Family Outing barangkali kata yang tepat untuk menggambarkan kegiatan yang sedang berlangsung di depan. Nayya tidak duduk sendirian di bawah bayang-bayang pepohonan rindang. Berjarak sekitar satu meter, seorang wanita dan gadis cilik turut bersorak menyemangati para lelaki yang bermain voli kaki di tengah lapangan.
Di antara sekawanannya, semestinya Nayya terpikat pada keelokan makhluk berdimple mirip Jaehyun NCT, lelaki idola yang memiliki ketampanan di atas rata-rata. Sayangnya mata dan pikiran hanya tertuju pada sosok lelaki tinggi berpipi chubby yang lebih pantas disebut anak bawang sebab hanya bisa berdiri tanpa berkontribusi.
Seharusnya sekumpulan orang ini bukanlah manusia sembarangan. Mereka manusia hebat dan luar biasa dalam karir dan pekerjaan. Pertama, Tyo, lelaki mirip Jack Frost itu adalah musisi terkenal dan telah go international. Andra, lelaki bermata lembut yang merupakan dokter residen dan segera bergelar spesialis dalam beberapa waktu mendatang.
Jovan, si lelaki paling tinggi berwajah sangar yang seorang sutradara ternama. Yudha, aktor film dengan segudang talenta dan telah diakui dunia. Arka, lelaki berlesung pipi yang seorang arsitek dan anak pengusaha. Dan terakhir, Aksa sosok pengacara berwibawa yang berhasil memenangkan hatinya, pria julid yang dinikahinya tiga tahun lalu dengan alasan terpaksa.
Tak peduli berapa kali pun sosok itu membuatnya menepuk jidat hingga menutup muka akibat aksi memalukannya yang berturut-turut salah mengoper bola, Nayya tetap saja memuja dan tak sanggup berpaling darinya. Di saat seperti ini, Aksa seolah menunjukkan jati dirinya. Penakut, ceroboh tapi ceria dan berpotensi membikin ia jatuh cinta atas segala kekurangannya.
Yep, pria itu telah membuktikan betapa payah dirinya. Kendati demikian, tim Aksa, Tyo dan Yudha adalah pemenangnya. Mereka bertiga berpelukan layaknya anak balita, sedikit lupa akan fakta bahwa mereka golongan pria dewasa yang telah matang secara usia. Namun, Nayya tak sanggup mencegah senyumnya yang mengembang tatkala mata itu bersinar hanya untuknya.
Meskipun ia tahu langkah itu mengarah padanya, tetapi tatapan dan lambaiannya tertuju pada seseorang yang sejak awal menjadi ancaman terbesarnya. Nayya menunduk samar dengan senyum yang berangsur memudar. Kehadiran wanita lain yang digadang-gadang mantan terindah suaminya tak pelak membangkitkan rasa waspada.
Kenyataan Aksa pernah mengorbankan waktu dan tenaga demi membawa pulang wanita itu ke tanah air, menambah kecemburuannya. Nayya tak ingin terang-terangan menunjukkan kecurigaan yang telah melambung di hadapan suaminya. Rumah tangga berpondasi atas rasa saling percaya, Nayya tentu tak mau membuat Aksa kecewa akan segala prasangkanya.
Lagi pula, wanita yang seiras dengannya tersebut akan menikahi Arka yang juga ayah dari anak perempuan mereka. Membicarakan tentang anak, sesungguhnya Nayya sebah dan iri, sebab sampai detik ini Aksa belum juga memberi izin dirinya untuk melahirkan keturunannya. Pria itu selalu berdalih agar ia mengejar pendidikan ketimbang mengasuh bayi di usia muda.
Lantas bagaimana mungkin Nayya bisa tenang dan berpikir positif bila penglihatannya seringkali ditampakkan keakraban Aksa bersama Laveena. Setegas apa pun ucapannya, Aksa tetaplah pria matang berkepala tiga yang pasti mengharapkan dipanggil ayah oleh anak kandungnya. Hanya saja pria itu terlalu munafik sampai-sampai tak mengindahkan hatinya yang telah mendamba.
"Ish, kak Aksa!" Nayya memekik lirih begitu merasai gelitikan menerjang pinggangnya. Saat menoleh, penampakan suaminya yang cekikikan membanjiri mata. Meski cemberut, di sudut-sudut bibirnya tertarik sebuah senyuman. "Apa sih gelitikin gini? Bikin kaget, tau nggak?"
"Kamu tadi pamit mau ke toilet, aku tungguin nggak balik-balik. Aku khawatir loh, Sayang. Tau-taunya kamu malah ngelamun di sini. Kenapa sih? Kamu lagi nggak enak badan?"
Setelah acara outbond, mereka memutuskan untuk istirahat di dalam. Dua hari ini mereka menginap di villa milik keluarga Jovan yang berlokasi di pedesaan. Udaranya lumayan sejuk sehingga orang-orang memilih berkaraoke, sementara yang lain memancing di sungai. Begitu merampungkan satu lagu, Aksa tak lagi melihat keberadaan istrinya, maka ketika Yudha memberitahu Nayya sedang memandangi ikan di akuarium, ia bergegas menjemputnya.
Nayya menggeleng. "Aku sehat. Nggak ada yang perlu Kakak khawatirkan," ujarnya menenangkan.
Pria itu tersenyum. "Sayang, kalau bosan, kamu bilang sama aku, nanti kita jalan-jalan keluar. Kayaknya di sekitar sini viewnya bagus-bagus karena deket pegunungan."
"Kak, ini kan waktu berharganya Kakak sama temen-temen Kakak. Aku nggak bosen, aku cuma ngerasa jadi perempuan sendiri karena mbak Khaira dan Lavi udah pergi ke kamar. Kalau jalan-jalan sih aku mau banget. Tapi ... nanti setelah acara Kakak selesai, kita bisa nikmati waktu berdua. Hanya berdua," ujarnya mengerling, mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah.
Hal tersebut tak ayal memantik senyum Aksa kian merekah. Seandainya bukan atas bujukan Aksa yang terkesan memaksa, ia takkan bersedia ikut bersamanya. Hanya saja, Aksa terus mengungkit keikutsertaan Khaira dalam acara bertajuk solidaritas antar saudara. Menyaksikan suaminya yang antusias, ia benar-benar tak sanggup menolak, walau di bagian tergelap hatinya, Nayya merasakan pedih tak terkira lantaran menduga-duga kehadiran Khaira adalah penyebab suaminya tampak berbahagia.
"Istrinya aku sekarang udah pandai menggoda, hm? Sini, biar aku kasih hadiah."
Aksa merapatkan posisi mereka, memeluk pinggang istrinya dan mendusel-dusel wajah yang telah dipenuhi rona. Sedangkan si perempuan berkerudung biru yang merasa kegelian dan tak nyaman, bersegera mendorong tubuh suaminya di sela jemari panjang yang menyerang.
"Kakak stop! Nggak enak tau dilihat yang lain. Aku 'kan jadi malu sama temen-temen Kakak."
"Ngapain malu sih, Sayang? Kita suami istri lho ini, mereka juga paham kalau kita mesra-mesraan gini."
"Dosa tau, Kak, pamer kemesraan di depan orang-orang yang belum ada pasangan," sanggah Nayya berbisik. Irisnya melirik-lirik, takut bila ada salah seorang teman Aksa yang mendengar obrolan mereka. Ditambah pria itu urung melepas pelukannya. Di ruangan ini tidak hanya ada mereka berdua. Banyak pasang mata yang bisa saja mengawasi kegiatan tak senonoh suaminya.
"Salah mereka lah, Sayang, nggak bawa pasangan. Lagian ini acara keluarga. Mereka dong yang nggak bisa memanfaatkan kesempatan."
Aksa masih saja menimpali, alih-alih menggenggam kemenangan yang hakiki. Mana mau sih lelaki berbibir tipis ini kalah? Di persidangan pun dia rela berperang demi menegakkan keadilan sampai titik darah penghabisan.
"Uhuk, uhuk, huk, huk, huk!"
Sayangnya, akibat terlalu fokus pada perdebatan, keduanya tidak menyadari akan eksistensi makhluk lain yang sudah berdiri di satu ruang yang sama. Aksa yang tanggap pun cepat-cepat menoleh, sementara Nayya yang kepalang malu berlindung di dada bidang suaminya.
"Pak Dokter, kenapa? Sakit batuk, Anda?" tanya Aksa yang terdengar tanpa beban.
"Enggak, Pak. Kena mental doang sih," dengkus pria bermata teduh itu bersedekap dada. Jelas Andra kena mental. Memancing tidak dapat ikan, pulang-pulang malah disuguhi keromantisan, mana pula dia si jomlo yang belum punya pasangan.
"Oi, Pak, mulut pengacara boleh dipidanakan nggak sih?"
Bibir Aksa tampak terlipat menahan tawa. "Nggak boleh lah, Pak. Kalau mulut saya dipidana, saya nggak bisa kerja. Dengan apa saya menafkahi istri saya ini?" balasnya menaik-turunkan alis, sok bijaksana.
Tangannya bahkan tak bisa diam mengusap-usap kepala istrinya. Di balik wajahnya yang tersembunyi, Nayya merutuki suaminya yang tega menggunakan ia sebagai tumbal atas kesalahannya sendiri. Andra yang mendengar celotehan itu malah tertawa.
"Pfft! Sa ae lo, Bang!"
Bersamaan dengan itu, Aksa memberi isyarat pada Andra agar segera hengkang dan tak mengganggu pasangan yang tengah kasmaran. Andra sama sekali tak berprotes dan gegas beranjak meskipun kepala geleng-geleng menyikapi kelakuan sang Abang.
"Sayang, Andra udah pergi."
Bisikan itu serta merta mengalihkan perhatian Nayya dari dekapan suaminya. Matanya mengintip, coba membuktikan ucapan Aksa perihal ketiadaan orang lain di sana. Ia menghela napas panjang begitu tak menemukan presensi manusia bernama Andra.
"Aku mau mandi, Kak. Gerah banget." Perkataannya tersebut sekonyong-konyong membuat sosok di hadapan langsung berbinar-binar seolah mendapat uang 1 milyar.
"Mandi bareng, yuk! Aku sabunin kamu, kamu sabunin aku. Kita kerja sama. Hm!"
Nayya melotot. "Kakak! Astaghfirullah, tolong dong itu dikontrol kata-katanya, frontal banget tau. Mau bikin aku tambah malu, ya?"
"Sayang, enggak gitu, Yang. Aku juga gerah banget lho ini habis main bola, nggak tahan. Buruan, yuk, mandi. Kamu juga kepanasan 'kan dari tadi?"
Jika sudah demikian, maka Aksa menjadi pihak paling berbahagia. Bahkan ia tergesa membuka pintu kamar agar bisa segera mengarungi dunia milik berdua. Aksa memang manusia termodus, awalnya saja mengajak mandi, ujung-ujungnya juga kebablasan hingga lupa diri.
Yang lebih nyelekit adalah pria itu tak pernah absen memakai balon karet di setiap kali mereka melakukan hubungan suami-istri. Setidak-ingin itu kah Aksa memiliki anak dengannya? Rasa sesak tahu-tahu memenuhi dada. Nayya tak sanggup lagi menitikkan air mata dan hanya mampu berpasrah di bawah kendali suaminya.
.
.
.
Malam itu merupakan puncak acara sekaligus kulminasi kesabaran Nayya. Api unggun dinyalakan, demikian barbeque yang telah dipersiapkan. Nayya bergabung dengan Aksa, Yudha dan Jovan yang sedang mengobrol santai dan sesekali melempar lawakan yang jujur saja tidak lucu alias garing. Meski begitu, ia menikmati.
Tak disangka, dua kawan suaminya yang tampak garang ini justru asyik dan penuh kerandoman. Di saat Andra sibuk menjarah makanan, Tyo tertidur lebih awal sebab esok pagi harus terbang ke LA dalam rangka pekerjaan. Arka mengantar sang putri semata wayang yang merengek ingin makan permen kapas malam-malam.
Suasana tepi kolam renang tetap meriah meski perlahan redup dan menyisakan riuh rendah obrolan tiga sekawan. Nayya kemudian pamit untuk mengambil air minum setelah mengetahui hanya soda yang tersisa. Belum ada sepuluh menit ia meninggalkan, tahu-tahu ia dihadapkan oleh pemandangan mencekam di tepi kolam renang.
Nayya terpenjara di tempatnya berpijak tanpa sanggup melangkah lebih dekat. Masih ada orang lain di sekitar, tapi mengapa, sekali lagi, Aksa harus mengorbankan diri mencebur dalam dinginnya air kolam demi menolong seseorang yang tergelincir dan tenggelam. Hatinya tambah meradang tatkala menyaksikan raut panik yang kentara.
Aksa seolah lupa di mana dan dengan siapa ia berada, sampai-sampai ia tega meminggirkan perasaan istrinya. Nayya enggan melihat adegan selanjutnya yang mungkin akan lebih menyakitinya. Maka ia berbalik dan lekas pergi, entah ke mana dan bagaimana cara ia membebat luka yang menganga. Setetes liquid pada akhirnya terjatuh seiring tanggul yang mulai rubuh.
Masih di posisinya yang menepuk-nepuk pipi wanita yang ditolongnya, Aksa tetap berusaha menyadarkan meski tak menghasilkan apa-apa. Jalan pamungkas dan satu-satunya adalah memberi CPR sebab sudah takada solusi selainnya. Namun saat ia telah bertekad dan hendak membuka jalur napas, bayang-bayang istrinya seketika menyembul dan berlarian di kepala. Detik itu juga Aksa beristighfar dan jatuh terduduk di lantai yang sedingin telapaknya.
"Biar gue, Bang." Andra yang sudah menangkap kejadian, segera menggantikan Aksa memberi napas buatan. Selain dokter yang cekatan, ia juga lebih tepat menangani sang kembaran.
Tepukan bahu terlayangkan. Pria tinggi nan gagah bernama Jovan tampak berjongkok di samping Aksa yang masih tercenung dalam keterkejutan. "Khaira biar kami yang urus, lo mending susul Nayya, dia udah lihat semua yang lo lakuin."
Jantung Aksa terasa berhenti, lalu berdenyut keras seakan meremas-remas. Begitu membaca kode yang dialamatkan Jovan, Aksa gegas bangkit dan berlari sekencang setan meski acapkali langkahnya tersaruk-saruk. Susah payah ia membangun kepercayaan, dan dengan bodohnya ia robohkan. Nayya pasti salah paham dan memikirkan banyak hal yang keterlaluan. Tentulah, Aksa tak bisa membiarkan.
"Sayang!" panggilnya di antara napas yang tersengal. Setidaknya Aksa lega mendapati istrinya yang masih utuh meski tidak dengan hatinya.
"Sayang, syukurlah. Ternyata kamu di sini."
Bukan lagi lelehan air mata yang menggenangi, seluruh tubuh Aksa yang basah kuyup pun turut andil membanjiri. Masih mengatur deru napas dan ritme jantung yang berkejaran, pria itu kini dalam posisi membungkuk dengan jemari yang meremat lutut. Tetes-tetes yang berjatuhan lambat-laun mendistraksi Nayya dari perasaan yang campur aduk, antara sedih, kecewa, khawatir dan marah.
"Kakak kenapa ke sini? Kenapa nggak ganti baju dulu? Kakak bisa masuk angin kalau kayak gini," semburnya bersungut-sungut, terdengar kesal dan frustrasi. "Seenggaknya pikirin diri sendiri dulu sebelum orang lain!"
Bahkan tidak ada penyesalan sama sekali, Aksa malah terkekeh mendapat sengat tajam dari sang istri. Matanya tak luput memperhatikan perempuan itu yang tergesa masuk, lalu kembali lagi membawa handuk.
"Tapi kamu istri aku, Sayang, bukan orang lain. Kamu prioritas aku, selalu menjadi yang pertama yang aku pikirin," kelitnya, bukan untuk membela diri atas kekhilafannya, melainkan memang begitu adanya semenjak Nayya menjadi tanggung jawab dan cinta tunggalnya.
"Apa tadi Kakak nggak mikir kalau apa yang Kakak lakuin itu juga membahayakan diri sendiri? Aku tau menolong orang itu kebaikan berpahala dan wujud dari rasa kemanusiaan. Tapi, Kak, di sana bukan cuma ada Kakak, kan?" berondong perempuan itu, lirih dan bergetar. Di kala hatinya carut-marut, tangannya masih sanggup memberi kehangatan pada si pria yang menggigil kedinginan.
"Maaf, Sayang, aku salah, aku nyesel bikin kamu khawatir. Tadi ... cuma refleks."
Aksa menunduk, merasa bimbang untuk mengatakan alasannya. Ia tak mau Nayya semakin salah paham padanya. Apalagi menyaksikan mata itu yang berkaca-kaca, Aksa makin tak sanggup menatapnya. "Don't get me wrong, Sayang."
Nayya berpaling ke arah lain. "Enggak. Aku nggak menyalahpahami sikap Kakak. Sebagai teman, Kakak pasti nggak mau terjadi hal buruk dengan mbak Khaira. Aku sudah menguatkan hati untuk selalu mempercayai Kakak, dan aku selalu berusaha untuk waras biar aku hanya bisa melihat sisi positif dari Kakak, tapi ...."
Aksa menggeleng. "Nay, kamu boleh marah sama aku. Kamu boleh maki aku, karena aku tau aku memang salah."
"Marah cuma ngehabisin energi. Memaki juga bukan sifatku. Allah nggak suka istri yang durhaka terhadap suami. Aku nggak akan biarin Kakak menanggung banyak dosa karena aku," lirih perempuan itu, menyeka bulir bening yang merembes hingga dagu.
"Aku, aku akan berusaha menjadi lebih baik supaya Kakak nggak lagi melihat perempuan lain selain aku. Meski sulit, aku akan tetap berjuang."
Perasaan insecure yang terdeteksi sejak awal pernikahan sejatinya telah memprovokasi Nayya untuk melakukan berbagai upaya agar dapat menyejajari sang suami, namun tidak pula mengungguli. Perubahan ini jua yang memahamkan Aksa bahwa istrinya telah bertumbuh dewasa.
Nayya bukan lagi bocah nakal yang lekat akan anger issues yang hobi berkata sinis dan membentak sekehendak hati. Pertambahan usia membentuknya sedemikian rupa.
"Mungkin tiga tahun ini usahaku belum maksimal sampai aku nggak memahami perasaan Kakak untuk mbak Khaira yang sebenarnya masih ada. Aku pun belum bisa menempati ruang teristimewa di hati Kakak. Ngelihat Kakak yang tanpa pikir panjang masuk kolam renang demi menolong mbak Khaira, aku sadar posisiku belum sekuat itu." Lagi-lagi Nayya menghapus rintik-rintik yang telah meluber deras.
"Nay ...." Semakin banyak perempuan itu berbicara, maka semakin terluka hatinya. Satu kalimat saja mampu menohoknya, apalagi bila dilanjutkan, mungkin akan lebih menyiksa. "Kamu sadar nggak ucapan kamu itu makin ngelantur?"
Ingin sekali Aksa meraih istrinya, mendekapnya erat dan mengunci bibirnya agar tak lagi mengucap sembarang kata, sayangnya ia cukup tahu diri akan keadaan tubuhnya yang masih basah. Aksa kesal karena tak bisa melakukannya. Dia juga benci pada dirinya yang terlalu gegabah mengambil tindakan tanpa mengingat perasaan istri yang harus dia jaga. Bagaimana pun, Khaira adalah mantan, dan Nayya sudah tahu seluk-beluknya di masa silam.
"Oke, aku minta maaf. Aku sangat bersalah. Aku berdosa, Nay. Bilang sama aku, kamu ingin aku bagaimana supaya aku bisa menebus seluruh kesalahanku?" sendunya yang mulai berpatah arang.
Aksa mengaku dirinya tidak cukup jantan. Ia bahkan menolak hal-hal romantis yang berbau clingy. Dia si Tuan Jutek yang tak punya sentimentalitas. Namun bersama Nayya, ia tak sanggup bertahan dalam ketegangan yang terlalu lama. Aksa hanya tidak bisa.
Nayya mengangkat pandang. Selayaknya oasis di tengah padang pasir yang memberi penghidupan bagi dirinya yang dilanda kehausan. Tentu lah, akal sehat dan pengharapan yang nyaris terkubur berkonspirasi menjadi kesatuan kompak yang meronta-ronta meminta dibebaskan. Kesempatan takkan datang dua kali, maka Nayya tak boleh menyia-nyiakannya kali ini.
"Nay—"
"Anak."
Begitu jawaban terlontar, dapat Nayya saksikan respons suaminya yang terhenyak demikian mata yang membelalak. Reaksi seperti itu sudah terdeteksi lebih dulu bahkan sebelum Nayya mengutarakan inginnya.
"Aku pengin punya anak."
Konon, anak adalah pengikat tali cinta perkawinan. Maka Nayya mempersiapkan segala demi membekali diri di masa depan bila diberi kesempatan untuk melahirkan keturunan. Namun nyatanya itu hanya angan yang mustahil kesampaian. Terbukti dengan ekspresi yang ditampilkan, jelas itu sebuah penolakan. Terlebih Aksa hanya diam tanpa berminat memberi balasan.
Ia menarik napas dalam-dalam, menyusut air mata yang hampir tumpah di wajahnya yang pualam. Rahangnya bergetar ketika hendak berujar, "Aku ngerti, aku ngerti Kakak nggak akan sanggup. Nggak akan pernah."
Lalu ia memilih berbalik badan, membelakangi sang suami yang masih bungkam. Rasa ini terlalu menyakitkan hingga ia tak mampu membendung kesedihan.
"Kakak, maafin aku, yang barusan nggak usah dipikirin, ya," lirihnya tersenyum sendu, kembali menghadap suaminya selepas menghidu ketenangan. "Permintaanku mungkin berlebihan dan terlalu sulit untuk dikabulkan. Aku nggak mau menyulitkan Kakak."
Beginilah akhir dari diskusi searah. Nayya harus tegar semata-mata menundukkan ego untuk mengalah. Atensinya merendah upaya pengendalian pedih yang membuncah. Sayang seribu sayang, ketika ia berencana meninggalkan obrolan, tak disangka-sangka sebuah tangan menggenggamnya penuh kelembutan.
Kontan ia terpana menyaksikan punggung di hadapan yang menuntun langkah melintasi ruang demi ruang. Aksa mengunci pintu tak lama setelah mereka tiba di kamar penginapan. Pria itu tak mengatakan apa-apa dan hanya melewati istrinya yang masih berdiri kebingungan.
Nayya refleks melirik ke belakang, memperhatikan sang suami yang beranjak menuju kamar mandi. Di kala sibuk menetralisir pikiran yang dijejali berbagai pertanyaan, ia memilih duduk di tepi ranjang, menunggu Aksa yang tampaknya sedang mandi dadakan.
Selang beberapa menit, pria itu keluar dalam kondisi segar, surai pendeknya memercikkan air tatkala dikibas-kibaskan. Namun, dari sekian komentar yang hendak diungkapkan, Nayya hanya ingin menggumamkan kata tampan.
Aksa ribuan kali menawan jika sudah mengenakan baju koko dan sarung yang sepadan dengan parasnya yang rupawan. Saking terkesima, Nayya sampai tak sadar telah diperhatikan suaminya.
"Buka hijab kamu, kita sudah di kamar berdua," tutur pria itu kalem. Tidak ada nada memerintah meskipun perkataannya adalah titah. Nayya yang sejak tadi termenung pun ikut terperangah.
"Kamu ambil wudhu, ya, kita shalat sunnah berjamaah."
Kelopak indah itu kian terbuka tatkala si pria mencurahkan senyum tipisnya. Tanpa babibu, Nayya langsung beranjak menuruti instruksi suaminya. Aksa terlampaui meresahkan bila dipandang terus-terusan.
Maka ketika ia sudah rampung dengan segala urusan, ia bersegera menggelar sajadah persis di belakang Aksa yang menjadi imam. Dua rakaat pun selesai begitu salam terlisankan. Di keheningan yang menentramkan, Aksa melafalkan doa-doa yang diaamiinkan oleh istrinya.
"Nay ..." panggilnya pada Nayya yang baru saja menyimpan mukena, sementara ia telah duduk di ranjang dengan pakaian yang sudah berganti baju rumahan.
"Sini, Sayang, duduk di sini," lanjutnya menepuk paha.
Kendati bersemu, Nayya tetap datang padanya dan mematuhi ucapannya. Mereka terbiasa melekat erat seperti magnet, tetapi malam ini tampak berbeda, sebab masih ada konflik yang mesti diselesaikan berdua.
Bersekon-sekon terlalui dan mereka masih saling diam. Kebisuan yang merayap memberi peluang bagi keduanya untuk bertukar interaksi lewat tatap dan sentuhan. Seperti mana ketika Aksa memeluk hangat istrinya seraya membaui keharuman tubuhnya yang menenangkan. Tangannya tak luput mengelusi surai kecokelatan yang memanjang. Sangat halus dan lembut hingga membikin kecanduan telapaknya untuk kembali merasakan.
"Sayang, kamu percaya nggak, Allah itu sangat memahami kita bahkan saat kita nggak bisa memahami diri kita sendiri? Semua yang ada di hati kita tampak jelas di hadapan-Nya. Bicara atau enggak, Allah selalu paham, tapi aku tetap curhat pada-Nya kalau aku sangat sayang kamu. Andai kamu nggak yakin dengan ketulusanku, biar Allah nanti yang akan meyakinkanmu, karena kamu tau, aku sudah menyebutmu ribuan kali dalam doaku."
Intimasi yang sesaat lalu mendebarkan jantung, kini bereskalasi menjadi desiran hebat berkat ucapan mahadahsyat yang senantiasa menggaung. Nayya tanpa sadar meremat jemarinya yang berada di balik punggung.
"Aku sayang kamu bukan karena kamu mirip seseorang di masa lalu. Jika aku memiliki perasaan yang seperti itu padanya, mungkin aku sudah berpaling sejak dulu. Tapi mana bisa aku menyimpan hal demikian jika hatiku sudah terkunci hanya untuk kamu? Kamu lah penghuni ruang teristimewa di hatiku. Aku cinta kamu, Nay," ungkap pria itu sarat keyakinan. Matanya pun tampak menyorot ketegasan.
"Khilafku adalah dosa yang memalukan. Aku malu padamu, aku malu pada Tuhan, dan aku lah yang paling takut ditinggalkan kamu. Nay ... kamu itu lebih muda dariku, kamu cantik, cerdas, shaliha, laki-laki mana yang nggak terpikat olehmu?" sendunya, menyandarkan dagu di pundak istrinya.
Nayya yang pada mulanya terharu-biru akibat pengakuan romantis suaminya, tiba-tiba mendengkus begitu mendengar nada bicara pria itu yang terkesan pasrah dan tak berdaya. Jika saja kelakuannya ini didengar dan dilihat teman-temannya, Aksa pasti sudah ditertawakan sekeras-kerasnya.
"Kesimpulannya, Kakak curiga aku selingkuh?" ketus perempuan itu, melirik sengit pada si pria yang tampak berjengit. Aksa menjadi serba salah. Gelagat paniknya pun lamat-lamat menghiasi wajah.
"E-enggak seperti itu, Sayang. Aku cuma bicara jujur tentang kamu. Di mataku kamu sangat sempurna, bahkan aku sulit mengatasi kesempurnaan kamu."
Untuk kedua kalinya Nayya mendengkus keras. Rolling eyes menambah kesan malas. "Kakak bicara begitu karena ingin mengalihkan? Kakak yang udah mencurigai aku duluan, loh," ungkapnya judes. "Tapi nggak papa deh, aku maafin. Kakak bilang, kan, aku shaliha. Jadi sebagai istri yang shaliha aku nggak akan membantah," ujarnya, tersenyum sarkas.
"Lagian, apa yang Kakak bilang itu bener kok. Di luar sana pasti banyak cowok yang naksir aku. Di atas Kakak bahkan ada yang lebih ganteng. Contohnya kak Arka ...."
"Nay."
"Itu bagian dari realita, tapi aku sadar wajah ganteng aja nggak cukup untuk bikin aku terpesona. Sesempurna apa pun laki-laki di luar sana, aku nggak akan pernah bisa lihat mereka seperti caraku melihat Kakak. Kakak itu tempat ternyamannya aku, dan cuma Kakak yang bisa bikin aku merasa nyaman."
Aksa mengerjap-erjap. Terpegun oleh susunan kalimat istrinya.
"Nay, belajar dari mana kata-kata seperti itu?"
Ditanya begitu, Nayya tersenyum miring. "Dari suamiku," jawabnya. "Kakak itu inspirasiku, jika bukan Kakak yang membimbing dan mengajariku, aku nggak akan menjadi Nayya yang sekarang. Kalau aku nggak memilih tinggal di sisi Kakak, aku yakin, aku masih salah jalan. Hidayah Allah datang melalui Kakak. Dan aku bersyukur karena Kakak lah suamiku."
Sejak menjatuhkan diri ke kolam renang, Aksa belum minum air sama sekali. Maka tak heran bila bibirnya kering saat secara kebetulan ia basahi. "Kamu sengaja bikin plot twist nih?"
"Kakak seharusnya sudah tau sejak awal," sahut Nayya cuek yang justru membuat Aksa makin tertegun tak percaya. Pria itu sukar menutupi rasa takjubnya.
"Nay, tau 'kan aku sayang banget sama kamu," cetusnya penuh kejujuran sekaligus gemas tak tertahan. Indeks kebahagiaan yang meningkat dan trenyuh yang merebak menyebabkannya tak sanggup mengendalikan diri untuk tak mengecupi wajah sang istri.
"Boleh aku tanya sekali lagi mengenai permintaan kamu tadi, apa kamu sudah benar-benar siap?"
Nayya berkerut alis sembari menatap intens mata berkilat yang juga memandangnya lekat. Ketika ia telah paham tanya apa yang dimaksudkan, dengan mantap dia menjawab, "Sangat siap."
"Kamu yakin? Setelah punya bayi kamu akan kesulit—"
"Kak, tolong jangan memikirkan itu. Sebagai orang tua, kita akan mengasuhnya bersama-sama. Aku yakin Kakak nggak akan biarin aku repot sendirian. Kalau aku sudah meminta seperti ini, artinya aku sudah siap dengan segala konsekuensinya," tegasnya tak terbantah.
Bagaimana pun, dia seorang wanita dewasa dan punya naluri yang luar biasa. Seapik apa pun Aksa menyembunyikan perasaan, dia tetap mampu merasakan apa yang ada padanya. Semua yang tersimpan rapi seolah tergambar jelas di mata. Dia sangat paham separah apa pria itu menahan diri dan memendam seluruh angan hanya karena terlalu memikirkannya.
"Yakin? Tanpa penyesalan?"
"Apa lagi yang Kakak ragukan? Bukankah menunda-nunda itu nggak baik dan Allah nggak suka?" tandasnya membungkam Aksa telak. Pria itu garuk-garuk pelipis menutupi diri yang salah tingkah.
"Kakak nggak bisa bohongin aku, dari sikap Kakak yang sering ngajak Lavi ngedate itu sudah cukup jelas. Ketimbang nyulik anak orang sering-sering, kenapa nggak berinisiatif punya anak kandung sendiri?"
Aksa bergumam panjang, memperhitungkan balasan cermat untuk beralasan. "Nay, Allah juga nggak suka sikap yang terburu-buru. Terburu-buru pun bukan sesuatu yang baik."
"Terburu-buru, Kak?" sambut perempuan itu, menatap sangsi. "Kita tiga tahun pernikahan, Kak. Apa tiga tahun itu rentang waktu yang pendek untuk dikatakan terburu-buru?" tanyanya diwarnai emosi. Nayya merasa dia sudah kalap dan tak bisa berpikir jernih. "Kalau jawaban Kakak seperti itu maka aku semakin yakin Kakak memang nggak pernah berniat berumah tangga denganku, Kakak nggak pengin punya anak dariku karena masih terbayang-bayang masa lalu—"
"Sayang, kamu salah menangkap maksudku," potong Aksa cepat. Tangannya pun sigap menahan istrinya yang hendak turun dari pangkuan. Dengan cekatan pula ia mendekap erat tubuh itu yang memberontak ingin dilepaskan. Pelan-pelan sekali Aksa mengusap kepala Nayya demi mengalirkan ketenangan.
"Aku katakan sekali lagi, Khaira itu bukan saingan kamu. Jangan merasa nggak aman karena dia. Yang aku cinta itu kamu, Nay," tekannya berintonasi rendah namun tegas. Embusan napasnya terdengar kasar dan lelah.
"Eyang ... aku sudah berjanji pada Eyang untuk menjaga kamu dengan baik, Eyang juga meminta agar kita menunda punya anak sampai kamu berhasil meraih mimpimu. Aku minta maaf nggak bilang ini sejak awal. Aku minta maaf, Nay," lirihnya sarat penyesalan. Tonjolan di leher turut bergerak naik turun selaras air liur yang tertelan. Pandangannya lantas beradu dengan sang istri yang tampak tersentak dan seolah meminta penjelasan.
"Akung? Maksud Kakak gimana? Aku nggak salah denger, kan?" tanya perempuan itu, syok.
"Maaf."
Nayya tergugu. Tidak menyangka Kakeknya akan sekejam itu pada mereka, pada suaminya.
"Kakak pasti tersiksa dengan permintaan itu," sesalnya. Dia menyesal pernah menuduh Aksa, ia juga menyesal karena tidak tahu kapan perjanjian itu bermula.
"Seharusnya Kakak juga melibatkan aku. Kenapa mengambil keputusan sendiri tanpa bertanya padaku? Aku pihak yang bersangkutan dan aku merasa sangat keberatan. Aku menentang keras kesepakatan itu. Akung tidak berhak ikut campur urusan rumah tangga kita. Ini kehidupan kita berdua, Kak," ungkap perempuan itu menggebu-gebu. Emosinya yang menggunung meluap begitu saja.
"Sekarang aku minta Kakak untuk batalin perjanjian itu. Aku tau Kakak orang baik, tapi Kakak juga harus memikirkan diri sendiri," finalnya, seolah ia memahami betul sifat suaminya yang cenderung mendengar dan menghargai pendapat orang tua daripada kebahagiaannya. Maklum, Aksa ini tipikal anak Mama meskipun sudah berkeluarga.
Aksa mendesah berat. "Maaf, Sayang. Secepatnya aku akan berbicara pada Eyang tentang masalah ini. Aku nggak tau nanti Eyang akan menilaiku bagaimana setelah membocorkan rahasia di antara kami," akunya, tertawa lirih atas kebodohannya. Dia memang bodoh, dia lugu, dan dia terlalu cupu untuk menjadi suhu.
"Jadi?" tagih Nayya yang tampak menanti-nanti. Dia harap-harap cemas jikalau Aksa masih bimbang untuk memberi keputusan. Suaminya ini jenis manusia pemikir terstruktur yang akan melakukan segala sesuatu secara teratur. Sosok perfeksionis yang sangat teliti dan hati-hati.
"Apa sebaiknya kita memulai program dari sekarang?"
Senyum semringah membingkai wajah. Nayya senang karena pada akhirnya Aksa tidak lagi salah mengambil langkah. Anggukan setujunya lamat-lamat menghasilkan senyum merekah. Aksa menghapus jarak di antara mereka. Telapaknya yang hangat merangkum tengkuk istrinya. Tatapan matanya pun melembut seiring ciuman yang berlabuh di bibir wanitanya.
"Aku cinta kamu, Sayang," bisiknya tepat di telinga Nayya yang kini telah berbaring di bawahnya. Semburat merah perlahan-lahan menyebar hingga telinga.
"Semoga Allah mencintaimu, karena kamu telah mencintaiku."
"Aku sungguh mencintaimu."
Aksa kemudian melanjutkannya dengan kecupan intens di dahi. Detik ini ia memahami, permasalahan yang terjadi antara suami istri harus dibicarakan dari hati ke hati. Komunikasi mendalam dan belajar untuk menggali serta mengenali emosi pasangan adalah yang paling inti.
Sejatinya saat dia memutuskan untuk menikahi istrinya, dia telah berlatih untuk berinteraksi dan bergaul secara sempurna. Setiap suami harus memberikan yang terbaik kepada istrinya, sesempurna mungkin yang dia bisa.
Cinta dan kasih sayang yang dibangun di atas iman kepada Tuhan adalah dua sayap kehidupan agar sebuah rumah tangga berhasil terbang. (Ust. Muhammad Nuzul Dzikri)
—TAMAT—