Aku masih ingat dengan jelas hari ketika semuanya dimulai.
Hari itu adalah awal tahun ajaran baru, dan seperti biasanya, aku melangkah ke sekolah dengan perasaan campur aduk.
Bukan karena aku takut, melainkan karena aku tahu apa yang akan kuhadapi.
Rutinitas yang sama, orang-orang yang sama, bahkan kelas yang sama.
Sekolah, bagiku, hanyalah tempat di mana waktu berjalan dengan lambat, dan aku hanya berusaha melewatinya tanpa banyak berpikir.
Hingga saat itu, hingga aku bertemu Hana.
Pagi itu, aku tiba sedikit lebih awal dari biasanya.
Entah kenapa, mungkin karena tidak ada hal lain yang bisa dilakukan di rumah.
Aku berjalan menyusuri lorong sekolah yang masih sepi, dengan suara langkah kakiku yang bergema pelan di lantai keramik.
Tiba-tiba, dari kejauhan, aku melihat seseorang berdiri di depan papan pengumuman kelas.
Hana.
Aku pernah melihatnya beberapa kali di sekolah, tapi saat itu aku tak tahu namanya.
Aku hanya mengingat sosoknya—gadis dengan rambut hitam panjang yang selalu diikat rapi, wajahnya teduh, dan dia selalu terlihat serius, seperti ada sesuatu yang berat sedang dia pikirkan.
Saat itu, dia sedang meneliti daftar nama yang tertempel di papan, tampak mencari sesuatu.
Aku tak bermaksud untuk menghampirinya, tapi entah bagaimana, langkahku terasa otomatis.
Tanpa berpikir panjang, aku berdiri di sampingnya, ikut berpura-pura melihat daftar nama itu.
Padahal, aku sudah tahu di mana kelasku.
Tapi saat itu, aku hanya ingin berada di dekatnya, walaupun tak tahu harus berkata apa.
"Kamu kelas berapa?" tanyaku akhirnya, berusaha memulai percakapan.
Suaraku terdengar lebih canggung dari yang aku harapkan.
Dia menoleh perlahan, tampak sedikit terkejut mendengar suaraku.
Matanya yang besar menatapku sejenak, lalu dia tersenyum kecil.
"Kelas XI IPA 3," jawabnya singkat, sebelum kembali menatap daftar nama di depannya.
Aku mengangguk, meski sebenarnya tak ada yang perlu diangguk.
"Aku juga IPA 3," kataku, meski aku sudah tahu itu sejak awal.
"Ya?" Dia menatapku sekali lagi, kali ini dengan sedikit rasa penasaran. "Kayaknya aku belum pernah lihat kamu."
Aku tertawa kecil, berusaha menutupi rasa gugup yang tiba-tiba muncul.
"Aku emang sering di belakang kelas." ucapku. "Mungkin kamu lebih fokus ke papan tulis."
Dia tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. Senyumnya sederhana, tapi ada sesuatu di dalamnya yang membuatku merasa nyaman.
"Mungkin," jawabnya.
Percakapan itu tak berlangsung lama, tapi cukup untuk meninggalkan kesan mendalam di benakku.
Aku tak tahu kenapa, tapi sejak saat itu, ada sesuatu tentang Hana yang membuatku ingin lebih mengenalnya.
Mungkin karena dia berbeda.
Dia tidak seperti gadis-gadis lain di sekolah yang sering membicarakan hal-hal remeh, atau berusaha mencari perhatian.
Hana... dia tenang, cerdas, dan ada kedalaman dalam tatapannya yang membuatku penasaran.
Beberapa minggu berlalu, dan aku semakin sering melihat Hana di kelas.
Kami memang satu kelas, tapi dia duduk di barisan depan, sementara aku lebih sering memilih tempat di belakang.
Mungkin karena aku tak terlalu peduli dengan pelajaran, atau mungkin karena aku tak suka diperhatikan.
Tapi aku sering memperhatikannya, bagaimana dia begitu fokus ketika guru menjelaskan sesuatu, bagaimana dia mengerutkan kening saat mencoba memahami soal Matematika yang rumit, atau bagaimana dia sesekali tersenyum ketika menemukan jawaban yang benar.
Aku tak pernah berani mengajaknya bicara lebih dari sekadar sapaan singkat.
Aku takut mengganggunya, atau mungkin, aku takut dia tak tertarik untuk berbicara denganku.
Hingga suatu hari, kesempatan itu datang dengan sendirinya.
Hari itu, sekolah mengadakan ulangan Matematika dadakan.
Semua orang panik, termasuk aku.
Bukan karena aku tidak bisa mengerjakan, tapi karena aku tahu nilai Matematika-ku selalu buruk.
Setelah bel tanda istirahat berbunyi, aku mendengar beberapa teman sekelasku membicarakan betapa sulitnya soal-soal tadi.
Saat itulah aku melihat Hana duduk sendirian di bangkunya, dengan buku catatan terbuka di depannya.
Aku tahu dia pasti bisa mengerjakan semua soal tadi dengan mudah.
Tanpa berpikir panjang, aku menghampirinya. "Hana, kamu ngerti soal tadi nggak?"
Dia mengangkat wajahnya dari buku catatan dan menatapku sejenak sebelum tersenyum kecil.
"Lumayan." balasnya, suaranya lembut. "Kamu gimana?"
Aku hanya bisa mengangkat bahu. "Aku nggak yakin." jawabku. "Tapi kayaknya jawabanku salah semua."
Dia tertawa pelan, suara tawanya ringan dan menyenangkan. "Mau kujelasin?"
Dan begitulah, di sinilah kami sekarang.
Duduk bersebelahan di bangku kosong di depan kelas, dengan dia yang sabar menjelaskan rumus-rumus Matematika yang sebenarnya tak pernah benar-benar aku pahami.
Tapi aku tak peduli.
Yang aku pedulikan hanyalah bisa berada di dekatnya, mendengarkan suaranya yang tenang, melihat bagaimana dia menekuni setiap soal dengan begitu serius.
Seiring berjalannya waktu, percakapan kami mulai berkembang.
Dari soal Matematika, menjadi percakapan tentang hobi, film, dan bahkan mimpi-mimpi kami.
Hana adalah tipe orang yang selalu punya pandangan tentang segala hal.
Dia tidak banyak bicara, tapi ketika dia melakukannya, kata-katanya selalu punya makna.
Aku menyukainya...
Sangat menyukainya...
Tapi seiring kedekatan kami, ada perasaan lain yang muncul.
Sebuah perasaan yang awalnya aku abaikan, namun semakin hari semakin jelas.
Aku menyukainya.
Bukan hanya sebagai teman, tapi lebih dari itu.
Setiap kali aku melihatnya, ada sesuatu di dalam diriku yang bergetar.
Aku ingin selalu berada di dekatnya, mendengarnya tertawa, melihat senyumnya. Dan aku takut.
Takut perasaan ini akan mengubah segalanya.
Hari-hari kami terus berlanjut seperti biasa, hingga suatu hari aku mendengar kabar yang membuat dadaku sesak.
Hana, gadis yang selama ini selalu ada di pikiranku, ternyata sedang dekat dengan seseorang.
Bima, kapten tim basket, cowok yang selalu menjadi pusat perhatian.
Semua orang tahu tentang Bima.
Dia pintar, populer, dan semua orang menyukainya.
Dan kini, dia dekat dengan Hana.
Aku tidak tahu apa yang harus aku rasakan.
Aku tidak punya hak untuk merasa cemburu, karena aku tak pernah benar-benar mengungkapkan perasaanku.
Tapi tetap saja, melihat mereka bersama, mendengar nama Bima disebut di antara percakapan kami, membuatku merasa seperti pecundang.
Aku hanya bisa melihat dari kejauhan, tak berani mengganggu kebahagiaan yang mungkin sudah dia temukan.
Tapi perasaan itu semakin tak tertahankan.
Hingga suatu sore, ketika kami berdua terjebak di kantin karena hujan deras, aku memutuskan untuk mengatakannya.
Aku tidak bisa lagi menyimpan perasaan ini sendirian. Aku harus tahu, meskipun jawabannya akan menyakitkan.
"Hana," kataku pelan, mencoba mencari keberanian dalam suaraku.
Dia menoleh, menatapku dengan tatapan yang penuh tanda tanya.
"Aku... aku suka kamu," ucapku akhirnya.
Kata-kata itu keluar lebih cepat dari yang aku bayangkan, dan sekarang, tidak ada jalan untuk menariknya kembali.
Dia terdiam.
Wajahnya tampak terkejut, tapi ada juga kesedihan yang samar di matanya.
Dia menatapku lama, seakan mencoba menemukan kata-kata yang tepat.
Dan ketika dia akhirnya berbicara, kata-katanya terasa seperti pisau yang menghujam jantungku.
"Aku... maaf," katanya pelan. "Aku nggak tahu harus bilang apa. Tapi... aku nggak bisa. Aku udah deket sama Bima."
Jantungku seakan berhenti berdetak saat mendengarnya.
Aku tahu ini mungkin akan terjadi, tapi mendengarnya langsung dari bibirnya membuat segalanya terasa lebih nyata.
Terasa... Lebih menyakitkan.
Setelah itu, segalanya berubah.
Kami masih berbicara, tapi tak lagi seperti dulu.
Ada jarak di antara kami, dan meskipun aku berusaha untuk tidak memperlihatkan perasaanku, aku tahu semuanya tak akan pernah sama lagi.
Aku mulai menjauh, perlahan-lahan, mencoba melindungi diriku sendiri dari rasa sakit yang semakin dalam.
Hana dan Bima akhirnya resmi berpacaran. Mereka tampak bahagia, dan aku hanya bisa melihat dari jauh.
Aku tak bisa marah, karena dia tidak pernah salah.
Semua ini adalah salahku.
Aku yang terlambat menyadari perasaanku sendiri, dan kini aku harus menerima kenyataan bahwa dia bukan untukku.
Waktu terus berjalan, dan akhirnya kami semua lulus.
Hana tetap menjadi bagian dari hidupku, meski hanya sebagai kenangan.
Aku masih sering memikirkannya, terutama saat hujan turun, mengingatkan pada sore itu di kantin, ketika aku mengungkapkan perasaan yang tak pernah berbalas.
Mungkin, cinta memang tak selalu berakhir bahagia.
Dan mungkin, beberapa cinta hanya ditakdirkan untuk menjadi kenangan yang kita simpan di dalam hati
Meskipun itu... Terasa menyakitkan.