Rehan, dengan rambut gondrongnya yang berantakan dan senyum jahil yang selalu menghiasi wajahnya, baru saja menginjakkan kakinya di kota Jakarta. Pindahan dari Bandung, ia harus beradaptasi dengan lingkungan barunya, termasuk di SMA Sindo, tempat ia memulai lembaran baru. Tatapannya yang tajam dan penuh semangat tertuju pada kelas X-1, kelas tempat ia akan menimba ilmu. Di antara kerumunan wajah-wajah baru, ada satu yang menarik perhatiannya: Arumi.
Gadis itu duduk di pojok kelas, menekuni buku tebal dengan tatapan serius. Rambut panjangnya yang hitam legam terurai bebas, menyembunyikan sebagian wajahnya. Arumi tampak pendiam dan pemalu, jarang sekali ia berinteraksi dengan teman-temannya. Namun, diam-diam Rehan merasa tertarik padanya. Arumi bagaikan teka-teki yang ingin ia pecahkan.
Di luar kelas, Angga, sahabat Arumi, dengan gelisah memperhatikan tingkah laku Rehan. Ia sering melihat Rehan berboncengan dengan dua gadis berbeda, Mia dan Rosi, saat pulang sekolah. Kedekatan mereka yang tampak mesra menimbulkan kecurigaan di hati Angga.
"Rum, kamu yakin sama si Rehan? Dia kayaknya suka gonta-ganti cewek," ujar Angga suatu sore, saat mereka berdua berjalan pulang bersama.
Arumi mengerutkan kening, "Kok kamu ngomong gitu, Ga? Kenapa sih?"
"Aku sering liat dia boncengan sama cewek lain. Terus, aku juga liat mereka bermesraan," jawab Angga, suaranya terdengar cemas.
"Ah, masa sih? Mungkin dia cuma temenan biasa," bantah Arumi, wajahnya menunjukkan keraguan.
"Rum, aku ngomong gini bukan buat ngejelek-jelekin dia. Aku cuma nggak mau kamu terluka. Kamu tahu sendiri, Rehan itu tipe cowok yang suka main-main," Angga mencoba meyakinkan Arumi.
"Tapi aku..." Arumi terdiam, tak sanggup untuk melanjutkan kalimatnya.
Angga pun menghela napas, "Rum, kamu harus hati-hati. Jangan sampai kamu terjebak dalam permainan orang yang salah."
Arumi tetap terdiam, pikirannya melayang ke Rehan. Ia masih belum percaya dengan apa yang dikatakan Angga. Namun, sebuah rasa tidak nyaman mulai tumbuh di hatinya.
*******
Arumi terjebak dalam pusaran cinta yang terlarang. Perasaan terhadap Rehan yang semakin dalam membuat dirinya sulit untuk menolak ajakan Rehan untuk bertemu di rumah. Saat orang tua Rehan sedang tugas luar kota, Rehan mengajak Arumi untuk menghabiskan waktu bersama. Dia berjanji akan menjaga Arumi dan tidak akan menyakiti hatinya. Namun, janji manis Rehan ternyata hanya kedok untuk menutupi niat buruknya.
Di rumah yang sepi, Rehan mencoba merayu Arumi dengan kata-kata manis. Dia memegang tangan Arumi, menatap matanya dengan penuh gairah, dan membisikkan kata-kata rayuan. Arumi yang masih terlena cinta, terbuai oleh rayuan Rehan dan akhirnya menyerah.
"Aku sayang banget sama kamu, Rum. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu," bisik Rehan, tangannya meraba pipi Arumi dengan lembut.
"Rehan..." Arumi menunduk malu, wajahnya memerah.
Rehan mencium kening Arumi, "Aku janji akan selalu menjagamu."
"Tapi..." Arumi ragu-ragu, masih terbayang peringatan Angga tentang sifat Rehan.
"Jangan takut, Rum. Aku serius sama kamu," kata Rehan, matanya berkilauan penuh tekad.
Kesepakatan terjalin, dan Rehan akhirnya berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan. Setiap hari, Rehan mengantar jemput Arumi dan mengajaknya ke rumahnya. Arumi yang terlena oleh rayuan Rehan, tak menyadari bahaya yang mengintai di balik hubungan mereka.
Satu bulan berlalu, orang tua Rehan kembali ke Jakarta. Arumi, dengan jantung berdebar kencang, mengabarkan sebuah kenyataan yang membuat dirinya semakin terpuruk: ia hamil.
"Rehan, aku hamil," ucap Arumi, suaranya bergetar.
Rehan terdiam sesaat, kemudian tertawa sinis, "Hamil? Ngawur kamu, Rum. Masa iya aku yang ngehamilin kamu? Aku kan nggak pernah ngapa-ngapain kamu."
"Rehan, kamu bohong! Kita kan udah..." Arumi terisak, air mata mengalir di pipinya.
"Itu kan kamu yang mau! Sekarang, kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu sendiri!" Rehan berteriak, "Gugurin aja! Nggak usah ribet!"
Arumi terdiam, hati teriris mendengar ucapan Rehan yang kejam. Rehan, pria yang ia cintai dengan segala hati, menolak bertanggung jawab atas buah cinta mereka. Seolah-olah Arumi adalah sebuah kesalahan yang harus dihilangkan.
"Rehan, aku mohon...jangan lakuin ini," lirih Arumi.
"Udahlah, Rum. Nggak ada gunanya menangis. Gugurin aja anak itu!" Rehan berlalu, meninggalkan Arumi yang terduduk lesu, air mata terus mengalir membasahi wajahnya. Arumi terjebak dalam lingkaran keputusasaan, hanya diri sendiri yang menemani perjuangan berat ini.
******
Rehan, dengan wajah dinginnya, menarik tangan Arumi menuju sebuah klinik sederhana di pinggiran kota. Arumi, terhuyung dalam keputusasaan, pasrah mengikuti langkah Rehan. Di dalam klinik yang remang-remang itu, suasana mencekam. Bau obat-obatan menyengat hidung, dan suara desahan pasien yang sedang menjalani prosedur medis menyeramkan.
Rehan dengan tenang menyerahkan Arumi ke tangan dokter yang berwajah keras. Arumi merasa terjebak, tak berdaya menghadapi takdir yang mengerikan ini. Tanpa ada rasa kasihan, dokter itu langsung melakukan prosedur aborsi. Arumi merasa sakit, tubuhnya bergetar ketakutan, namun Rehan hanya menatap dingin tanpa menunjukkan rasa simpati sedikit pun.
Usai prosedur aborsi, Rehan membawa Arumi pulang. Sepanjang jalan, Arumi terdiam, merasa hampa dan bersalah. Ia menyesali keputusannya, menyesali kepercayaan yang ia berikan pada Rehan. Sesampainya di rumah, Arumi langsung menarik selimut dan berbaring di kasur.
Mata Arumi terpejam, namun tidur tak kunjung datang. Pikirannya dipenuhi bayangan masa lalu, ketika ia masih hamil. Kejadian di klinik itu berputar-putar di kepala, membuat hati Arumi sakit dan penuh penyesalan. Tiba-tiba, suara anak kecil menyeruak di telinganya.
"Mama...Mama..." suara itu lembut namun menyeramkan, berbisik dekat di telinganya.
Arumi terkejut, matanya terbelalak ketakutan. Ia duduk tegak, menatap sekitar ruangan dengan waspada. "Siapa itu?" bisiknya, suaranya gemetar. Tak ada jawaban. Hanya hening yang menyeramkan.
Arumi kembali berbaring, mencoba menenangkan diri. Namun, suara itu kembali menyeruak di telinganya, lebih jelas dan menyeramkan.
"Mama...Mama..."
Kali ini, Arumi mendengar suara itu bersama dengan tangisan anak yang menyayat hati. Arumi berteriak ketakutan, menarik selimut sekuat tenaga, membenamkan wajahnya di bantal. Ia berusaha menepis rasa takut itu, berusaha menyakinkan diri bahwa itu hanya mimpi buruk.
Namun, rasa takut itu terus mengusik jiwanya, membuatnya tak berani untuk menutup mata. Arumi menatap sekitar ruangan dengan waspada, mencoba mencari asal suara itu. Seolah-olah ada sesuatu yang mengintai di gelapnya malam, menunggu kesempatan untuk menyerangnya.
Arumi berdiri dari kasur, merinding ketakutan. Ia berjalan ke pintu dan menguncinya sekuat tenaga. Namun, suara anak kecil itu terus menyeruak di telinganya, makin jelas dan menakutkan. "Mama...Mama..."
Arumi terduduk lesu di lantai, air mata mengalir membasahi wajahnya. Ia merasa terjebak.
******
Rehan terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Mimpi buruk itu kembali menghantuinya. Bayangan Arumi dengan wajah pucat dan mata penuh kesedihan terukir jelas dalam ingatannya. Mimpi itu terasa begitu nyata, menyeramkan. Seolah-olah, Arumi menyalahkan Rehan atas perbuatan kejam yang telah dilakukan.
Saat Rehan mencoba menepis bayangan itu, suara anak kecil menyeruak di telinganya. "Papa...Papa..." suara itu lembut namun menyeramkan, berbisik dekat di telinganya.
Rehan terkejut bangun, menatap sekitar ruangan dengan waspada. Hening. Hanya detak jantungnya yang berdebar kencang menyertai keheningan malam. Rehan mencoba menenangkan diri, meyakinkan bahwa itu hanya mimpi buruk. Namun, suara itu kembali menyeruak, kali ini lebih jelas dan menakutkan.
"Papa...Papa..."
Rehan berdiri dari kasurnya, mencoba mencari asal suara. Matanya melayang ke setiap sudut kamar, mencari sesuatu yang menyebabkan suara itu. Namun, hanya kegelapan yang menjawabnya. Seolah-olah, suara itu berasal dari dalam jiwanya, mengusik kesadaran dan membuat Rehan merasa ketakutan.
Rehan menutup telinganya dengan tangan, berusaha menghilangkan suara itu. Namun, suara itu semakin keras, semakin jelas. "Pergi...Pergi..." bisik Rehan, suaranya gemetar ketakutan.
Rehan merasa sesak napas, badannya bergetar ketakutan. Ia berlari ke pintu dan menguncinya sekuat tenaga. Namun, suara itu terus menyeruak di telinganya, semakin dekat dan menyeramkan. "Papa...Papa..."
Rehan terjatuh lesu di lantai, menutup wajahnya dengan tangan. Ia merasa terjebak dalam lingkaran ketakutan yang tak berujung. Hantu anak kecil itu menyeramkannya, menghantuinya, mengingatkan kejahatan yang telah dilakukannya.
Rehan merasa sesak napas, badannya bergetar ketakutan. Ia berlari ke pintu dan menguncinya sekuat tenaga. Namun, suara itu terus menyeruak di telinganya, semakin dekat dan menyeramkan. "Papa...Papa..."
Rehan terjatuh lesu di lantai, menutup wajahnya dengan tangan. Ia merasa terjebak dalam lingkaran ketakutan yang tak berujung. Hantu anak kecil itu menyeramkannya, menghantuinya, mengingatkan kejahatan yang telah dilakukannya.
Rehan berusaha menyingkirkan suara itu, mencoba menepis rasa takut yang menyerang jiwanya. Namun, suara itu terus menyeruak, semakin keras, semakin menakutkan. "Papa...Papa..."
Rehan merasa jiwanya hancur, tubuhnya lemas tak berdaya. Ia terjebak dalam perangkap kesalahan yang telah dilakukannya. Hantu anak kecil itu akan terus menghantuinya, mengingatkannya.
******
Di kelas, Arumi bercerita tentang mimpi buruknya semalam. Wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca, suaranya gemetar saat menceritakan suara anak kecil yang memanggil "Mama...Mama...". Suasana kelas seolah terdiam, menyeramkan. Teman-teman Arumi menatapnya dengan rasa kasihan dan takut.
Rehan, yang duduk di bangku belakang, mendengar cerita Arumi dengan telinga memerah. Ia merasakan sesuatu yang aneh menyeruak di dalam hatinya. Seolah-olah, ada sesuatu yang menghubungkannya dengan cerita Arumi.
"Rehan, kamu kenapa?" tanya Arumi, menatap wajah Rehan yang tampak terkejut.
Rehan menelan ludah, mencoba menenangkan diri. "Enggak apa-apa," jawabnya dengan suara gemetar.
"Kamu juga ngalamin mimpi buruk semalem?" tanya Arumi, matanya berbinar penuh ketakutan.
Rehan menunduk, tak berani menatap mata Arumi. "Iya," jawabnya sambil menarik napas dalam-dalam. "Aku juga denger suara anak kecil yang manggil 'Papa...Papa...' semalem."
Arumi terkejut, matanya membelalak ketakutan. Ia menatap Rehan dengan tatapan yang penuh ketakutan dan kebingungan. "Mungkin... mungkin itu anak kita," bisik Arumi, air mata mengalir di pipinya.
"Jangan ngomong gitu, Rum," kata Rehan, suaranya gemetar. "Itu cuma mimpi buruk. Jangan dipercaya."
"Tapi kenapa suara itu sama dengan mimpi aku? Kenapa kita keduanya ngalamin hal yang sama?" tanya Arumi, suaranya bergetar tak menentu.
Rehan terdiam, tak bisa menjawab pertanyaan Arumi. Ia merasa terjebak dalam lingkaran ketakutan yang semakin menyempit. Ia takut akan konsekuensi perbuatannya, takut akan hantu anak kecil yang menghantuinya.
"Mungkin ini balasan buat kita," bisik Arumi, matanya menatap kosong ke depan. "Kita udah menggu anak kita. Sekarang dia dateng mencari kita."
"Jangan ngomong gitu!" bentak Rehan, suaranya terdengar ketus. Ia merasa terganggu dengan kata-kata Arumi, takut akan perkataan itu menjadi kenyataan.
"Rehan..." Arumi berusaha mengajak Rehan berbicara, namun Rehan langsung berdiri dan meninggalkan Arumi tanpa menjawab. Ia berlari keluar kelas, mencoba menghilangkan rasa takut yang menyerang jiwanya.
Arumi terduduk lesu di kursi, air mata mengalir membasahi wajahnya. Ia merasa takut, takut akan hantu anak kecil yang menghantuinya, takut akan konsekuensi kejahatan yang telah dilakukannya.
Seolah-olah, hantu itu berbisik di telinganya, "Mama...Mama...Papa...Papa..." menyeramkan dan menakutkan.
********
Arumi pulang ke rumah dengan hati yang dipenuhi ketakutan. Mimpi buruk dan suara anak kecil yang menghantuinya sepanjang hari tak kunjung hilang. Seolah-olah ada sesuatu yang mengintai di balik bayangan malam, menunggu kesempatan untuk menyerangnya.
Ketika ia memasuki rumah, suasana hening menyeramkan. Arumi mencoba menepis rasa takut itu, mencoba menyakinkan diri bahwa itu hanya perasaan saja. Namun, sesaat kemudian, suara anak kecil yang tertawa menyeruak di telinganya.
"Maaf, sayang," bisik Arumi, suaranya gemetar ketakutan. Ia mencoba menenangkan diri, berharap suara itu akan hilang. Namun, suara itu semakin keras, semakin menyeramkan, menyerbu jiwanya dengan rasa takut yang menyeramkan.
"Mama...Papa..."
Arumi berlari keluar rumah, takut akan sesuatu yang mengintai di dalam rumahnya. Ia berlari ke jalan, tanpa menoleh ke belakang. Hatinya berdebar kencang, langkah kakinya tak beraturan.
Di tengah jalan, Arumi melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Sebuah bungkusan kecil tergeletak di pinggir jalan. "Mungkin anak kucing," bisik Arumi, hatinya berharap itu hanya seekor anak kucing yang tersesat.
Dengan hati-hati, Arumi menghampiri bungkusan itu. Ia mencoba membuka bungkusan itu dengan tangan gemetar. Saat bungkusan itu terbuka, Arumi terkejut melihat sesuatu yang menyeramkan.
Bukan anak kucing, melainkan boneka anak bayi yang menyeramkan. Wajah boneka itu pucat, matanya berbinar menakutkan. Rambutnya berantakan, seolah-olah baru saja diambil dari kuburan. Arumi merasa merinding, ketakutan menyerbu jiwanya.
Arumi berteriak ketakutan, membuang boneka itu ke jalan. Ia berlari sekencang-kencangnya, tak menoleh ke belakang. Seolah-olah ada sesuatu yang mengintai di belakang, menunggu kesempatan untuk menyerangnya.
Namun, nasib buruk menimpa Arumi. Ia tertabrak mobil yang melaju kencang di jalan. Arumi terjatuh ke aspal, tubuhnya terluka parah. Darah mengalir membasahi jalan, menyeramkan.
Arumi mencoba berteriak, mencoba minta pertolongan. Namun, suaranya tak terdengar. Ia merasa jiwanya meninggalkan tubuhnya, perlahan tapi pasti.
Di sekolah, heboh berita kematian Arumi. Teman-temannya berduka mendengar kabar itu. Rehan, yang selama ini menghindari Arumi, merasakan sesuatu yang aneh menyerang hatinya.
Seolah-olah, hantu anak kecil itu menghukum Arumi atas kesalahannya, menghukum Rehan atas kekejamannya.
******
Hantu itu berbisik di telinga Rehan, "Papa... Papa... " Suaranya dingin dan menyeramkan, menusuk kalbu Rehan. Ia merasakan hawa dingin menusuk tulang, membuat bulu kuduknya berdiri tegak.
Rehan terdiam, matanya kosong menatap ke depan. Bayangan Arumi, boneka bayi menyeramkan, dan suara anak kecil itu terus berputar dalam pikirannya. Ia merasakan sesuatu yang mengerikan telah terjadi. Arumi telah meninggal, hantu itu telah mendapatkan korbannya.
Rehan berusaha menepis rasa takut itu, berusaha menyakinkan diri bahwa itu hanya perasaan saja. Namun, rasa takut itu terus mengusik jiwanya, membuatnya tak berani untuk menutup mata.
Ia merasakan sebuah firasat buruk, sesuatu yang mengerikan mengintai di balik bayangan malam. Ia tahu, hantu itu tak akan berhenti menghantuinya. Hingga ia mendapatkan balasan atas kejahatan yang telah dilakukannya.
Rehan terduduk lesu di kursi, merasa jiwanya tercabik-cabik. Ia telah membunuh anak yang ia kandung bersama Arumi, dan sekarang ia harus menanggung konsekuensinya.
Hantu itu akan terus menghantuinya, mengingatkan kejahatannya hingga akhir hidupnya. Rehan merasakan jiwanya terjebak dalam lingkaran ketakutan yang tak berujung.
Ia hanya bisa menunggu takdir yang mengerikan menyerangnya, menunggu hukuman yang telah ditentukan untuknya.
Dalam kegelapan malam, hantu anak kecil itu terus berbisik, "Mama...Mama...Papa...Papa..." menyeramkan dan menakutkan.
Rehan merasakan jiwanya hancur, tubuhnya lemas tak berdaya. Ia terjebak dalam perangkap kesalahan yang telah dilakukannya. Hantu anak kecil itu akan terus menghantuinya, mengingatkannya akan dosanya hingga akhir hidupnya.
"Maaf...Maaf... " lirih Rehan, suaranya gemetar ketakutan. Namun, penyesalan itu terlambat. Hantu anak kecil itu telah mendapatkan korbannya, dan Rehan harus menanggung konsekuensinya hingga akhir hidupnya.
*******
Rehan terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Ruangan gelap, hanya sinar bulan yang menembus celah jendela menyinari sekeliling. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
Namun, saat ia membuka mata, sesuatu yang mengerikan menyergapnya.
Arumi berdiri di depannya, wajahnya pucat dan berlumuran darah, matanya menatap Rehan dengan tatapan yang menusuk. Ia menggendong seorang bayi kecil, wajahnya pucat dan tampak tenang.
"Mau apa kamu, Rum?" bisik Rehan, suaranya gemetar ketakutan.
Arumi menatap Rehan dengan senyum sinis, suaranya serak dan menyeramkan, "Marilah, Rehan. Ini anak kita."
Rehan merasakan jiwanya tercabik-cabik. Ia terkejut melihat wajah Arumi yang berlumuran darah, dan mendengar suara Arumi yang menyeramkan. Seolah-olah, Arumi telah menjadi hantu, menghantuinya dan menuntut keadilan.
Rehan berusaha berlari, mencoba menghilangkan bayangan mengerikan itu. Namun, saat ia berlari, ia terjatuh dari tangga. Tubuhnya menghantam lantai dengan keras, membuatnya kehilangan kesadaran.
Orang tua Rehan mendengar suara benturan itu. Mereka berlari ke ruangan Rehan dan menemukan Rehan tergeletak di lantai, tak sadarkan diri. Mereka mencoba membangunkanya, namun Rehan tak bereaksi.
"Rehan...Rehan..." teriak ibu Rehan, air matanya mengalir membasahi wajahnya.
Namun, Rehan tak bereaksi. Ia telah meninggal dunia, meninggalkan orang tuanya dalam kesedihan yang mendalam.
Hantu Arumi dan bayinya telah mendapatkan balasan atas kejahatan yang telah dilakukan Rehan.
Seolah-olah, hantu itu berbisik di telinga orang tua Rehan, "Keadilan telah ditegakkan."
Di dalam rumah yang sepi itu, hanya terdengar tangisan orang tua Rehan yang menyayat hati. Hantu Arumi dan bayinya menghilang dalam kegelapan, meninggalkan rasa takut dan penyesalan yang mendalam.
Kejahatan yang telah dilakukan Rehan telah mendapatkan balasannya. Namun, ketakutan dan penyesalan itu akan terus menghantui jiwanya hingga akhir hidupnya.
Dan di dalam hati orang tua Rehan, kehilangan anak tercinta akan terus menjadi luka yang tak akan pernah sembuh.