Gerombolan benda langit tersebut menyambangi Kota Yogyakarta sekali lagi. Puluhan proyektil dijatuhkan di berbagai tempat. Tak peduli entah itu bangunan sipil atau milik militer, semua diratakan.
BUMM!! Duar!!
Asap membumbung tinggi, menggantung di langit kota yang masih dipenuhi oleh ratusan pembom milik Sekutu.
"Mlayu, motor abur (Pesawat terbang)!! Motor abur (Pesawat terbang)!! Londo menyerang!!"
Tok Tok Tok!!!
Suara kentongan dipukul beberapa kali pertanda ada marabahaya yang akan segera terjadi. Para penduduk berhamburan keluar dari kediamannya mencari tempat yang aman
"Mlayu mbok, Londo mbok (Lari bu, belanda bu)" Seorang gadis kecil tampak memapah simboknya yang tengah dalam keadaan sakit.
Di tengah-tengah hiruk pikuk lautan manusia yang sibuk menyelamatkan jiwanya,gadis tersebut terus menuntun sang simbok dengan penuh perjuangan.
Gubrak!!
"Simbok!!"
Seorang pria menabrak wanita tua tersebut yang segera tersungkur menerima tenaga dari si pria.
"Mlayu nduk, wis ojo mikirno simbok... Mlayu!! (Lari nak, sudah.. tak perlu memikirkan simbok, larilah!!)"
Wanita tersebut yang masih tersungkur, terinjak-injak oleh ribuan manusia yang tengah dilanda kepanikan.
Gadis tersebut terus berusaha menyelamatkannya, hingga akhirnya ribuan gelombang manusia tersebut memisahkan keduanya.
"Simbokk!!"
-------
Matahari mulai naik sepenggalah, menampakkan sorot sinarnya yang mulai menyengat membakar kulit.
Kehancuran melanda seluruh kota Yogyakarta , bukan sekali ini saja Yogyakarta dibombardir oleh pengebom sekutu dan Nica.
Dari sisi timur, panser panser dan artileri sekutu mulai berdatangan. Di belakangnya tampak serdadu Nica dan Afnei dengan seragam khasnya berlari kecil mengiringi kendaraan tempur mereka.
Mayat mayat bergeletakan di bibir jalan, bangunan rata dengan tanah. Tak ada satupun yang tersisa. Rintihan mereka yang terluka, entah terkena proyektil bom atau tertimpa bangunan, mendayu dayu bak musik kematian di telinga rakyat.
--------
Sebuah kendaraan tempur sitaan dari jepang beriringan menapaki jalan dengan kontur berlubang tersebut. Tak perlu ditanya lagi bagaimana suasana di dalam kendaraan.
Marwoto tergabung dalam Divisi Brajamusti yang berada di kendaraan tersebut. Mereka ditugasi oleh pimpinan TKR Jenderal Soedirman untuk mencegat laju manuver Sekutu yang mendarat di Tanjung Mas,Semarang.
"Kira-kira kenapa mereka bisa kembali kesini ya to??" Tanya kawan Marwoto yang tengah duduk di sampingnya.
"Yo ndak tau to ndul, mereka kemari kan ditugasi sama nduwuran mereka, sama kaya kita yang diperintahkan oleh atasan" Jelas Marwoto.
"Padahal duduk dirumah tanpa mengganggu kedaulatan negara lain tu uenak e minta ampun lho ya to. Kok sempet sempet e ngrecoki negara lain" Rutuk Bandul, teman marwoto.
Marwoto hanya termangu, darahnya mendesir seakan seluruh organnya bergejolak karena adrenalinnya.
Kendaraan terus melaju diatas jalanan yang tak rata tersebut. Hingga ia berhenti di sebuah bangunan yang tak lain adalah gedung pemancar radio bekas Belanda tempo dulu.
Usai diperintahkan untuk berbaris pasukan diberi arahan langsung oleh Komandan TKR Wilayah Jawa Tengah, Jenderal Oerip Soemohardjo.
"Saudara-Saudara, hari ini Londo-Londo itu telah mencoba melakukan serangan kembali ke wilayah Nusantara. Seperti yang Saudara-Saudara ketahui, mereka dengan licik membonceng serdadu sekutu yang bertugas melucuti tentara Nippon"
"Oleh karenanya saya, selaku komandan TKR wilayah jawa tengah, yang bertugas dan bertanggung jawab di wilayah jawa tengah. Meminta bantuan tenaga dari Saudara-Saudara sekalian,untuk mengangkat senjata dan bedhil panjenengan sedoyo, untuk mempertahankan kota Yogyakarta ini!!"
"Hidup NKRI!! Hidup Rakyat!!Merdekaa!!"
"Merdekaa!!"
Sahut para serdadu yang masih berbaris rapi di tempat. Usai apel, divisi milik Marwoto mulai menurunkan logistiknya yang berjumlan lima petak, sangat minim untuk ukuran divisi suatu tentara.
Mereka mulai mendirikan pos militer di Perbatasan di Prambanan. Berjaga-jaga semisal para tentara belanda itu menyerang secara tiba-tiba.
"Uwis bar to?? Olehmu ngusungi sak iki?? (Sudah selesai to?? Kamu menggendong karung karung ini??)" Sapa Tejo, kawan marwoto.
"Wis rampung.. Mrene leren disik (sudah selesai, kemari istirahat dulu)" Sahut Marwoto memberi isyarat pada tejo.
Tejo hanya tersenyum kemudian berjingkat duduk di samping Marwoto. Tak ketinggalan rekan-rekannya mulai duduk melingkar bersama Marwoto. Mereka membuka makanan yang sudah disiapkan oleh dapur umum, menunya seperti biasa seonggok talas rebus dan sambal korek.
Mereka menyantapnya dengan lahap karena memang perut mereka sudah keroncongan belum di isi sedari tadi.
"Makan masakan kayak gini, aku jadi kelingan sama istriku dirumah kang" celetuk Pardjo, kawan Marwoto.
"Uwis tidak usah sedih kang pardjo, mbesuk kalau perang ini sudah usai, kita dapat berkumpul bersama keluarga kita lagi. Benar tidak" Hibur mas Giman, anggota paling sepuh di divisi marwoto.
"Leres mas" Sahut para serdadu dengan senyum tersimpul di wajahnya.
Sore itu mereka habiskan dengan istirahat secukupnya karena tidak ada pergerakan sama sekali dari pihak belanda.
Pikir mereka, mungkin karena pimpinan belanda dan Pemerintah republik sedang berusaha mengadakan perundingan, jadi mereka tidak melancarkan operasi penyerangan.
---------
Malam semakin larut dengan diiringi suara binatang malam, bak lagu pengantar tidur bagi mereka yang sudah keletihan.
Penjagaan oleh Divisi Brajamusti dibagi menjadi 2 bagian. Marwoto sudah berjaga malam tadi, dan kini adalah bagiannya untuk istirahat.
"Rasanya rindu sekali sama simbok dan Tinem. Semoga saja mereka bisa selamat dari serangan kemarin" Lirih Marwoto.
"Lho kang Mar, yang diserang cocor merah kemarin desanya njenengan tah??" Tejo membuyarkan lamunan Marwoto.
"iya kang jo, saya jadi khawatir sama simbok" Marwoto terlihat gelisah.
"Tidak usah khawatir mas, yakinlah beliau dalam perlindungan gusti Allah. Lagipula Divisi brajadenta kan sudah dikirim kesana" Hibur Tejo pada rekannya.
Marwoto kembali tenang usai mendapat penjelasan dari Tejo. Kini kembali gantian Tejo yang curhat tentang kekasihnya.
"Pokoknya kalau perang ini rampung, aku langsung akan menembak Lastri kang" Seru Tejo.
"Umpomo tok bedhil rasido mbok rabi lho jo (Seumpama kamu tembak nanti tidak jadi kamu nikahin lho jo)" Bandul ikutan nimbrung.
"Yo ora ngono to ndol, tembak kui maksudte arep tak lamar" Tukas Tejo.
"Oalah, ngono to"
Brumm!!!...
Sebuah kendaraan roda empat kembali datang ke arah kamp mereka, Marwoto dan rekan-rekannya segera keluar melihat apa yang sedang terjadi.
Terlihat beberapa orang prajurit tengah terluka,ada juga yang sampai harus ditandu karena saking parahnya.
Marwoto menyipitkan matanya, dan menyadari salah seorang serdadu yang tergopoh-gopoh adalah teman masa kecilnya,Saringat.
"Ngat... Apa kabar kamu" Sapa Marwoto.
Saringat tampak terdiam memandangi wajah kawannya itu. Ada rasa bahagia, haru, dan kesedihan yang menderanya.
"Ngat?? Awakmu kenongopo?? Sawanen atau gimana kok ndomblong gitu" cecar Marwoto.
"To... Mbok dinem... Mbok dinem"
"mbok?? simbok kenapa Ngat??" Marwoto tercekat.
"Mbok dinem ninggal to"
"Innalillahi simbok" Tangis Marwoto pecah seketika usai mendapat berita dari kawannya itu.
Saringat memang ditugasi memukul mundur tentara sekutu di desa lohjati tempat tinggal saringat dan Marwoto. Namun rencananya berhasil digagalkan oleh Belanda dan sekutu yang lebih superior.
Tejo terus menguatkan rekannya yang menangis tersedu-sedu. Ia paham bagaimana sakit yang dirasakan oleh Marwoto.
"Wis kang, ikhlasne... Urip pati amergo kersaning gusti... Tugas kita hanya mendoakan kang" Tejo terus-terusan mengelus punggung Marwoto.
"Oalah mbok mbok... Maafkan anak lanangmu ini yang tak bisa menyelamatkanmu mbok" Pekik Marwoto seperti orang kesetanan.
"Wis to, jangan seperti itu.. Apa kamu gak kasian pada mbok dinem... Ikhlaskan beliau, aku yakin beliau bangga mempunyai anak yang bakti marang wong tuwo dan negaranya" Hibur Saringat.
Marwoto perlahan mengusap air matanya. Ia mencoba setegar mungkin walaupun rasanya memang sakit.
Usai Marwoto sedikit lebih tenang,saringat menjelaskan tentang Belanda yang senja tadi mulai bergerak kesini. Oleh karena itu divisi brajadenta yang tersisa dikirim kemari karena belanda memang menuju kemari.
"Keparat memang londo-londo itu. Padahal pimpinannya sedang berunding dengan pemerintah republik di Yogyakarta. Mereka malah seenaknya menyerang" Rutuk Bandul.
Dorr!! Dorr!!
"Londo menyerang"
"Serangan!! Ambil posisi!!"
Rentetan suara pistol mendayu-dayu memecah keheningan malam. Para TKR membalasnya dengan beberapa tembakan dari senapan sitaan tersebut.
Marwoto meringkuk di belakang sak berisi pasir tersebut, diikuti oleh Tejo, Saringat dan bandul.
Duarr!! Bumm!!
Ledakan besar menggelegar di sisi belakang pertahanan. Korban semakin berjatuhan akibat serangan tersebut.
"Sisi kiri terekspos... Sangat berbahaya jika mereka sampai bisa memanfaatkan celah itu" Pekik Marwoto.
Bumm!!
Artileri berat belanda terus menghujani garis pertahanan tanpa ampun. Korban semakin meningkat tajam, menyisakan mereka yang hanya terluka ringan.
"Duarr"
"Akhh"
Kali ini mas Giman yang menjadi korban, sebuah peluru bersarang tepat di jantungnya. Ia rebah di tanah dan menghembuskan nafas terakhirnya usai berucap syahadat.
"Sialann... Keparat" Marwoto yang kesetanan mulai memberondong sekutu dengan membabi buta, namun karena tindakan tersebut posisi mereka menjadi terekspos oleh balon udara mata-mata sekutu.
Bumm!! Duar!!
Sekali lagi proyektil dijatuhkan tepat di samping Marwoto, dekat sekali dengan posisi Saringat dan tejo.
Asap menggantung di langit gelap tersebut. Sensasi terbakar menggerayangi tubuh Marwoto yang sedang tiarap.
"Untung jarakku jauh dari ledakan... Akhh" Marwoto mengambil senapannya kembali.
Di sisi kanannya tepat di posisi tejo,puluhan orang terkapar dengan berbagai luka. Dari yang parah hingga sangat parah dan tak mungkin untuk melanjutkan serangan.
Sekutu semakin merangsek maju, sementara Marwoto terus termangu memandangi keadaan sekitarnya. Nampak sebuah badan tergeletak dengan bersimbah darah, sementara di sampingnya sudah tak berbentuk.
"ka.. Kalian?? Tejo?? Sarengat??"
Marwoto menggertakan giginya, amarahnya benar benar memuncak. Ia semakin nekat menggencarkan serangannya pada serdadu sekutu. Hingga sebuah granat tangan terlempar di depan mukanya.
Duarr!!
Seseorang mendorongnya hingga terjerembab ke samping. Beruntungnya ia berhasil selamat dari ledakan, namun orang yang menyelamatkannya tidak.
Samar-samar dibalik kepulan asap terlihat wajah dari orang yang menyelamatkannya, tentu saja dalam kondisi rusak.
"Ban... Bandul?? Bandulll!!"
Tangis Marwoto kembali pecah melihat satu persatu kawannya harus gugur di medan laga. Hanya ia sendiri yang tersisa dalam kondisi prima, sementara yang lain sudah terluka parah akibat artileri belanda.
"Sadumuk bathuk sanyari bumi tak tohi nganti tumekaning pati!!"
"Rawe Rawe Rantas Malang Malang Putung!!"
Marwoto keluar dari tembok sak persembunyian dan menerjang kearah serdadu belanda yang merangsek maju menuju gedung radio.
Ia dengan bayonet miliknya menghujam siapapun yang ada di hadapannya. Walaupun puluhan peluru bersarang di badannya, namun seakan malah menjadi pemicu semangat baginya.
Duarr!!
Peluru terakhir miliknya ia tembakan tepat pada seorang perwira tinggi AFNEI. ia rebah ke tanah, bersamaan dengan Marwoto yang memang sudah kehabisan tenaga.
Dengan nafas tersengal-sengal ia mengingat kembali kepingan memori kehidupannya yang sekilas nampak di pelupuk matanya.
Marwoto menghembuskan nafas terakhirnya dengan aksi heroik. Membantai ratusan tentara Sekutu yang superior sendirian bermodalkan dendam dan amarah.
"Tunggu aku mbok,kita pulang bersama sama"