Langit mendung, awan kelabu menyelimuti kampung halaman Yaya. Hujan sudah turun sejak pagi, membuat suasana semakin sepi. Yaya duduk di tepi jendela kamarnya, menatap butiran-butiran yang menempel pada jendela kamarnya. Beberapa akhir ini ia merasa kosong, seakan mimpinya semakin jauh dari genggaman.
Yaya selalu ingin menjadi pelukis. Sejak kecil ia suka ber-eksperimen dengan warna-warna, menggambar pemandangan yang indah di atas kertas yang lusuh. Tapi, semakin dewasa ia merasa ragu untuk memiliki mimpi menjadi seorang pelukis. Meski kedua orang tuanya penuh kasih sayang mereka tidak melihat seni sebagai jalan hidup yang menjajikan. Mereka ingin Yaya fokus pada pekerjaan yang lebih pasti.
"Jadilah dokter, guru, atau apa saja yang pasti", kata ibunya suatu malam. "kita tidak punya cukup uang untuk mengambil risiko. Malam itu, Yaya tak membantah, tapi jauh di lubuk hatinya ia merasa sedih. la mulai meragukan mimpinya. Apakah ia hanya bermimpi terlalu tinggi? di tengah keraguannya ia menghentikan kebiasaan melukisnya. Cat air dan kanvas yang biasanya selalu ia gunakan kini hanya tergeletak di sudut kamarnya.
Namun kejadian di suatu hari yang basah itu mengubah segalanya. Diluar rumahnya, Yaya melihat seorang anak kecil yang berdiri, menggigil, tapi tetap tersenyum. la mengenakan jas hujan yang sudah robek namun berusaha tetap menari di bawah tetesan air hujan yang semakin deras. Pemandangan itu membuat Yaya tersenyum meskipun samar.
"Apa yang sedang kamu lakukan di sana?" teriak Yaya dari jendela, ingin tahu.Gadis itu menoleh dengan tawa riang. "Menari di bawah hujan! bukankah indah? Hujan itu seperti musik!"
Yaya memutuskan untuk berlari keluar "bolehkah aku ikut menari?" tanyanya, mendekati gadis kecil itu. "tentu saja" jawab si gadis sambil menarik tangan Yaya. Mereka menari bersama di bawah hujan, tawa riang mereka menyatu dengan suara air yang jatuh dari langit. Di tengah keceriaan itu gadis kecil tersebut berhenti sejenak menatap Yaya. "Kaka kenapa kelihatannya sedih tadi?" Yaya terdiam. "Aku... merasa takut, Aku punya mimpi, tapi aku tidak tahu apakah aku bisa mencapainya." Gadis itu tersenyum lebar. "Kenapa takut? Hujan pun tidak takut jatuh ke bumi. Kalau kakak punya mimpi, kejar saja! Seperti menari di bawah hujan, meski basah, rasanya menyenangkan, kan?". Kata-kata gadis kecil itu menusuk tepat ke hati Yaya. Seorang anak kecil, yang mungkin tidak tahu banyak tentang hidup, justru mampu memberikan pelajaran penting bahwa terkadang, kita hanya perlu berani melangkah, meski dalam situasi yang tampak tidak mendukung. Seperti menari di bawah hujan, hidup mungkin tidak selalu cerah, tapi keindahan bisa ditemukan di tengah tantangan. Malam itu, Yaya kembali ke kamarnya, mengambil kuas yang telah lama ia abaikan. Dengan semangat yang baru, ia mulai melukis kembali. Kali ini, bukan hanya gambar pemandangan yang ia buat, tapi juga perasaan dan mimpi yang selama ini terkubur. Dalam setiap goresan kuas, ia menumpahkan semua keraguannya, ketakutannya, dan akhirnya, keyakinannya.