Alya duduk di bangku sekolahnya, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Ia merasa ada sesuatu yang hampa dalam dirinya, sesuatu yang hilang sejak kepergian sahabatnya, Lina. Dulu, mereka selalu duduk berdampingan, berbagi cerita, tawa, dan cita-cita besar untuk masa depan. Lina bercita-cita menjadi guru, sementara Alya bercita-cita menjadi seorang pengacara. Tapi mimpi itu perlahan memudar.
Beberapa bulan yang lalu, Lina berhenti sekolah. Keluarganya memutuskan mengirimnya ke Malaysia untuk bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW). Kondisi ekonomi keluarganya yang sulit membuat Lina harus meninggalkan pendidikannya, meninggalkan mimpi-mimpinya, dan meninggalkan Alya.
“Kamu juga bisa menjadi sukses tanpa sekolah, Alya. Mungkin aku akan punya cukup uang dan bisa membantu keluarga,” ucap Lina sebelum berangkat. Kata-kata itu mengendap di hati Alya, membuatnya mulai mempertanyakan apa artinya terus bersekolah.
Hari-hari berlalu, dan Alya semakin kehilangan semangat. Setiap kali mengerjakan tugas, ingatannya melayang ke wajah sahabatnya, mengingat mimpi-mimpi yang dulu mereka rajut bersama. Tapi mimpi itu terasa mustahil sekarang. “Untuk apa bersekolah kalau akhirnya tidak bisa mencapai apa-apa?” pikirnya berulang kali.
Suatu malam, saat ia sedang menelusuri media sosial dengan pikiran yang kacau, Alya melihat sebuah video yang menarik perhatiannya. Dalam video itu, seorang perempuan berdiri gagah di ruang sidang. Ia mengenakan jas rapi dengan rambut dikuncir rapi, dan tatapannya tajam. Perempuan itu adalah seorang pengacara yang sedang membela seorang wanita yang telah menjadi korban penipuan di luar negeri.
Pengacara itu berbicara dengan penuh semangat, membela kliennya dengan argumen-argumen yang tajam dan jelas. Suaranya penuh keyakinan, wajahnya tegas, namun penuh kepedulian. Kata-katanya bagaikan api yang menyala, berusaha membawa keadilan bagi kliennya yang tertindas.
Alya tertegun. Ia merasa kagum dan tersentuh. Untuk pertama kalinya sejak Lina pergi, Alya merasa ada cahaya yang mengusik hatinya. Ia melihat ketulusan pengacara itu dalam memperjuangkan hak orang lain. “Bagaimana jika aku bisa menjadi seperti dia?” pikirnya. Sejenak, bayangan Lina melintas di benaknya, seolah Lina berbisik bahwa ia harus melanjutkan perjuangan itu.
Dengan perasaan yang baru, Alya mulai memupuk semangatnya kembali. Kini, ia tahu bahwa sekolah bukan sekadar untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang seperti Lina, yang tidak memiliki kesempatan melanjutkan mimpi. Ia bisa menjadi jembatan bagi mereka yang terpaksa berhenti, memperjuangkan keadilan bagi mereka yang terpinggirkan.
Hari-hari Alya kembali penuh warna. Ia belajar dengan sungguh-sungguh, mengingat kembali cita-cita yang pernah memudar. Setiap kali ia merasa lelah, ia mengingat kembali sosok pengacara yang menyalakan api semangatnya. Dan dalam hati, ia berjanji, suatu hari nanti, ia akan berdiri di ruang sidang itu, berjuang dengan keyakinan dan ketulusan bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk Lina, sahabatnya, dan semua orang yang membutuhkan suaranya.
Di akhir tahun, Alya berhasil meraih nilai tertinggi di sekolahnya. Kini ia memiliki satu tujuan yang pasti suatu hari nanti, ia akan menjadi seorang pengacara. Dengan tekad yang kuat, ia tidak akan membiarkan apa pun memadamkan api di hatinya lagi.