Langit sore berwarna jingga keemasan ketika William berdiri di tepi pantai, angin lembut mengacak rambutnya. Di hadapannya, ombak laut datang silih berganti, menghapus jejak kaki yang baru saja ia tinggalkan. Di tempat ini, di tepi pantai yang selalu menjadi saksi kisah mereka, William menunggu sosok yang tak akan pernah kembali.
Setiap napas terasa semakin berat, seolah-olah dunia di sekelilingnya perlahan kehilangan warna. Satu per satu memori tentang Avery, perempuan yang selama ini mengisi hidupnya, berkelebat di benaknya. Avery, dengan senyuman yang mampu menghangatkan hari-hari dinginnya, kini hanya menjadi bayangan samar. Dan yang tersisa hanyalah kekosongan.
“Aku tidak pernah tahu akan terasa sepi seperti ini,” bisik William kepada angin, berharap sepotong ingatan tentang Avery akan dibawa kembali kepadanya.
Mereka pernah berjanji, akan selalu bersama, tak peduli apa pun yang terjadi. Namun kehidupan tidak selalu berjalan sesuai rencana. Avery, dengan lembutnya, melepaskan tangan William di hari terakhir mereka bertemu. Ada sesuatu yang tidak dapat dilawan—waktu, takdir, penyakit—yang akhirnya memisahkan mereka.
“Tidak ada lagi udara yang bisa kurasakan tanpa hadirmu,” William bergumam lirih, memejamkan mata. Perasaannya terhadap Avery begitu dalam, lebih dari yang bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setiap hela napas yang ia ambil tanpa Avery terasa seperti beban, bukan pengingat akan kehidupan, melainkan kekosongan yang semakin menggerogoti hatinya.
“Seberapa dalam aku telah mencintaimu, aku pun tak tahu lagi. Yang kutahu, hidup tanpa dirimu bukanlah hidup. Setiap langkahku kehilangan arah, setiap napasku tanpa arti.”
William menarik napas panjang, tapi kali ini terasa hampa. Hanya Avery yang bisa membuatnya merasakan kebebasan, membuatnya merasa hidup. Tanpanya, semua terasa datar, hambar. Setiap detik tanpa kehadirannya adalah pengingat betapa berartinya Avery dalam hidupnya.
Di ujung senja itu, William berdiri di sana, mengenang sosok yang selalu ada dalam hatinya. Dan meskipun Avery tak lagi di sisinya, cinta yang mereka bagi akan selalu abadi dalam kenangan, terpatri di setiap detak jantungnya. William tahu, cinta itu adalah satu-satunya alasan ia masih berdiri di tepi pantai itu, menatap lautan yang tak berujung.
Tanpa Avery, setiap napas adalah perjuangan. Tapi untuk cinta yang pernah mereka miliki, William akan terus melangkah, bahkan jika itu berarti ia harus bernapas dalam kepedihan.