Mentari pagi menyapa dengan hangat, menerobos celah jendela kamar Rara. Gadis itu masih terlelap, mimpi-mimpi indah menghiasi alam bawah sadarnya. Namun, suara riuh dari luar membangunkannya. Suara tawa dan canda anak-anak yang bermain di halaman rumah, mengiringi kicauan burung-burung yang bersahutan.
Rara menguap, mengusap matanya yang masih berat. Ia bangkit dari tempat tidur, lalu berjalan menuju jendela. Pemandangan pagi yang cerah menyambutnya. Daun-daun hijau bergoyang lembut tertiup angin sepoi-sepoi, bunga-bunga berwarna-warni bermekaran dengan indah.
“Rara, ayo turun! Sarapan sudah siap!” Suara Ibu memanggil dari bawah.
Rara tersenyum, lalu beranjak dari jendela. Ia turun ke bawah, menuju meja makan. Di sana, Ibu sudah menunggunya dengan sepiring nasi goreng dan segelas susu hangat.
“Pagi, Ibu.”
“Pagi sayang. Makanlah dengan lahap.”
Rara mengangguk, lalu mulai menyantap sarapannya. Ia menikmati setiap suapan, sambil sesekali melirik ke luar jendela.
Hari ini adalah hari pertama Rara masuk sekolah menengah pertama. Ia merasa gugup dan sedikit takut. Sekolah baru, teman baru, dan lingkungan baru. Semua terasa asing dan menantang.
Setelah sarapan, Rara bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Ia mengenakan seragam putih abu-abu yang baru, lalu bercermin sebentar. Ia tersenyum, mencoba menenangkan rasa gugupnya.
“Rara, sudah siap?” tanya Ibu.
“Sudah, Bu.”
Rara mencium pipi Ibu, lalu berpamitan. Ia berjalan keluar rumah, menuju halte bus.
Di halte, Rara bertemu dengan teman-temannya, Maya dan Dinda. Mereka bertiga sudah berteman sejak kecil.
“Rara, kamu gugup?” tanya Maya.
“Gugup sih, tapi juga excited,” jawab Rara.
“Aku juga,” timpal Dinda.
Mereka bertiga berbincang-bincang, berbagi cerita dan rasa gugup mereka. Tak terasa, bus yang mereka tunggu pun datang.
Mereka naik bus, lalu duduk berdampingan. Sepanjang perjalanan, mereka bercerita tentang harapan dan mimpi mereka di sekolah baru.
Sesampainya di sekolah, Rara dan teman-temannya langsung disambut oleh para siswa lainnya. Mereka saling bertegur sapa, memperkenalkan diri, dan mencari kelas masing-masing.
Rara masuk ke kelas VII-A. Ia duduk di bangku paling belakang, di sebelah jendela. Ia mengamati teman-temannya yang lain, mencoba mencari teman baru.
Tiba-tiba, seorang siswa laki-laki duduk di bangku di depannya. Ia memiliki rambut hitam yang sedikit berantakan, mata cokelat yang tajam, dan senyum yang manis.
“Hai, namaku Arga,” sapa siswa itu.
Rara terkesiap. Ia terdiam sejenak, lalu tersenyum.
“Rara,” jawabnya.
“Senang bertemu denganmu, Rara,” kata Arga.
Rara mengangguk, lalu kembali fokus ke pelajaran. Namun, sesekali ia melirik Arga yang duduk di depannya. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda pada Arga.
Hari-hari berikutnya, Rara dan Arga semakin dekat. Mereka sering berbincang-bincang di kelas, mengerjakan tugas bersama, dan bahkan makan siang bersama.
Rara merasa nyaman dengan Arga. Arga adalah teman yang baik, perhatian, dan selalu membuatnya tertawa.
Suatu hari, saat jam istirahat, Rara dan Arga sedang duduk di taman sekolah. Mereka sedang asyik berbincang-bincang, membahas tentang pelajaran matematika yang sulit.
“Rara, kamu suka bunga?” tanya Arga tiba-tiba.
Rara mengerutkan kening. “Kenapa kamu tanya begitu?”
“Karena aku ingin memberikanmu bunga,” jawab Arga.
Rara terdiam. Ia merasa jantungnya berdebar kencang.
“Ini untukmu,” kata Arga, lalu memberikan sekuntum bunga kertas berwarna merah muda kepada Rara.
Rara menerima bunga itu dengan tangan gemetar. Ia menatap bunga itu dengan penuh rasa haru.
“Terima kasih, Arga,” kata Rara.
Arga tersenyum. “Sama-sama, Rara. Aku harap kamu suka.”
Rara mengangguk, lalu tersenyum. Ia merasa bahagia.
Sejak hari itu, Rara dan Arga semakin dekat. Mereka saling berbagi cerita, mimpi, dan perasaan.
Suatu sore, setelah pulang sekolah, Rara dan Arga berjalan berdampingan di jalan. Mereka berbincang-bincang tentang masa depan mereka.
“Rara, aku ingin kamu tahu,” kata Arga.
Rara terdiam, menatap Arga dengan penuh harap.
“Aku… aku mencintaimu, Rara,” kata Arga.
Rara terkesiap. Ia merasa jantungnya berdebar kencang.
“Arga…”
“Aku tahu, mungkin ini terlalu cepat,” kata Arga. “Tapi, aku tidak bisa menahan perasaanku lagi.”
Rara terdiam sejenak, lalu tersenyum.
“Aku juga mencintaimu, Arga,” jawabnya.
Arga tersenyum lebar. Ia memeluk Rara dengan erat.
“Terima kasih, Rara,” kata Arga.
Rara membalas pelukan Arga. Ia merasa bahagia.
Malam itu, Rara tertidur dengan senyuman di wajahnya. Ia memikirkan Arga, dan bunga kertas merah muda yang diberikan Arga kepadanya.
Bunga kertas itu menjadi simbol cinta pertama Rara. Cinta yang sederhana, tulus, dan penuh harapan.
Cinta pertama yang akan selalu terukir di hatinya, seperti bunga kertas yang tak lekang oleh waktu.