Yanto duduk di bangku kayu tua yang sudah mulai rapuh di salah satu sudut taman kota. Taman itu masih dipenuhi suara canda tawa anak-anak yang berlarian, ditemani oleh orang tua dan pasangan yang berjalan santai di sekitar. Suasana senja dengan langit yang memancarkan semburat oranye membuat tempat ini terasa damai. Tapi, di hati Yanto, ada kekosongan yang tak bisa ia hilangkan.
Di tangannya, ia menggenggam erat sebuah surat yang sudah lusuh. Surat itu bukan miliknya, melainkan milik seseorang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Wina, nama yang terukir jelas di pikirannya. Wanita yang sudah lama menghilang, tanpa meninggalkan jejak, kecuali surat ini.
Yanto memandangi kertas itu dengan tatapan kosong. Ia sudah membaca isi surat ini berkali-kali, sampai-sampai setiap kata terpatri di dalam ingatannya. Isinya bukanlah ungkapan cinta, melainkan kata-kata perpisahan yang begitu dingin. Surat itu adalah pesan terakhir yang ia terima dari Wina sebelum ia menghilang dari kehidupannya.
"Aku harus pergi, Yanto. Jangan cari aku lagi."
Kata-kata itu selalu menghantui Yanto, seperti rindu yang tak pernah bisa tersampaikan. Setiap sore, ia selalu datang ke taman ini, berharap Wina akan muncul kembali. Tapi harapan itu semakin memudar seiring berjalannya waktu. Yang tersisa hanya kenangan dan surat yang kini mulai menguning.
Hembusan angin sore menggoyangkan daun-daun pohon, seolah-olah mengiringi lamunan Yanto. Dia menutup matanya sejenak, mencoba mengingat senyum Wina, suara lembutnya, dan tawa ceria yang pernah menghiasi hari-harinya. Tetapi semua itu sekarang hanyalah bayangan yang semakin jauh.
Yanto menghela napas panjang. Surat itu ia lipat kembali dengan hati-hati, menyimpannya di saku jaketnya. Meskipun rasa rindunya tak pernah hilang, ia tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Namun, di dalam hatinya, ada bagian yang tak pernah bisa dia tinggalkan—rindu yang selalu menghantuinya, rindu pada Wina yang entah di mana.
Hari mulai gelap, dan Yanto tahu sudah waktunya kembali ke rumah. Namun, di langkah-langkahnya yang perlahan menjauh dari taman itu, ia masih membawa kenangan dan rasa rindu yang tak pernah tuntas.
Yanto adalah pria yang sederhana. Di usia 30 tahun, hidupnya tidak banyak mengalami perubahan besar sejak ia bekerja sebagai montir di bengkel kecil milik keluarganya di pinggiran kota. Setiap hari, ia menghabiskan waktunya memperbaiki motor dan mobil yang dibawa oleh para pelanggan. Di bengkel, Yanto dikenal sebagai orang yang telaten dan jujur, meskipun sering kali lebih banyak diam.
Hidup Yanto bisa dibilang tenang, tetapi terasa hampa. Tak ada yang benar-benar istimewa, tak ada kegembiraan besar, dan tak ada orang yang spesial dalam hidupnya. Hingga suatu hari, seorang wanita yang mengubah segalanya datang ke bengkelnya.
Hari itu, bengkel sedang sepi. Yanto sedang sibuk memperbaiki mesin motor tua ketika ia mendengar suara sepeda motor berhenti di depan bengkelnya. Dengan wajah sedikit berdebu, ia menoleh dan melihat seorang wanita turun dari motor matic yang tampak rusak. Wanita itu berjalan dengan langkah gugup ke arah Yanto, berusaha mendorong motor yang tampaknya tidak mau menyala lagi.
"Mas, bisa tolong lihat motor saya? Tiba-tiba mati di jalan," ujar wanita itu, dengan senyum tipis yang mengembang di wajahnya.
Yanto mengangguk pelan, lalu mendekat ke arah motor tersebut. Sekilas, ia menatap wanita itu. Rambutnya hitam panjang, diikat rapi, dan wajahnya memancarkan kelembutan. Wanita itu mengenakan baju sederhana, namun tetap terlihat anggun. Ada sesuatu yang membuat Yanto merasa wanita ini berbeda dari pelanggan-pelanggannya yang lain, namun ia tak tahu pasti apa itu.
"Nama saya Wina," wanita itu memperkenalkan diri sambil menunggu Yanto memeriksa motor. "Kebetulan saya lewat daerah sini, dan motornya tiba-tiba mati. Untung ada bengkel ini."
Yanto hanya tersenyum tipis. "Saya Yanto. Motornya mungkin masalah di karburator. Saya bisa betulkan, tapi butuh waktu beberapa menit."
Wina mengangguk, lalu duduk di kursi kayu yang ada di pojok bengkel. Ia terlihat tenang, meskipun motornya sedang bermasalah. Yanto, yang biasanya tak banyak bicara, tiba-tiba merasa ingin tahu lebih banyak tentang Wina. Ada sesuatu tentang wanita ini yang membuatnya merasa nyaman, meski mereka baru saja bertemu.
Selagi memperbaiki motor, Yanto sesekali melirik ke arah Wina, dan tak sengaja mereka bertukar pandang. Wina tersenyum, dan hati Yanto berdebar. Itu senyuman yang lembut, namun mampu mengguncang hatinya. Yanto merasa aneh. Sudah lama ia tidak merasakan perasaan semacam ini. Rasanya seperti ada yang mengalir di dalam dirinya, menghangatkan ruang hatinya yang selama ini dingin dan sepi.
Setelah beberapa waktu, motor Wina akhirnya bisa menyala kembali. Wina berdiri, tersenyum lega, dan mengucapkan terima kasih kepada Yanto. "Terima kasih, Mas Yanto. Untung ada kamu di sini."
"Ah, tidak apa-apa. Sudah tugas saya," balas Yanto dengan canggung.
Wina tersenyum lagi, kemudian mengambil dompetnya untuk membayar. Namun Yanto menolak dengan halus. "Sudah, nggak usah bayar. Cuma masalah kecil kok."
Wina terdiam sejenak, kemudian berkata, "Kalau begitu, saya traktir kopi saja. Saya nggak enak kalau nggak membalas budi."
Yanto terkejut mendengar tawaran itu. Biasanya, pelanggan hanya pergi begitu saja setelah motor mereka diperbaiki. Tapi Wina berbeda. Tawaran itu begitu tulus, membuat Yanto tak bisa menolak. "Ya, kalau gitu kapan-kapan kita bisa ngopi," jawab Yanto sambil mencoba tetap tenang.
Wina tertawa kecil, lalu memberikan nomor ponselnya. "Oke, Mas Yanto. Kalau ada waktu, kabarin saya ya. Sampai ketemu lagi."
Setelah Wina pergi, Yanto masih berdiri di depan bengkelnya, memandangi jalan tempat wanita itu menghilang. Jantungnya masih berdebar-debar, dan ia tidak bisa berhenti memikirkan senyum Wina. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Yanto merasa ada sesuatu yang berbeda. Mungkin, inilah awal dari sesuatu yang istimewa.
Pertemuan singkat itu menjadi awal dari serangkaian pertemuan berikutnya. Yanto dan Wina mulai sering bertemu, awalnya hanya untuk ngopi bersama di warung dekat bengkel, lalu semakin sering bertukar cerita. Wina, seorang guru di sekolah menengah, selalu bisa membuat suasana jadi ceria dengan lelucon-lelucon ringannya. Yanto, yang biasanya pendiam, perlahan mulai terbuka dan menemukan dirinya tertawa bersama Wina.
Namun, di setiap tawa dan perbincangan itu, ada sesuatu yang Yanto sembunyikan. Perasaan yang tumbuh dalam dirinya, perasaan yang ia tahu semakin dalam setiap kali mereka bertemu. Tapi Yanto tidak pernah berani mengungkapkannya. Baginya, Wina terlalu berharga untuk ia rusak dengan pernyataan cinta yang mungkin tidak akan diterima. Jadi, Yanto memilih untuk tetap menjadi teman, menikmati setiap momen yang ia habiskan bersama Wina tanpa berharap lebih.
Namun, di hatinya, ia tahu. Cintanya pada Wina semakin tumbuh, dan ia tak tahu bagaimana caranya menghentikan perasaan itu.
Hari itu, cuaca di luar terasa lebih panas dari biasanya. Wina datang ke bengkel Yanto dengan motor yang masih mulus, kali ini bukan karena ada kerusakan, tetapi untuk sekadar menyapa. Namun, ada yang berbeda dari wajahnya. Senyum hangat yang biasanya selalu menghiasi bibirnya kini tampak pudar. Matanya, yang selalu bersinar, terlihat redup seolah menyimpan beban yang berat.
Yanto, yang sedang sibuk memperbaiki mesin mobil, segera menyadari perubahan itu. Ia menyeka keringat dari dahinya dan berjalan mendekat ke arah Wina, yang berdiri di depan pintu bengkel.
“Kenapa? Kamu kelihatan nggak seperti biasanya,” tanya Yanto dengan nada lembut, meski rasa cemas mulai merayap di hatinya.
Wina tersenyum tipis, namun senyum itu tidak sampai ke matanya. Dia menatap Yanto sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam. “Ada yang ingin aku bicarakan, Yanto,” katanya pelan, suaranya terdengar berat.
Hati Yanto berdebar kencang. Ia bisa merasakan bahwa apa pun yang akan disampaikan Wina, itu bukan kabar baik. Mereka duduk di bangku kayu yang biasa digunakan Yanto untuk beristirahat. Wina menunduk, memainkan ujung-ujung jemarinya, seolah sedang berusaha mencari kata-kata yang tepat.
“Aku... dijodohkan, Yan,” ujar Wina akhirnya, suaranya bergetar.
Yanto terpaku. Kata-kata itu menghantamnya seperti gelombang besar. Ia tidak tahu harus berkata apa. Dunia di sekelilingnya seakan berhenti berputar. Pikirannya dipenuhi kekacauan, namun ia tetap berusaha menjaga ketenangan. “Dijodohkan? Sama siapa?” tanyanya pelan, meskipun bagian dari dirinya sudah tahu jawabannya tidak akan membuatnya tenang.
“Sama pria pilihan keluargaku. Keluargaku sudah merencanakan ini sejak lama, dan aku nggak punya pilihan lain.” Wina menggigit bibir bawahnya, matanya tampak basah.
Yanto menelan ludah, berusaha meredam perasaan yang bergolak di dadanya. Hatinya remuk, tapi ia tahu ini bukan saat yang tepat untuk egois. Wina adalah orang yang selalu ia hargai, dan ia tak ingin menambah beban di hatinya. “Kamu nggak bisa nolak?” tanya Yanto dengan suara serak, meski ia tahu jawabannya.
Wina menggeleng lemah. “Aku sudah berusaha, Yan. Tapi keluargaku sangat mendesak. Mereka bilang, ini demi kebaikanku. Pria itu baik, dari keluarga terpandang, dan mereka pikir ini keputusan yang terbaik untukku.”
Yanto ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa dia yang terbaik untuk Wina, bahwa dia mencintainya dengan seluruh hati. Namun, lidahnya terasa kelu. Ia terlalu takut untuk menyampaikan perasaannya, takut akan penolakan, dan takut jika itu hanya akan membuat Wina semakin tersiksa.
Sore itu, mereka duduk dalam diam. Tidak ada lagi tawa ringan yang biasanya mengisi waktu mereka. Hanya ada kesunyian dan perasaan pedih yang menggantung di udara. Wina akhirnya pamit pulang, meninggalkan Yanto yang masih duduk terpaku di bangku kayu itu. Hatinya hancur, tetapi ia tahu bahwa ia harus merelakan Wina pergi.
Seminggu berlalu setelah kabar buruk itu, dan Yanto semakin merasakan betapa kosong hidupnya tanpa kehadiran Wina. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya di bengkel, tetapi setiap suara motor yang berhenti di depan bengkel membuatnya berharap itu Wina yang datang lagi. Namun, harapan itu selalu pupus. Wina semakin jarang muncul, dan Yanto tahu bahwa waktunya semakin sempit. Pernikahan itu akan segera terjadi.
Dalam keputusasaan, Yanto memutuskan untuk menulis surat. Ia tahu bahwa mungkin tidak ada kesempatan lagi untuk mengungkapkan perasaannya secara langsung, jadi ia menuangkan seluruh isi hatinya ke dalam selembar kertas. Di surat itu, Yanto menulis tentang bagaimana ia mencintai Wina sejak pertama kali mereka bertemu, bagaimana senyuman Wina selalu bisa menghangatkan hatinya, dan bagaimana setiap momen yang mereka habiskan bersama begitu berharga baginya.
Namun, Yanto juga menulis bahwa ia menghormati keputusan Wina, dan meskipun ia ingin memintanya untuk tetap tinggal, ia tidak ingin menjadi penghalang kebahagiaannya. Setelah menulis surat itu, Yanto merasa sedikit lega, seolah-olah beban di dadanya sedikit berkurang. Surat itu ia lipat rapi dan ia masukkan ke dalam amplop, siap untuk diberikan kepada Wina.
Tapi, sebelum Yanto sempat memberikan surat itu, Wina menghilang. Yanto menerima pesan singkat dari Wina beberapa hari kemudian, hanya beberapa kalimat yang dingin dan singkat.
“Maaf, Yanto. Aku harus pergi. Jangan cari aku lagi. Semoga kamu bahagia.”
Pesan itu menghancurkan hati Yanto. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi yang jelas, Wina telah pergi tanpa memberitahunya ke mana atau mengapa. Tidak ada jejak, tidak ada kabar, hanya pesan singkat yang meninggalkan sejuta pertanyaan di benaknya.
Yanto merasa terpuruk. Surat yang ia tulis dengan sepenuh hati tetap tersimpan di saku jaketnya, tak pernah sampai ke tangan Wina. Hari-hari setelah kepergian Wina terasa hampa. Setiap sore, Yanto masih datang ke taman tempat mereka biasa duduk bersama, berharap Wina akan muncul kembali. Namun, harapan itu semakin lama semakin pudar. Hanya rindu yang tersisa, rindu yang tak pernah tersampaikan.
Bulan demi bulan berlalu, tetapi Yanto belum bisa melupakan Wina. Surat itu tetap ia simpan, meskipun ia tahu mungkin tidak akan pernah bisa ia berikan. Kenangan akan Wina terus menghantui pikirannya. Meskipun hidupnya terus berjalan, hati Yanto selalu terpaut pada seseorang yang telah pergi entah ke mana.
Setahun telah berlalu sejak kepergian Wina. Yanto masih menjalani kehidupannya seperti biasa—bekerja di bengkel, memperbaiki motor dan mobil pelanggan, dan duduk di bangku kayu di taman setiap sore, seperti yang selalu ia lakukan dulu bersama Wina. Namun, kali ini ada perbedaan. Yanto tahu, meskipun hatinya masih menyimpan kenangan tentang Wina, ia tidak bisa terus hidup dalam bayangan masa lalu. Ia harus belajar merelakan.
Pagi itu, Yanto bangun dengan perasaan yang sedikit lebih ringan. Mungkin karena ia sudah mulai menerima bahwa Wina benar-benar pergi, atau mungkin karena dia akhirnya memahami bahwa cinta tidak selalu harus dimiliki. Kadang, merelakan seseorang adalah bentuk cinta yang paling tulus. Yanto menghabiskan hari itu dengan lebih tenang, meski bayang-bayang Wina masih sesekali muncul di pikirannya.
Di bengkel, Yanto bertemu dengan beberapa pelanggan tetap yang sering datang. Salah satunya adalah Pak Hasan, seorang pria tua yang selalu membawa motornya untuk diperiksa. Yanto menikmati percakapan singkat mereka tentang hal-hal sederhana—cuaca, perkembangan bengkel, atau sesekali tentang kehidupan di kota kecil mereka. Hari-hari berlalu dengan rutinitas seperti itu, memberikan Yanto waktu untuk merenung.
Sore itu, setelah menyelesaikan pekerjaannya, Yanto memutuskan untuk tidak pergi ke taman seperti biasanya. Ia merasa, untuk pertama kalinya, siap untuk tidak lagi menghabiskan waktu di sana sendirian, menunggu kehadiran yang tak mungkin datang. Sebagai gantinya, Yanto memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kota.
Saat sedang berjalan di trotoar yang ramai, Yanto melihat sebuah kafe kecil di pojok jalan. Kafe itu tampak nyaman, dengan dekorasi minimalis dan jendela besar yang memungkinkan cahaya matahari sore masuk. Entah mengapa, Yanto merasa tertarik untuk masuk. Setelah memesan kopi, ia duduk di dekat jendela, menikmati pemandangan luar dan suasana kafe yang tenang.
Di tengah lamunannya, pintu kafe terbuka dan seorang wanita masuk. Suara bel kecil yang tergantung di pintu kafe membuat Yanto menoleh secara refleks. Untuk sesaat, ia merasa jantungnya berhenti berdetak. Wanita itu... mirip Wina.
Namun, setelah melihat lebih dekat, Yanto menyadari bahwa itu bukan Wina. Wanita itu memiliki beberapa kemiripan—rambut hitam panjang dan postur tubuh yang hampir sama—tapi wajahnya berbeda. Ada kelegaan di hati Yanto, namun juga sedikit rasa kehilangan yang kembali menghantamnya. Dia menatap wanita itu sejenak, lalu berusaha mengalihkan pikirannya dengan menyesap kopinya.
Namun, seolah takdir sedang bermain-main dengan Yanto, wanita itu mendekat ke meja di sebelahnya dan duduk. Mata mereka bertemu, dan wanita itu tersenyum ramah.
"Halo, sendirian?" tanyanya sambil tersenyum, suaranya lembut.
Yanto yang biasanya pendiam, entah mengapa merasa harus membalas senyuman itu. "Iya, cuma menikmati sore," jawabnya singkat, mencoba tetap santai.
Wanita itu tertawa kecil. "Sama. Saya juga suka duduk sendiri di kafe seperti ini. Menenangkan."
Ada sesuatu dalam tawa wanita itu yang membuat Yanto merasa nyaman. Dia tidak tahu siapa wanita ini, tetapi percakapan mereka mengalir dengan alami. Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Lita, seorang pekerja kantoran yang baru saja pindah ke kota kecil mereka untuk mencari suasana baru. Percakapan ringan tentang pekerjaan dan hobi perlahan-lahan membawa Yanto keluar dari bayangan masa lalu yang selalu menghantui pikirannya.
Tanpa disadari, waktu berlalu dengan cepat. Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang kehidupan, mimpi, dan kesederhanaan kota kecil mereka. Yanto merasa anehnya, dia bisa tertawa dan merasa lebih ringan. Lita memiliki kemampuan untuk membuatnya merasa santai, seolah-olah tidak ada beban di pundaknya.
Saat malam mulai menjelang, Lita pamit untuk pergi. "Aku sering ke kafe ini. Kalau kamu ada waktu, mungkin kita bisa ngobrol lagi," katanya sambil tersenyum sebelum melangkah keluar.
Yanto hanya mengangguk, tersenyum tipis. Setelah Lita pergi, Yanto duduk diam untuk beberapa saat, merenungkan pertemuan itu. Untuk pertama kalinya sejak kepergian Wina, ia merasa hatinya mulai membuka sedikit ruang untuk sesuatu yang baru. Tidak berarti ia melupakan Wina, tapi mungkin, ini adalah tanda bahwa ia bisa melanjutkan hidupnya tanpa terus dibayangi oleh masa lalu.
Setelah pertemuan itu, Yanto sering kali datang ke kafe yang sama. Terkadang ia hanya duduk sendiri, tetapi sering juga ia bertemu dengan Lita lagi. Mereka semakin akrab, dan perlahan Yanto menyadari bahwa dirinya mulai menikmati kehadiran Lita dalam hidupnya. Lita tidak pernah bertanya tentang masa lalu Yanto, dan Yanto merasa nyaman dengan itu. Mereka hidup di masa sekarang, menikmati kebersamaan tanpa perlu memikirkan apa yang sudah berlalu.
Suatu hari, saat mereka duduk bersama di bangku taman yang tidak jauh dari kafe, Lita tiba-tiba berkata, “Kamu tahu, Yanto, kadang-kadang kita harus kehilangan sesuatu dulu untuk benar-benar menemukan apa yang kita butuhkan.”
Yanto terdiam, merenungi kata-kata Lita. Ia sadar, selama ini ia terlalu terpaku pada Wina, pada rasa cinta dan rindu yang tak pernah tersampaikan. Mungkin Lita benar. Mungkin, kehadiran Lita dalam hidupnya adalah bagian dari prosesnya menemukan jalan baru, jalan yang tidak dipenuhi oleh bayangan masa lalu.
Di sore itu, saat matahari mulai terbenam, Yanto tersenyum. Untuk pertama kalinya, ia merasa siap untuk benar-benar melanjutkan hidup. Tidak ada lagi rasa sakit yang menggantung di hatinya, hanya kenangan yang kini menjadi bagian dari dirinya, dan perasaan baru yang mulai tumbuh di dalam hatinya—perasaan yang perlahan-lahan ia biarkan berkembang, bersama dengan Lita.
Yanto akhirnya menyadari bahwa hidup adalah tentang menerima, merelakan, dan memberi kesempatan pada dirinya sendiri untuk kembali merasakan kebahagiaan. Dan kali ini, ia merasa siap untuk membuka bab baru dalam hidupnya, tanpa rasa takut akan bayangan masa lalu.
Hari-hari berikutnya terasa berbeda bagi Yanto. Ada keceriaan yang perlahan mulai tumbuh dalam hidupnya, sesuatu yang sudah lama hilang sejak kepergian Wina. Kehadiran Lita membawa angin segar dalam rutinitasnya yang biasanya monoton. Mereka semakin sering menghabiskan waktu bersama—berbincang di kafe, berjalan-jalan di taman, atau sekadar menikmati sore di tepi sungai. Setiap momen bersama Lita membuat Yanto merasa lebih hidup.
Meski demikian, di sudut hatinya, Yanto masih dihantui oleh bayang-bayang masa lalu. Ia sering bertanya pada dirinya sendiri: apakah ia benar-benar sudah bisa melepaskan Wina? Apakah ia tidak melukai Lita dengan membawa beban dari kisah cinta yang belum selesai? Tapi, semakin lama ia mengenal Lita, semakin ia merasa bahwa mungkin Lita adalah orang yang bisa membantunya menyembuhkan luka itu.
Suatu sore yang cerah, Yanto dan Lita duduk di taman, tempat yang sama di mana dulu ia sering duduk dengan Wina. Namun kali ini, perasaan Yanto berbeda. Ia tidak lagi merasakan kesedihan mendalam yang selalu datang setiap kali ia berada di tempat ini. Malah, ia merasa damai. Lita duduk di sebelahnya, tersenyum hangat seperti biasanya.
"Yan, aku bisa nanya sesuatu?" tanya Lita, suaranya lembut namun serius.
Yanto menoleh, menatap wajah Lita yang tampak sedikit tegang. "Tentu, tanya aja," jawab Yanto, berusaha tetap tenang.
Lita terdiam sejenak, seolah-olah sedang mencari kata-kata yang tepat. "Apa kamu masih memikirkan seseorang dari masa lalumu?"
Pertanyaan itu langsung menghantam Yanto. Ia tahu, cepat atau lambat, percakapan ini akan terjadi. Namun, ia tidak menyangka akan terjadi secepat ini. Yanto menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.
"Aku nggak bisa bohong, Lit. Dulu aku memang memikirkan seseorang. Ada orang yang sangat berarti dalam hidupku, tapi dia sudah pergi, dan aku nggak pernah tahu ke mana atau kenapa. Tapi sejak ketemu kamu, aku mulai sadar bahwa aku nggak bisa terus hidup di masa lalu."
Lita mengangguk pelan, mendengarkan dengan seksama. "Aku nggak mau jadi pelarian, Yan. Aku nggak mau masuk ke dalam hidupmu kalau kamu belum siap. Aku mau kita jujur satu sama lain."
Yanto merasakan kehangatan dalam cara Lita berbicara. Ia tahu bahwa Lita benar. Ia tidak ingin menyakiti Lita, dan yang terpenting, ia tidak ingin menyakiti dirinya sendiri dengan terus terjebak dalam perasaan yang tidak pernah tersampaikan. Dengan hati yang berat, Yanto akhirnya mengungkapkan sesuatu yang selama ini ia sembunyikan.
"Lita, aku memang pernah jatuh cinta dengan seseorang. Namanya Wina. Dia pernah jadi bagian penting dalam hidupku, tapi dia pergi tanpa penjelasan. Awalnya aku nggak bisa melepaskannya, selalu berharap dia kembali. Tapi setelah bertemu kamu, aku mulai sadar bahwa mungkin, aku harus merelakan apa yang sudah pergi dan belajar mencintai lagi."
Lita tersenyum tipis, matanya tampak sedikit berkaca-kaca. "Aku senang kamu bisa jujur. Dan aku juga percaya bahwa setiap orang punya masa lalu. Tapi, yang penting adalah bagaimana kita memilih untuk melangkah ke depan."
Yanto tertegun. Perkataan Lita begitu menenangkan, membuat hatinya terasa ringan. Ia menyadari bahwa Lita adalah orang yang bisa menerima dirinya apa adanya, dengan segala luka dan beban dari masa lalu. Dan untuk pertama kalinya, Yanto merasa yakin bahwa ia bisa melanjutkan hidup tanpa terus dibayangi oleh kenangan yang menyakitkan.
Malam itu, Yanto pulang ke rumah dengan perasaan yang bercampur. Di satu sisi, ia merasa lega telah mengungkapkan kebenaran kepada Lita. Namun di sisi lain, ada perasaan baru yang muncul—perasaan bahwa mungkin, untuk pertama kalinya, ia telah menemukan seseorang yang benar-benar tulus dan mencintainya apa adanya.
Beberapa minggu setelah percakapan itu, hubungan Yanto dan Lita semakin erat. Yanto merasakan kehangatan dan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Mereka berbagi mimpi, harapan, dan rencana masa depan bersama. Tidak ada lagi bayang-bayang masa lalu yang menghantui pikiran Yanto. Ia akhirnya bisa benar-benar merelakan Wina dan membuka hatinya untuk Lita.
Suatu sore yang indah, Yanto memutuskan untuk mengajak Lita ke tempat yang istimewa—sebuah bukit kecil di luar kota, di mana pemandangan matahari terbenam bisa terlihat jelas. Tempat itu selalu menjadi tempat favorit Yanto untuk merenung, dan kini ia ingin berbagi momen spesial itu dengan Lita.
Saat mereka duduk di atas bukit, melihat matahari perlahan tenggelam di balik cakrawala, Yanto merasakan ketenangan yang luar biasa. Di sampingnya, Lita tersenyum sambil menikmati pemandangan. Yanto tahu bahwa inilah saat yang tepat.
"Lita," Yanto memulai, suaranya terdengar pelan namun mantap, "Aku tahu kita belum lama saling kenal, tapi aku merasa seperti sudah menemukan rumahku saat bersama kamu. Kamu membuat hidupku kembali berarti, dan untuk itu, aku bersyukur. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi yang aku tahu, aku ingin kamu ada di dalamnya."
Lita menatap Yanto dengan mata yang berbinar, tak bisa menyembunyikan perasaan harunya. "Yanto, aku juga merasa hal yang sama. Kamu adalah orang yang tulus, dan aku bahagia bisa mengenal kamu. Terima kasih karena sudah membuka hatimu untukku."
Matahari terbenam sempurna di ufuk barat, dan sore itu menjadi saksi awal dari kisah baru Yanto dan Lita. Dalam keheningan bukit yang indah itu, Yanto akhirnya menemukan cinta sejatinya. Cinta yang tidak lagi terikat pada masa lalu, tapi cinta yang tumbuh dari penerimaan, kejujuran, dan ketulusan. Mereka berdua tahu, bahwa perjalanan mereka mungkin tidak akan selalu mudah, tetapi selama mereka bersama, mereka siap menghadapi apa pun yang datang.
Dan di bawah langit senja yang memerah, Yanto dan Lita merangkai kisah cinta mereka yang baru—kisah tentang penyembuhan, harapan, dan awal baru yang indah.
Setelah malam yang indah di bukit itu, hubungan Yanto dan Lita semakin kuat. Mereka merasa semakin dekat, tidak hanya secara emosional tetapi juga spiritual. Masing-masing membawa luka dari masa lalu, tetapi dengan saling mendukung, mereka menemukan kekuatan baru untuk menghadapi apa pun yang datang di depan.
Yanto tidak pernah berpikir bahwa dia akan merasakan cinta seperti ini lagi. Sejak kepergian Wina, dia merasa hatinya sudah tertutup rapat. Namun, Lita mengubah segalanya. Kehangatan dan kebaikannya telah membuka hati Yanto, membantunya untuk benar-benar melanjutkan hidup. Setiap hari bersama Lita adalah hari yang penuh kebahagiaan dan kedamaian.
Namun, seperti halnya kehidupan, tidak ada hubungan yang benar-benar tanpa cobaan. Pada suatu hari, ketika Yanto sedang bekerja di bengkel, ia menerima telepon yang tak terduga. Suara di ujung telepon itu langsung membuat tubuhnya membeku.
"Yanto?" Suara itu begitu familiar—suara yang tidak pernah ia kira akan ia dengar lagi.
"Wina?" Yanto hampir tidak percaya. Ini tidak mungkin terjadi.
"Ya, ini aku." Suaranya terdengar lembut, tapi ada nada kecemasan di dalamnya. "Aku butuh bicara denganmu. Ada sesuatu yang harus aku jelaskan."
Yanto merasa seolah-olah dunia di sekitarnya berputar. Wina, wanita yang dulu ia cintai dan yang meninggalkannya tanpa penjelasan, kini kembali muncul dalam hidupnya. Pikiran-pikirannya kacau balau, antara perasaan rindu yang belum sepenuhnya hilang dan kesetiaan barunya kepada Lita.
Dengan suara yang serak, Yanto menjawab, "Kita bisa bertemu di taman nanti sore."
Sepanjang hari itu, Yanto merasa hatinya terombang-ambing. Ia tahu bahwa ia harus menghadapi kenyataan ini dengan kepala dingin, tetapi bagian dari dirinya masih dipenuhi pertanyaan tentang kepergian Wina. Mengapa dia meninggalkan Yanto? Dan mengapa dia kembali sekarang, setelah sekian lama?
Sore harinya, Yanto menunggu di taman yang dulu menjadi tempat kenangan mereka. Saat Wina tiba, Yanto merasa campuran antara kemarahan, kebingungan, dan kelegaan. Wanita di depannya tampak sedikit berbeda—lebih dewasa, lebih tenang, tapi matanya masih menyimpan kesedihan yang sama seperti dulu.
"Kenapa kamu pergi, Win?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Yanto.
Wina menunduk, seolah-olah sedang mencari kata-kata yang tepat. "Aku... Aku sakit, Yan. Waktu itu, aku didiagnosis dengan penyakit yang cukup serius. Aku nggak mau kamu terjebak dalam hidupku yang penuh ketidakpastian. Aku pikir, lebih baik aku pergi daripada membuatmu menderita."
Yanto terpaku, merasa terhantam oleh kenyataan yang tak pernah ia duga. "Kenapa kamu nggak bilang, Win? Aku pasti akan tetap bersamamu, apapun yang terjadi."
Air mata mulai mengalir di wajah Wina. "Aku takut, Yan. Aku takut kamu akan terlalu menderita jika harus melihatku sakit. Jadi aku pergi. Tapi sekarang, aku sudah sembuh. Dan aku sadar... mungkin aku membuat keputusan yang salah."
Yanto terdiam. Bagian dari dirinya ingin memeluk Wina, menghiburnya, dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi bagian lain dari dirinya tahu bahwa hidupnya sudah berubah. Ada Lita sekarang, dan dia tidak bisa mengkhianati perasaan Lita.
"Aku menghargai apa yang kamu katakan, Wina. Dan aku senang kamu sudah sembuh," kata Yanto dengan suara pelan. "Tapi banyak yang sudah berubah sejak kamu pergi. Aku sudah menemukan seseorang, dan aku nggak bisa mengabaikan perasaan itu."
Wina menatap Yanto, air mata masih mengalir di pipinya. "Aku mengerti, Yan. Aku cuma ingin kamu tahu alasan kenapa aku pergi. Aku harap kamu bahagia."
Yanto tersenyum tipis, perasaan lega dan duka bercampur di hatinya. "Terima kasih sudah jujur padaku, Wina. Aku harap kamu juga menemukan kebahagiaanmu."
Setelah percakapan itu, Wina pergi meninggalkan taman. Yanto merasa beban yang selama ini menghantui dirinya akhirnya terlepas. Ia telah mendapatkan jawaban atas semua pertanyaan yang selama ini menghantuinya. Namun, yang terpenting, ia tahu bahwa ia sudah siap sepenuhnya untuk melangkah maju dengan Lita di sisinya.
Malam itu, Yanto menemui Lita di kafe mereka. Ketika melihat Lita, Yanto merasakan ketenangan yang mendalam. Tanpa ragu, ia menceritakan tentang pertemuannya dengan Wina dan semua yang terjadi.
Lita mendengarkan dengan penuh perhatian, matanya menunjukkan bahwa dia memahami betapa pentingnya momen itu bagi Yanto. "Aku senang kamu bisa mendapatkan penjelasan yang selama ini kamu cari, Yan," kata Lita setelah Yanto selesai bercerita. "Tapi yang paling penting sekarang, adalah bagaimana kamu merasa."
Yanto tersenyum. "Aku merasa lega, Lit. Dan aku tahu satu hal—aku ingin melangkah maju bersamamu. Kamu adalah orang yang membuatku merasakan cinta yang baru, dan aku ingin menjalani masa depanku denganmu."
Lita tersenyum lebar, air mata haru mengalir di pipinya. "Aku juga merasa hal yang sama, Yan. Terima kasih sudah memilihku."
Dalam kehangatan malam itu, Yanto dan Lita menyadari bahwa mereka telah melewati ujian terbesar dalam hubungan mereka. Masa lalu mungkin pernah membayangi mereka, tetapi sekarang mereka tahu bahwa cinta yang mereka miliki adalah nyata dan tulus. Mereka telah menemukan cinta sejati dalam satu sama lain, cinta yang lahir dari kejujuran, pengorbanan, dan penerimaan.
Mereka berdua melangkah keluar dari kafe, berjalan bergandengan tangan di bawah langit malam yang penuh bintang. Tidak ada lagi bayangan masa lalu yang menghantui mereka. Kini, yang ada hanyalah masa depan yang mereka hadapi bersama, penuh dengan harapan dan cinta yang tumbuh semakin kuat setiap hari.
Dan di malam itu, Yanto tahu bahwa dia telah menemukan rumahnya—bukan dalam seseorang dari masa lalu, tapi dalam cinta yang baru dan abadi bersama Lita.