Bagian 1: Pertemuan yang Tak Terelakkan
Kiro melangkah perlahan melewati reruntuhan kota yang dulu menjadi pusat peradaban. Angin dingin berhembus, membawa serpihan debu dan kenangan masa lalu. Matanya yang tajam menelusuri setiap sudut, mencari tanda-tanda keberadaan seseorang yang sudah lama menjadi musuhnya—Zura.
Suara langkah kaki terdengar di kejauhan. Kiro menghentikan langkahnya, merasakan kehadiran yang familiar. Di balik reruntuhan, sosok berbalut jubah hitam muncul, bayangan dari masa lalu yang kembali menghantuinya.
“Kiro...” suara itu berbisik, namun terdengar jelas di tengah keheningan.
Kiro tidak bergerak. Ia tahu siapa yang datang. Setelah bertahun-tahun, setelah pertempuran dan pengkhianatan, akhirnya saat ini tiba.
“Zura,” Kiro berbalik dan menatap sosok itu. “Sudah berapa lama, ya?”
Zura tersenyum sinis. “Terlalu lama, jika kau bertanya padaku. Tapi ini takdir kita. Kau tahu ini belum berakhir.”
Kiro menghela napas panjang. “Aku sudah lelah dengan semua ini. Namun, kau benar. Kita tak bisa menghindari ini selamanya.”
Mereka saling berhadapan, dua musuh bebuyutan yang telah saling mengejar dan berusaha saling menghancurkan selama puluhan tahun. Ini bukan pertemuan pertama mereka, dan Kiro tahu ini bukan yang terakhir. Ada sesuatu di antara mereka yang membuat segalanya mustahil untuk diakhiri dengan mudah.
Bagian 2: Awal Dendam
Dahulu, Kiro dan Zura adalah sahabat karib, hampir seperti saudara. Mereka tumbuh bersama di sebuah desa kecil di lembah yang damai. Kiro dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana, sementara Zura adalah prajurit yang tangguh dan ambisius. Kehidupan mereka berubah ketika sebuah perang besar pecah, memaksa mereka untuk berpisah dan memilih jalan masing-masing.
Saat itulah segalanya mulai runtuh. Zura, yang selalu menginginkan kekuatan lebih, memilih bergabung dengan pasukan kekaisaran yang terkenal kejam. Di sana, ia menemukan kekuatan gelap yang mengubahnya menjadi seseorang yang tak lagi dikenali oleh Kiro. Kekuasaan dan ambisi membutakan Zura, membuatnya mengkhianati segalanya—termasuk Kiro.
Pengkhianatan itu terjadi dalam sebuah pertempuran besar di mana Kiro memimpin pasukan pemberontak melawan kekaisaran. Zura, yang seharusnya membantu Kiro, malah berbalik dan menusuknya dari belakang, mengorbankan desa mereka demi kekuasaan. Sejak saat itu, Kiro bersumpah untuk menghentikan Zura, meski harus membayar dengan nyawanya sendiri.
Bagian 3: Pertarungan di Masa Kini
Kini, di reruntuhan kota yang telah lama ditinggalkan, mereka kembali bertemu. Tidak ada lagi rasa persahabatan atau kasih sayang di antara mereka, hanya kebencian dan dendam yang tersisa.
Zura menyerang lebih dulu. Dengan cepat, dia melepaskan energi kegelapan yang membungkus tubuhnya, mengirimkan gelombang serangan yang mematikan. Kiro mengangkat pedangnya, menangkis serangan itu dengan sekuat tenaga. Percikan cahaya dan kegelapan memenuhi udara, membuat langit di atas mereka semakin suram.
“Aku tidak akan membiarkanmu menang kali ini!” teriak Zura, matanya menyala penuh amarah.
Kiro tetap tenang. Dia tahu Zura semakin kuat, tapi dia juga tahu bahwa kekuatan yang didapat dari kegelapan memiliki batas. “Zura, kekuatanmu hanya akan menghancurkan dirimu sendiri. Aku tak ingin melihatmu jatuh lebih dalam lagi.”
“Cukup dengan omong kosong itu!” Zura melompat, pedang hitamnya menebas udara, mengarah langsung ke Kiro.
Pertarungan mereka berlangsung dengan cepat dan mematikan. Setiap serangan Zura dibalas dengan tangkisan sempurna dari Kiro. Keduanya bergerak seperti bayangan, melompat dari satu reruntuhan ke reruntuhan lain, membuat tanah di bawah mereka bergetar.
Namun, sekeras apa pun Kiro mencoba bertahan, dia tahu Zura tidak akan mundur. Kebencian Zura sudah terlalu dalam, dan tidak ada kata-kata yang bisa mengubahnya.
Bagian 4: Kegelapan yang Tak Terkendali
Pertempuran itu semakin intens. Zura mulai menggunakan kekuatan gelapnya dengan cara yang lebih agresif. Bayang-bayang dari reruntuhan kota bergerak atas perintahnya, membentuk tombak-tombak tajam yang menyerang Kiro dari segala arah.
Kiro terus bertahan, namun dia mulai kelelahan. Dia tahu bahwa jika pertempuran ini berlangsung terlalu lama, Zura akan mendapatkan keunggulan.
“Zura, berhentilah!” Kiro berteriak, mencoba menjangkau sisi manusiawi Zura yang pernah dia kenal. “Ini bukan dirimu. Kekuasaan ini tidak akan membawamu kemana-mana.”
Namun, Zura tertawa keras. “Ini diriku yang sebenarnya, Kiro! Kau tak mengerti, kekuatan ini adalah segalanya. Aku tidak akan berhenti sampai dunia tunduk di bawah kakiku!”
Kegelapan di sekitar Zura semakin pekat, hampir seperti kabut hitam yang menelan seluruh reruntuhan. Kiro tahu, ini adalah saatnya mengambil keputusan terakhir. Dia tidak bisa lagi menahan diri.
Bagian 5: Pengorbanan
Dengan segenap kekuatannya yang tersisa, Kiro mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, memusatkan seluruh energinya ke dalam bilah yang bersinar terang. Pedang itu bukan sekadar senjata; itu adalah warisan dari para leluhurnya, yang hanya bisa digunakan sekali dalam hidup seseorang untuk mengakhiri segala kekuatan gelap.
“Kau memaksaku, Zura,” kata Kiro, suaranya penuh kesedihan. “Aku tidak ingin ini berakhir seperti ini.”
Zura tidak mendengarkan. Dengan seluruh kekuatannya, dia melompat ke arah Kiro, siap untuk memberikan serangan terakhir.
Tepat sebelum pedang Zura menghantam, Kiro melepaskan energi cahaya yang luar biasa. Cahaya itu menembus kegelapan, memecah bayang-bayang dan menghancurkan segala sesuatu di jalurnya. Zura terlempar ke udara, tubuhnya diliputi cahaya yang membakar setiap inci kegelapan di dalam dirinya.
Suara jeritan Zura menggema di udara. Kegelapan yang selama ini menjadi kekuatannya kini membalutnya seperti api yang tak bisa dipadamkan. Kiro hanya bisa menatap, air mata menetes di wajahnya. Ini bukan kemenangan yang dia inginkan, tapi ini adalah satu-satunya cara.
Tubuh Zura perlahan hancur, menghilang dalam cahaya yang terus menyala. Saat kegelapan lenyap, Zura pun hilang bersamanya.
Bagian 6: Akhir yang Pahit
Kiro berdiri di tengah reruntuhan yang sunyi. Tidak ada lagi Zura, tidak ada lagi bayangan. Hanya ada keheningan yang mendalam, diiringi rasa kehilangan yang tak terelakkan.
Dia menunduk, menatap tempat di mana Zura terakhir kali berdiri. Dalam hati, dia berharap ada jalan lain. Namun, dia tahu, kadang takdir tidak memberi pilihan yang mudah.
Musuh abadi itu mungkin telah tiada, tapi luka yang mereka tinggalkan akan selalu ada. Kiro memandang ke arah matahari yang perlahan terbit di kejauhan. Hari baru telah tiba, namun bayang-bayang masa lalu tidak akan mudah dilupakan.
Kiro melangkah pergi, meninggalkan reruntuhan dan kenangan di belakangnya. Perjalanannya masih panjang, tapi untuk saat ini, dia akan berjalan sendirian, membawa beban pertempuran yang tak akan pernah benar-benar berakhir.