Langit sore itu kelabu, awan-awan bergumul seakan siap menumpahkan hujan deras kapan saja. Di sebuah kafe kecil di sudut jalan, Arga duduk sendiri, mengamati lalu lintas yang sepi melalui jendela kaca besar. Segelas kopi hitam mengepul di depannya, namun dia sama sekali tidak menyentuhnya. Pandangannya kosong, tenggelam dalam pikirannya yang terus berputar-putar. Hujan mulai turun perlahan, menambah suasana sendu di sore itu.
Arga, seorang pria yang pendiam, bukanlah tipe orang yang sering keluar rumah kecuali untuk hal-hal penting. Kafe ini menjadi salah satu pelariannya dari kebosanan hidupnya yang monoton. Setiap kali hujan turun, dia akan duduk di sini, menunggu inspirasi yang entah datang dari mana untuk menyelesaikan novelnya. Sudah berbulan-bulan dia terjebak dalam blok penulis yang membuatnya frustrasi. Cerita cintanya, yang pernah begitu lancar mengalir, kini seperti berhenti di tengah jalan.
“Hujan lagi,” gumam Arga pelan sambil memandang titik-titik air yang mulai membasahi jalanan.
Tiba-tiba pintu kafe terbuka, angin membawa serta hawa dingin dan beberapa tetes air yang masuk ke dalam ruangan. Seorang wanita berlari kecil masuk, menutupi kepalanya dengan tangan. Dia terlihat kebasahan, meskipun hujan baru saja mulai. Wanita itu tersenyum canggung sambil melihat sekeliling. Hampir semua meja di kafe sudah penuh, kecuali meja Arga.
“Maaf, boleh duduk di sini? Semua meja sudah penuh,” tanya wanita itu dengan suara lembut, tapi terdengar jelas di tengah keramaian kafe.
Arga menoleh dan terdiam sejenak. Wanita itu, dengan rambut hitam yang basah dan wajah ceria, membuatnya terkejut. Biasanya, dia lebih suka sendiri, terutama ketika dia datang ke sini untuk mencari inspirasi. Tapi entah mengapa, ada sesuatu dalam cara wanita itu tersenyum yang membuat Arga tak bisa menolak.
“Silakan,” jawab Arga singkat, sedikit gugup.
Wanita itu mengangguk dan duduk di depannya, melepas mantelnya yang basah dan menaruhnya di sandaran kursi. Dia mengusap rambutnya yang basah, lalu tersenyum lagi kepada Arga.
“Aku Lina,” katanya, memperkenalkan diri tanpa diminta.
Arga mengangguk perlahan. “Arga.”
“Terima kasih sudah membiarkan aku duduk di sini. Aku tidak menyangka kafe ini akan sepadat ini saat hujan,” ujar Lina sambil melirik sekeliling kafe. Dia tampak menikmati suasana, meskipun tubuhnya sedikit menggigil karena dingin.
“Ya, kafe ini memang sering ramai saat hujan,” balas Arga singkat.
Ada jeda di antara mereka, sejenak hening sebelum Lina mulai berbicara lagi. Arga, yang biasanya canggung dengan orang asing, mendapati dirinya tertarik untuk mendengarkan lebih banyak. Lina memulai percakapan ringan, menanyakan apakah Arga sering ke sini dan apa yang membuatnya memilih tempat ini.
“Aku suka suasananya. Tenang, dan aku bisa menulis di sini,” jawab Arga sambil memandangi cangkir kopinya yang belum tersentuh.
“Menulis? Kamu seorang penulis?” tanya Lina dengan nada antusias.
“Ya, meskipun belakangan ini aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk merenung daripada menulis,” jawab Arga jujur. “Blok penulis, kamu tahu?”
Lina tertawa kecil. “Aku tidak pernah menulis, tapi aku bisa membayangkan betapa frustrasinya itu.”
Pembicaraan mereka mengalir dengan lancar, seolah mereka sudah lama saling mengenal. Arga mulai merasa nyaman di dekat Lina, sesuatu yang jarang dia rasakan pada orang asing. Mereka membahas banyak hal, dari kesibukan sehari-hari hingga mimpi-mimpi yang ingin mereka capai. Lina, ternyata, adalah seorang wanita yang suka berpetualang. Dia sering bepergian ke tempat-tempat baru untuk menemukan inspirasi dalam pekerjaannya sebagai fotografer lepas.
“Aku suka menangkap momen,” kata Lina sambil tersenyum lebar. “Setiap tempat selalu punya cerita, dan setiap orang yang aku temui selalu punya sesuatu yang bisa aku pelajari.”
Arga terkesan dengan semangat hidup Lina. Dia berbeda dari siapa pun yang pernah dia temui. Di balik wajahnya yang ceria, Arga merasakan ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang belum diungkapkan oleh Lina.
“Bagaimana dengan kamu, Arga? Apa yang membuatmu menulis?” tanya Lina sambil menatapnya dengan mata yang penuh rasa ingin tahu.
Arga terdiam sejenak. Pertanyaan itu, meskipun sederhana, membangkitkan kenangan yang selama ini dia coba lupakan. Dia menulis untuk melarikan diri dari kenyataan, dari hubungan yang pernah membuatnya patah hati. Namun, dia tidak ingin membicarakan hal itu dengan seseorang yang baru dia temui.
“Aku menulis karena itu satu-satunya cara bagiku untuk memahami dunia,” jawab Arga akhirnya. “Ketika aku menulis, aku bisa menciptakan dunia di mana segala sesuatu bisa berjalan sesuai keinginanku.”
Lina tersenyum tipis, seolah mengerti apa yang Arga coba sampaikan tanpa harus menjelaskan lebih lanjut. Mereka duduk dalam keheningan beberapa saat, hanya mendengarkan suara hujan di luar yang semakin deras.
Setiap pertemuan di kafe kecil itu membawa mereka semakin dekat. Hujan yang sering turun membuat mereka memiliki alasan untuk bertemu lagi dan lagi. Percakapan mereka semakin dalam, tidak lagi hanya tentang hal-hal sepele. Arga mulai merasa nyaman berbagi hal-hal pribadi dengan Lina, sesuatu yang selama ini dia hindari.
Suatu hari, ketika hujan turun lebih deras dari biasanya, Arga memberanikan diri untuk mengajak Lina pergi ke tempat yang istimewa baginya. Sebuah bukit kecil di pinggiran kota, tempat dia sering datang untuk mencari ketenangan dan inspirasi.
“Aku ingin menunjukkan sesuatu,” kata Arga pelan sambil menatap Lina.
Lina mengangguk, setuju tanpa banyak bertanya. Mereka pergi bersama, berjalan di bawah payung kecil yang hanya cukup untuk dua orang. Di bukit itu, mereka berdiri di bawah pohon besar, melihat pemandangan kota dari kejauhan. Hujan masih turun, tapi mereka tidak peduli.
“Tempat ini indah,” kata Lina sambil menghela napas lega. “Kenapa kamu membawaku ke sini?”
“Karena di sini aku selalu merasa tenang,” jawab Arga jujur. “Dan aku ingin berbagi ketenangan ini denganmu.”
Lina tersenyum, namun ada sesuatu dalam senyumnya kali ini. Arga bisa melihat ada beban di balik mata cerianya.
“Ada sesuatu yang ingin kamu ceritakan, bukan?” tanya Arga perlahan.
Lina terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Ya. Ada banyak hal yang belum aku ceritakan padamu, Arga.”
Arga menatap Lina, menunggu dia melanjutkan.
“Aku pernah patah hati. Sangat patah hati,” kata Lina dengan suara lirih. “Aku pernah mencintai seseorang begitu dalam, tapi dia mengkhianatiku. Sejak saat itu, aku selalu merasa takut untuk jatuh cinta lagi. Aku merasa kalau aku membuka hati lagi, aku hanya akan terluka.”
Arga mendengarkan dengan seksama, merasakan beban yang Lina bawa. Dia tahu persis bagaimana rasanya, karena dia sendiri mengalami hal yang sama.
“Kamu tidak sendirian,” kata Arga lembut. “Aku juga pernah terluka, dan aku juga merasa takut untuk mencintai lagi.”
Mereka berdiri dalam keheningan, membiarkan hujan menjadi saksi dari perasaan mereka yang terpendam. Di momen itu, keduanya menyadari bahwa mereka memiliki lebih banyak kesamaan daripada yang mereka duga.
Namun, ketakutan dan keraguan masih ada di antara mereka. Lina mulai menjauh setelah hari itu, tidak lagi sering datang ke kafe seperti sebelumnya. Arga merasa bingung dan khawatir, tetapi dia tidak ingin memaksakan apapun. Dia tahu bahwa mereka berdua masih berjuang dengan perasaan masing-masing.
Selama beberapa minggu, Arga terus datang ke kafe, berharap Lina akan kembali. Dia merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya tanpa kehadiran Lina. Di saat yang sama, dia mulai menulis lagi. Inspirasi yang selama ini dia cari seolah datang dengan sendirinya. Namun, ada satu hal yang belum dia temukan—jawaban dari perasaannya terhadap Lina.
Suatu sore, ketika hujan turun lagi, pintu kafe terbuka, dan Lina muncul. Arga, yang sedang tenggelam dalam tulisannya, langsung menoleh dan tersenyum tipis.
“Kamu kembali,” katanya pelan.
Lina duduk di depannya, kali ini tanpa basa-basi. “Aku butuh waktu untuk berpikir, Arga. Aku takut, tapi aku tidak bisa terus lari dari