“Sial, berapa lama lagi kita harus berdiri di sini, Claire?” Becca tidak bisa berhenti memprotes padaku. Gadis berambut cokelat itu bertolak pinggang sambil menggerutu dan mengumpat tak jelas. “Seharusnya aku tidak langsung menyetujui rencana gilamu ini!”
“Ck! Diamlah, Bec! Kau mengganggu konsentrasiku.” Aku membalas tak acuh sembari sibuk mengatur fokus dari teropong yang sedang kugunakan. “Lebih baik sekarang kau membantuku dengan melakukan sesuatu hal yang lebih berguna.”
“Berguna katamu? Menurutmu apa yang sedang kita lakukan ini lebih berguna dan berharga daripada nyawa kita?!” Becca merebut teropongku dengan kesal. Tatapan mautnya membuatku lebih bergidik ngeri ketimbang fakta bahwa kami berada di ujung rooftop, berpegangan pada railing pembatas dari sebuah gedung berlantai 17 tanpa tali pengaman sama sekali.
Yeah, kalian tidak salah dengar. Kami berdua memang sedang berada di atas sana. Menurutku ini adalah spot yang paling bagus dan sempurna untuk mengintai. Tentunya kami bukan orang pengangguran yang melakukan ini hanya untuk uji adrenalin atau siaran parkour. Aku dan Becca memiliki misi penting sebagai tim penyidik FBI—mengungkap siapa dalang di balik pembunuhan yang selama ini menghantui Kota Minneapolis.
Aku yakin pembunuh itu bukanlah orang sembarangan. Dia pasti adalah seseorang yang sangat profesional. Dari seluruh korban yang ada, dia selalu menargetkan orang-orang penting, seperti pejabat politik maupun orang yang memiliki pengaruh besar di negeri ini. Entah apa tujuan sebenarnya, tapi tidak pernah ada warga sipil yang menjadi korban dari kasus ini. Kami sampai menjulukinya The Silent Reaper, pembunuh yang tidak meninggalkan jejak, menyerang dengan cepat dan tanpa suara.
“Ugh, tidak usah berlebihan! Dimana loyalitasmu sebagai pencari keadilan? Begini saja takut,” kataku menjawab pertanyaan Becca yang sebelumnya seraya merebut teropongku kembali.
Mata Becca yang tadinya sudah melotot semakin melotot, nyaris lompat kurasa. “Dengar, Claire, aku tahu kita harus loyal pada pekerjaan kita, tapi sayang nyawa juga jangan lupa! Kau pikir kita adalah kucing yang punya sembilan nyawa?!”
“Well, kita memang bukan kucing, tapi setidaknya kita masih punya tunjangan asuransi.”
“Ah, sudahlah! Lupakan saja. Aku tidak pernah menang berdebat denganmu.” Gadis itu memutar bola mata malas sementara aku tersenyum puas mendengarnya.
Kuamati lagi area luar gedung seberang yang masih penuh dengan keramaian. Hari ini adalah hari kampanye politik untuk pemilihan walikota Minneapolis. Sejauh ini situasi masih aman. Aku tidak melihat ada tanda-tanda aneh yang mencurigakan.
“Kemari berikan padaku! Biar aku yang mengamati.” Becca mengambil teropong dari tanganku dan menggunakannya.
Aku menghela napas dan menoleh ke pemandangan gedung-gedung tinggi lain di balik punggungku. Tepat saat itu, aku justru melihat ada sesuatu yang mencurigakan di sana. “Bec-Becca!” panggilku tak sabar sambil menepuk pundak gadis itu berkali-kali.
“Kenapa?”
“Apa kau mengundang tim penembak jitu untuk membantu penyelidikan kita?”
“Yang benar saja? Kau bilang kita hanya akan mengawasi keadaan seperti biasa. Lantas untuk apa kita—”
“Oh, tidak—”
DOR!
Suara desing tembakan peluru yang menembus udara memaku kami berdua di tempat. Dan detik berikutnya, suara jeritan histeris langsung menyusul dari kerumunan orang-orang di bawah sana. Warga sipil yang sedang menyaksikan kampanye langsung berlari ketakutan ke sana-kemari, membuat suasana menjadi gaduh tak terkendali.
Aku menoleh ke tempat di mana aku melihat orang misterius yang berpakaian serba hitam tadi. Orang itu sudah menghilang, entah lenyap kemana perginya.
“Becca, cepat hubungi anggota tim FBI yang lain! The Silent Reaper sudah menyerang!” seruku seraya berbalik melompat turun dari undakan pembatas rooftop.
“Tunggu, kau mau pergi kemana?!”
“Kemana lagi? Tentu saja menangkap pembunuh sialan itu!”
“Tapi, Claire! Claire!”
Aku tidak mempedulikan teriakan Becca dan langsung berlari menuruni tangga darurat. Aku lupa kalau malam ini adalah malam terakhir kampanye politik di Minneapolis. Pembunuh itu pasti sengaja diam selama beberapa hari untuk menunggu momen yang tepat.
Setelah menuruni ratusan anak tangga, aku segera berlari menghampiri sebuah gedung dimana aku melihat pria berpakaian serba hitam dengan snipernya tadi. Ada tali menggantung di belakang gedung. Dia pasti sudah menggunakan tali ini untuk kabur.
Aku melempar pandang pada orang-orang yang masih berlarian panik. Ada yang menangis ketakutan, berteriak, dan ada juga yang justru sibuk mengabadikan seonggok jasad dari kandidat calon walikota yang sudah tak bernyawa lagi di sana. Di dekat persimpangan, kulihat ada sosok tinggi dengan jaket hitam menyelinap masuk ke gang sempit antara celah-celah gedung. Aku lantas berlari mengejar pria itu lagi dari arah yang berbeda. Untung saja aku lahir dan besar di kota ini, jadi aku sudah hapal segala seluk beluk jalan pintas yang ada di sini.
“Angkat tangan!” Hadangku seraya menodongkan pistol ketika berhasil mencegat pria mencurigakan itu. Orang ini benar-benar telah mempersiapkan semuanya secara matang. Dia menutupi identitasnya dengan sangat rapi, memakai topi, masker, sarung tangan, dan juga jaket kulit hitam yang membuat penyamarannya sulit dikenali, bahkan aku yang kini berjarak kurang dari satu meter darinya saja hanya dapat melihat mata birunya yang bersinar dalam gelap.
“Cepat angkat tangan! Jangan pikir aku takut denganmu!” kataku serius dengan apa yang kukatakan.
Pria itu pun perlahan menaruh koper berisi sniper yang dibawanya ke tanah kemudian mengangkat kedua tangannya.
“Riwayatmu sudah tamat, Brengsek! Setelah ini kau akan membusuk di penjara selamanya!” Aku melangkah maju sembari tetap mempertahankan posisi senjataku tepat di depan wajahnya. “Siapa kau? Tunjukkan jati dirimu sekarang.”
Pria itu terdiam sejenak, tampak berpikir. Suasana di sekitar kami hening, hanya terdengar suara napasnya yang berat. la tidak menggerakkan tubuhnya, namun tatapan matanya tetap terfokus padaku, seolah mencari kelemahan.
"Kenapa kau begitu ingin tahu siapa aku?" Akhirnya ia menjawab, suaranya rendah dan tenang, kontras dengan ketegangan yang mengisi udara di antara kami.
“Karena aku ingin tahu siapa orang yang sudah berani mengacaukan kota ini,” balasku tegas. “Kau tidak akan lolos lagi.”
Pria itu tersenyum singkat. “Kalau begitu bukalah! Lihat sendiri siapa aku yang sebenarnya.”
Aku memicingkan mata kemudian mencoba melihat lebih dekat. Namun, baru saja hendak melangkah lagi pria itu langsung menangkis pistol yang sedang kugenggam dari hadapan wajahnya. Senjataku terlempar dan jatuh dengan suara dentingan besi ke sudut lain. Aku mencoba melawan dengan berbalik menyerangnya dari belakang, tapi ternyata dia lebih pandai dari yang kuprediksi.
“Beraninya kau mempermainkanku!” teriakku geram seraya melayangkan pukulan padanya. Pria itu langsung menangkap pukulanku dan segera menangkisnya dengan cekatan. Entah mengapa dia selalu tahu setiap gerakan yang akan kulakukan selanjutnya, seolah dia paham betul bagaimana caraku bertarung.
“Sial, lepaskan aku!” pekikku, ketika dia malah memuntir tanganku ke belakang dan memborgolnya dengan borgol yang kubawa sendiri. “Aku tidak akan mengampunimu setelah ini!”
“Maafkan aku. Tapi sebaiknya kau tidak perlu ikut campur dengan masalah ini, Claire.”
“Kau? Dari mana kau tahu namaku?!” Aku terbelalak dengan napas yang masih tersengal.
Pria itu kemudian membuka topi dan maskernya.
“KAPTEN?!” gumamku ketika mengetahui siapa wajah di balik masker itu. Dia adalah Kapten Cedric—ketua timku sendiri di FBI! “Kapten bagaimana bisa kau—?”
Aku kehabisan kata-kata. Bagaimana mungkin seorang penjahat yang selama ini kucari adalah orang yang berasal dari timku sendiri, bahkan dia adalah orang yang menjadi panutanku selama ini!
“Kau tidak tahu apa yang sedang kau hadapi, Claire,” bisiknya dengan nada penuh teka-teki.
“Apa maksudmu? Kau sudah membunuh banyak orang yang tak bersalah …”
Pria itu menggeleng dengan senyum pahit di bibirnya. “Tak bersalah? Mereka tidak sebersih yang kau kira. Setiap target yang kupilih adalah orang yang terlibat dalam skema besar untuk merusak kota ini dari dalam. Mereka korup, terlibat dalam perdagangan ilegal, narkoba, dan eksploitasi manusia. Aku hanya membersihkan sampah yang sistem hukum kita gagal sentuh.”
Diriku terdiam mencerna ucapannya. Ini bukan yang kuharapkan.
“Aku hanya berusaha melakukan apa yang benar, meski dengan cara yang salah,” jawabnya lagi. “Seseorang harus melawan mereka, Claire. Kau tahu sendiri, hukum tidak selalu bisa mencapai orang-orang seperti mereka. Kau tahu ini di dalam hatimu.”
Kata-katanya menusuk lebih dalam dari yang ingin kuakui. Aku tahu dunia ini tidak sempurna, dan sistem hukum sering kali gagal menangkap orang-orang yang berkuasa dan licik. Tapi, membenarkan pembunuhan? Itu masih sulit kuterima.
“Kenapa kau harus menjadi seorang pembunuh?” tanyaku, mencoba mencari celah dalam logikanya.
“Karena ketakutan adalah satu-satunya senjata yang mereka pahami. Jika mereka tahu ada seseorang yang siap membunuh untuk menghentikan mereka, mereka akan berpikir dua kali,” jawabnya dengan tegas. “Aku tidak membunuh orang sembarangan, Claire. Setiap peluru yang kutembakkan ditujukan pada mereka yang benar-benar pantas mati.”
Aku terdiam. Sebuah bagian dari diriku ingin membantahnya, mengatakan bahwa keadilan harus ditegakkan dengan cara yang benar. Tapi di sisi lain, ada kebenaran pahit dalam kata-katanya.
Suara beberapa sirine mobil polisi tiba-tiba terdengar menggaung dari kejauhan dan suara Becca yang panik juga ikut terdengar samar dari sana.
“Kau sudah tahu siapa aku sebenarnya dan keputusan sekarang ada di tanganmu, Claire. Maaf sudah melibatkanmu dalam keraguan ini.” Cedric melangkah mundur dan kemudian lenyap dari pandanganku.
Aku tidak mengejarnya lagi malam itu, tetapi cerita kami tidak berakhir di sana. Kasus ini membuka pintu ke skandal yang lebih besar, mengungkap korupsi dan kekuatan tersembunyi yang merusak kota dari dalam. Silent Reaper mungkin seorang pembunuh, tapi dia juga menjadi kunci untuk membongkar jaringan kejahatan yang lebih dalam.
Dan aku, untuk pertama kalinya, mulai meragukan di mana letak batas antara keadilan dan kejahatan.
-Selesai-
