Mentari sore menyelinap di balik gedung-gedung tinggi, meninggalkan langit jingga yang memudar perlahan. Di kamarnya yang sederhana, Zara duduk di meja belajar, matanya terpaku pada buku pelajaran yang terbuka di hadapannya. Namun, pikirannya melayang jauh, tak terikat pada rumus matematika yang rumit.
Zara menghela napas. Ujian akhir semester semakin dekat, dan tekanan untuk meraih nilai bagus semakin terasa. Ia ingin sekali masuk ke jurusan kedokteran, impian yang telah ia genggam sejak kecil. Namun, beban hidup yang dipikulnya terasa berat. Ayahnya, seorang tukang becak, tak mampu membiayai pendidikannya sepenuhnya.
“Zara, makan malam!” Suara ibunya memanggil dari dapur.
Zara bangkit dari duduknya, matanya menangkap bayangan seorang anak laki-laki di balik jendela kamarnya. Anak itu, namanya Rian, tinggal di rumah kontrakan di seberang jalan. Mereka sering berpapasan di pagi hari, saat Zara berangkat sekolah dan Rian menuju bengkel tempat ayahnya bekerja.
Rian adalah anak yang pendiam, namun matanya selalu berbinar-binar. Zara sering melihatnya membaca buku di teras rumahnya, wajahnya serius dan fokus. Ia penasaran dengan dunia Rian, dunia yang berbeda dengan dunianya.
“Kamu kenapa melamun, Zara?” tanya ibunya, menyajikan sepiring nasi dan lauk sederhana.
Zara menggeleng. “Enggak apa-apa, Ma. Cuma mikirin ujian.”
“Tenang saja, Nak. Mama yakin kamu bisa. Yang penting kamu berusaha,” kata ibunya, tangannya lembut mengelus rambut Zara.
Malam itu, Zara kembali menatap Rian di balik jendela. Ia melihat Rian sedang menulis di buku catatannya, cahaya lampu kamarnya menerangi wajahnya yang serius. Zara teringat kata-kata ibunya, “Yang penting kamu berusaha.”
Sejak saat itu, Zara memutuskan untuk belajar lebih giat. Ia memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar, bahkan saat membantu ibunya di warung kecil milik mereka. Ia juga mulai menabung, sedikit demi sedikit, untuk biaya kuliah.
Suatu sore, saat Zara sedang belajar di teras rumahnya, Rian menghampirinya.
“Hai, Zara. Kamu lagi belajar?” sapa Rian, sedikit gugup.
Zara terkejut. “Eh, Rian. Iya, lagi belajar.”
“Kamu mau masuk kedokteran, kan?” tanya Rian.
Zara mengangguk. “Iya, aku pengen jadi dokter.”
“Aku juga pengen kuliah, tapi aku belum tahu mau masuk jurusan apa,” kata Rian.
“Kamu suka apa?” tanya Zara.
“Aku suka baca buku, belajar tentang sejarah, dan juga suka menggambar,” jawab Rian.
“Wah, keren! Kamu bisa jadi arsitek atau sejarawan,” kata Zara.
Mereka berdua mengobrol hingga larut malam, berbagi mimpi dan cita-cita. Zara merasa terinspirasi oleh semangat Rian, yang tak pernah menyerah untuk meraih mimpinya meskipun hidup dalam keterbatasan.
Hari demi hari berlalu, persahabatan mereka semakin erat. Mereka saling mendukung dan memotivasi untuk meraih mimpi masing-masing. Zara belajar dengan tekun, sementara Rian rajin membaca buku dan mengasah bakatnya dalam menggambar.
Ujian akhir semester tiba. Zara merasa gugup, namun ia berusaha tenang dan fokus. Ia yakin bahwa semua usahanya akan membuahkan hasil.
Beberapa minggu kemudian, hasil ujian diumumkan. Zara berhasil meraih nilai yang memuaskan. Ia bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan atas semua yang telah diberikan-Nya.
“Zara, kamu lulus!” seru ibunya, memeluk Zara erat.
Zara tersenyum bahagia. Ia tahu bahwa perjalanan menuju mimpinya masih panjang, namun ia yakin bahwa dengan tekad dan semangat yang kuat, ia akan mampu menggapainya.
Malam itu, Zara kembali menatap Rian di balik jendela. Ia melihat Rian sedang menggambar, wajahnya serius dan fokus. Zara tersenyum. Ia tahu bahwa Rian juga akan meraih mimpinya, seperti bintang yang bersinar di balik jendela.
“Terima kasih, Rian,” bisik Zara, matanya berkaca-kaca. “Kamu adalah bintang di balik jendela, yang selalu menginspirasiku.”