." Jack berkata geli disertai rasa heran.
"Apa maksudmu, Jack? Aku sedang tidak ingin berpikir kau tau." Pandangan Alice menyusuri Kafetaria yang masih sunyi pagi ini.
"Seorang wanita akan sangat senang jika diberi bunga beserta note manis seperti ini di pagi hari. Tapi, mengapa kau tidak?" Jack membalas sambil menatap Alice lalu bunga mawar tersebut secara bergantian. "Sepanjang aku mengenalmu, kupikir selama ini kau memang seorang wanita."
Alice terbelalak. Spontan dia menendang kaki Jack di bawah meja karena geram. "Hey, apa kau pikir selama ini aku adalah seorang lelaki!?"
"Aduh." Jack meringis seraya mengusap kakinya. "Alice, setelah merasakan tendanganmu. Sepertinya aku percaya bahwa kau memang seorang lekaki. Ini sangat sakit kau tau." Alice mendengkus lalu memutar bola matanya kesal.
Gadis itu meredam emosinya dengan menarik napas panjang berulang kali. Lalu menyandarkan punggung di kursi. Dari raut mukanya tampak sekali bahwa dia sedang frustasi.
"Aku sungguh bingung, Jack. Kau tau, dalam hidup aku tidak ingin berhutang budi pada siapa pun. Namun, dengan adanya kiriman bunga mawar ini setiap pagi. Secara tidak langsung aku sudah berhutang budi kepada pengirim itu." Alice menatap Jack penuh sesal.
Ini yang tidak dia inginkan. Alice tidak suka berhutang budi. Walau kiriman bunga mawar ini bukan dia yang meminta. Tapi tetap saja, pengirim itu mengirimnya dengan percuma.
Suatu saat, Alice yakin bahwa pengirim itu akan meminta sesuatu sebagai imbalan dari tindakannya hari ini. "Tidak ada yang gratis di dunia ini, Alice," batin Alice berucap.
Jack menggeleng takjub sekaligus tak percaya. "Kau lucu sekali, Alice. Bagaimana bisa kau berpikir sangat jauh? Dekatkanlah lagi pikiranmu, ayo. Kebiasaan burukmu adalah: kau suka sekali berpikir buruk terhadap suatu hal baik yang datang pada dirimu. Kau berpikir bahwa: tidak ada kejadian baik yang bener-bener terjadi di dunia ini tanpa ada maksud buruk setelahnya."
Anggukan pelan Alice menjawab pernyataan Jack. Melihat itu Jack mengembuskan napas, sedikit frustasi menghadapi sikap Alice satu ini.
"Dengarkan aku." Tangan Jack terulur, membuat perintah seolah-olah Alice harus memperhatikannya dengan seksama. "Alice, tidak semua hal yang terjadi di dunia ini berakhir buruk. Harus ada keseimbangan di sana. Tuhan menciptakan rasa sedih dan bahagia sebagai pelengkap dari peristiwa yang akan kita alami dalam hidup ini. Selebihnya adalah, terserah bagaimana kita menyikapi hal itu. Jika kau terus menyelam dalam pikiran burukmu, maka rasakanlah, kau akan tenggelam ke palung laut hitam. Jika kau melibatkan pikiran baik bersama pikiran burukmu, maka kau akan lebih mudah dalam menjalani hari-harimu berikutnya. Karena mereka telah seimbang, Alice." Untuk sesaat Jack diam.
"Lalu, memangnya kenapa kalau kau mendapatkan akhir yang buruk? Ingatlah selalu Alice, Tuhan tidak akan menciptakan suatu kejadian tanpa tidak melibatkan pelajaran di sana. Ambillah satu hal baik pada akhir yang buruk itu." Perkataan Jack setelahnya seperti tamparan untuk Alice. Gadis itu hanya diam, masih menyimak dengan pikiran yang perlahan terbuka.
Bunga mawar itu digenggam Jack. Digoyangkannya pelan lalu diletakkan kembali. "Ayolah Alice. Ini hanya masalah kecil, kau tak perlu membesarkannya. Harusnya kau cukup tersenyum manis, berterima kasih pada Tuhan lalu menerima dengan senang hati atas hadiah kecil seperti ini di setiap pagimu."
Alice menggeleng, dia tak menerima hal itu.
"Aku tak ingin, Jack. Aku tau ini sangat berlebihan dan kekanakan. Tapi, apa kau tau? Bagaimana jika suatu saat nanti pengirim itu datang lalu meminta imbalan atas apa yang dilakukannya hari ini?"
Kedua kalinya Jack dibuat terpana oleh jalan pikir Alice. "Gadis ini terlalu banyak menonton drama," pikirnya. "Lalu, apa masalahnya?"
"Hey, itu jelas menjadi masalah, Jack! Bagaimana jika dia meminta hal buruk untuk bunga-bunga yang sudah dikirimkan beberapa hari ini!?" Alice bertanya dengan menggebu-gebu.
"Lalu, jika ternyata dia meminta hal baik. Apa yang akan kau lakukan?" Jack tersenyum miring, lalu menggeleng.
"Alice-Alice, selalu ingatlah bahwa ada dua kemungkinan yang akan terjadi dari suatu peristiwa. Selama ini, kau hanya memusatkan perhatianmu pada yang buruk saja. Kau lupa bahwa ada kemungkinan hal baik juga akan terjadi. Jangan terlalu sering membuat penyakit untuk diri sendiri melalui pikiran burukmu itu, Alice. Begitu banyak manusia di bumi ini yang berjuang ingin sembuh dari penyakitnya. Sementara kau di sini malah dengan senang hati merelakan dirimu untuk sakit."
Mendengar itu Alice mengerjap, merapatkan bibirnya. "Bagaimana Jack bisa tau?" pikirnya.
Jack hanya terkekeh geli. Lalu selanjutnya dia menatap serius pada Alice. "Alice, apa kau tau satu hal? Mungkin saja selama ini kau tak menyadarinya, bahwa: kau memiliki arti sangat penting bagi kehidupan seseorang di luar sana."
***
"Anders!" Panggilan Alice membuat lelaki bernama Anders itu berhenti.
"Aku ingin menanyakan sesuatu padamu." Alice berkata setelah sampai di depan Anders. Napas gadis itu masih putus-putus, sementara Anders hanya memperhatikannya dalam diam.
"Satu hal yang harus kau tau. Aku sedang tak ingin menerima pertanyaan atau menjawab pertanyaan apa pun itu." Mendengarnya membuat Alice sedikit tersinggung. "Jadi sekarang, lebih baik kau pergi." Anders mengusir. Menatap Alice dengan tajam. Kebiasaan yang selama ini dia lakukan jika berbicara dengan orang lain.
Menurut teman-temannya, Anders terlalu dingin dan misterius. Oleh sebab itu, Anders hanya memiliki satu teman dekat saja di sekolah. Ditambah gadis berisik, cerewet, dan menyebalkan yang selalu mengacaukan hari-harinya: yaitu Alice.
"Bagian mana dari kata 'pergi' yang tak dapat kau mengerti, Alice?" Anders bertanya sarkas sambil menaikkan satu alisnya.
Dengan tegas Alice menggeleng. "Aku tidak mau pergi sebelum mendapatkan jawaban."
Lihat, gadis ini sungguh keras kepala.
Anders sudah yakin bahwa ini tidak akan mudah.
Melihat Anders hanya diam membuat Alice mengulurkan bunga mawar tersebut.
"Apa kau yang mengirimkan bunga mawar ini setiap pagi ke halaman rumahku?"
"Apa kau sakit?" Punggung tangan Anders sudah menempel di dahi, Alice. Lelaki itu hanya mengabaikan pertanyaan sebelumnya.
"Aku sedang tak ingin bercanda, Anders," balas Alice dengan wajah masam.
Tanpa memperdulikan perkataan Alice tiba-tiba Anders memajukan wajahnya. Lelaki itu masih terlihat santai padahal jarak wajah mereka sangat dekat.
Alice gugup! Membuat bulu mata lentiknya mengerjap.
"Apa kau melihat ada setitik raut bercanda di wajahku, Alice?" Wajah Anders bertanya serius. Setelah itu dia mundur lalu melihat sekitar.
Sial! Ternyata sejak tadi mereka menjadi tontonan di koridor.
"Ck. Lain kali jika ingin menanyakan sesuatu, gunakan otak kecilmu itu untuk berpikir secara rasional terlebih dahulu." Anders mengumpat.
Tak lama setelah itu dia tersenyum miring.
"Apa kau tau Alice? Aku tak pernah menggunakan cara menggelikan saat sedang mencintai seorang gadis." Lalu lelaki itu mengembuskan napas gusar. "Sudahlah, pikiran pendekmu itu tidak akan sampai ke sana dan kau tak akan mengerti. Menyebalkan sekali, kau sudah membuang waktu berhargaku pagi ini."
Sementara itu Alice bergeming. Dia masih syok! Bagaimana bisa Anders memperlakukannya seperti tadi!?
Pandangan Alice mengikuti Anders yang semakin jauh. Mengabaikan detak jantungnya yang berdebar keras.
***
Mawar yang tadinya begitu indah kini telah cacat. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Alice? Gadis itu duduk di kursi taman yang dikelilingi oleh kelopak mawar.
Satu persatu kelopak mawar terbang tertiup angin lantas pergi menjauh. Meninggalkan Alice yang masih berkutat. "Sebenarnya siapa pengirim misterius itu?" Alice bermonolog. Dia resah sekali.
Alasan mengapa dia datang dan bertanya pada Anders adalah karena dia pernah melihat lelaki itu pagi-pagi berjalan di sekitar rumahnya. Kejadian itu memang sudah lama. Tapi, tak ada salahnya bukan jika dia menyatukan serpihan-serpihan kejadian untuk mencari sebuah jawaban?
Sayangnya, dugaan itu pun berakhir buruk. Justru Alice sendirilah yang menderita saat dia bertanya tadi.
Anders memang keterlaluan!
***
"Tidak bisakah sehari saja kau tak menampakkan wujudmu di hadapanku?" Pertanyaan sarkas itu keluar dari bibir Jack yang lihai mengumpat. Rautnya terlihat tak senang melihat kehadiran seseorang di tempat itu.
"Jika bukan karena sebuah kepentingan aku tak akan datang ke tempat ini." Dengan santai Anders menjawab. Matanya menatap Jack dengan tajam.
"Oh, wow. Seberapa 'pentingnya' urusan itu sampai seorang Anders mau menginjakkan kaki ke depanku?" Jack tersenyum miring, mengejek.
Anders bergeming. Membuat suasana senyap sesaat. "Aku mengaku kalah."
Sontak pandangan Jack mengarah pada Anders.
"Apa maksudmu?"
Terdengar suara kekehan pilu yang keluar dari bibir Anders. Pandangannya terlempar ke sembarang arah.
"Apa kau tau? Dari dulu aku tak pernah merasakan kasih sayang sebuah keluarga, khususnya dari kedua orang tua. Menyakitkan rasanya saat liburan musim panas atau liburan musim dingin tiba, anak-anak seusiaku pergi berlibur bersama orang tuanya. Sementara aku hanya berdiam diri di rumah. Berharap kedua orang tuaku datang, menemui dan menjemputku."
Tatapan Anders kembali pada Jack. Ada setitik kesedihan terpancar dari mata lelaki itu. Dia begitu rapuh.
"Apa yang kuharapkan dari dua orang dewasa yang bertengkar, berteriak, saling menyakiti lalu berpisah? Saat itu, aku hanya menginginkan mereka kembali bersama. Ah, konyol sekali." Anders kembali terkekeh, begitu lirih dan sedih.
Sementara Jack langsung mengalihkan pandangan, tak suka melihat kesedihan di depannya saat ini.
"Sampai bertahun-tahun berlalu. Aku menjalani kehidupan tanpa warna, hingga akhirnya kembali menemukan sebuah warna dari seorang gadis."
Anders mengerjap. "Jack, kau sudah satu langkah di depanku. Selesaikan langkah terakhir, dan berbahagialah." Melihat Jack hanya bergeming membuat Anders berdecak kesal.
"Ck. Aku tau kau yang mengirimkan bunga mawar itu bukan?"
Mendengar hal itu sontak Jack tertawa lebar lalu mengangguk. "Ya, aku yang mengirimkan itu. Kau tau? Aku sangat mencintai Alice. Saat pertama kali mengenalnya, aku bertekad akan selalu menemani dan bersamanya sampai kapan pun. Alice yang begitu berisik, tapi aku menyukainya. Alice yang ceria setiap waktu, walau terkadang aku melihat ada kesedihan dalam dirinya. Alice yang ceroboh membuatku selalu menegurnya."
Mata tajam Jack menatap Anders sambil tersenyum sinis. "Kau berbuat curang dengan menjual cerita sedihmu kepadaku. Tapi, apa peduliku? Itu hanya cerita sedih yang kau rasakan sendiri. Masa bodoh. Aku sama sekali tidak peduli hal itu."
Sedetik kemudian tatapan Jack berubah menjadi serius. "Tapi, akan menjadi 'masalahku' jika suatu saat nanti Alice hidup bersama dengan orang yang tidak dia cintai. Aku tak bisa memaksakan satu hal." Ada jeda beberapa saat membuat suasana begitu sunyi, hingga kemudian Jack berkata, "Alice tidak mencintaiku."
Anders terkesiap. "Bagaimana bisa kau tau?"
"Aku melihat dan merasakannya sendiri. Ini terdengar konyol memang, tapi selanjutnya aku akan membiarkan orang yang kucintai berjalan bersama dengan orang yang dicintainya juga. Ya, cinta tak harus memiliki bukan? Setidaknya, aku bersyukur karena pernah menaruh rasa pada gadis periang seperti Alice. Dia pernah menjadi bagian paling indah dari kisah hidupku."
Percayalah, tidak ada kata baik-baik saja setelah harus merelakan seseorang. Begitu pula dengan Jack, tidak ada yang tau seberapa hancurnya lelaki itu saat ini.
Melanjutkan hidup adalah suatu 'keharusan.' Namun, melanjutkan hidup bersama dengan orang yang kita cintai adalah suatu 'keberuntungan.' Tidak semua orang bisa mendapatkan 'keberuntungan hidup' seperti itu.
Sebab, terkadang hidup dan cinta memang dua hal yang lucu. Tidak ada makhluk hidup tanpa tidak merasakan cinta. Tapi, tidak semua makhluk yang merasakan cinta bisa hidup bersama dengan sesuatu yang mereka cintai. Itu dua hal yang berbeda, dan Jack tidak mendapatkan 'keberuntungan hidup' seperti itu.
Pada akhirnya, Jack lebih memilih mengambil 'suatu pelajaran' dari kejadian buruk hari ini. Jack berharap semoga hal ini dapat menjadi suatu ingatan indah untuk diceritakan kembali di masa berikutnya.
Beberapa saat kemudian hanya senyap menemani mereka. Sampai akhirnya dengan nada ragu Anders bertanya, "Lalu ... bagaimana dengan seseorang yang dicintai Alice?"
Untuk pertama kali dalam hidup, setelah masa kelamnya dulu. Anders sangat berharap bahwa hari ini dia akan kembali menemukan kebahagiaannya.