Malam itu hujan turun deras, gemericiknya terdengar jelas dari balik jendela kamar. Siska, dengan rambut tergerai dan piyama lusuh, duduk di depan laptop yang sudah menyala. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena hati yang berdebar. Sudah sebulan ia berbincang dengan seseorang yang belum pernah ditemuinya secara langsung—Raka, seorang pria yang ia temui di sebuah grup online tentang buku.
Awalnya hanya obrolan ringan tentang novel-novel favorit. Namun seiring waktu, pesan singkat mereka berubah menjadi percakapan yang lebih dalam. Raka selalu berhasil membuat Siska merasa nyaman, seolah-olah ia berbicara dengan seseorang yang sudah ia kenal lama. Meski tak pernah bertatap muka, Siska merasa hatinya sudah mulai terpaut pada pria yang bahkan wajahnya hanya dilihat lewat foto di media sosial.
Malam ini, seperti biasa, mereka berjanji untuk video call. Jantung Siska berdegup lebih kencang ketika notifikasi panggilan masuk di layar laptopnya muncul. Dengan tangan gemetar, ia menerima panggilan itu.
“Hai,” sapa suara Raka yang terdengar menenangkan.
“Hai,” jawab Siska sambil tersenyum. Wajah Raka muncul di layar, dengan senyum khas yang membuat hatinya bergetar. Mereka mulai berbicara tentang hal-hal biasa—pekerjaan, hobi, dan rencana akhir pekan. Namun, di tengah percakapan, Siska merasakan ada sesuatu yang berbeda malam itu. Raka tampak lebih tenang, namun ada kecemasan di matanya yang tidak biasa.
“Siska,” Raka mulai, suaranya pelan namun tegas. “Ada sesuatu yang harus aku sampaikan.”
Siska menelan ludah. Hatinya mulai berdegup lebih kencang. “Apa itu?”
“Aku akan pergi ke luar negeri minggu depan. Ini adalah kesempatan karier yang sudah lama aku tunggu, dan mungkin aku tidak akan bisa sering berhubungan seperti ini lagi…”
Kata-kata Raka terasa seperti petir yang menggelegar. Siska terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya. Di satu sisi, ia tahu bahwa ini adalah impian Raka. Di sisi lain, hatinya hancur karena bayangan kehilangan pria yang kini telah menjadi bagian penting dari hidupnya.
“Berapa lama?” tanya Siska dengan suara serak.
“Tidak tahu pasti. Bisa beberapa bulan, mungkin lebih lama.”
Keheningan menyelimuti mereka. Hanya suara hujan yang terdengar, seolah menggambarkan suasana hati Siska yang tengah bergejolak.
“Tapi... kita masih bisa tetap berhubungan, kan?” Siska mencoba menahan air matanya.
Raka terdiam sejenak. “Aku harap begitu, Siska. Tapi aku tidak mau memberi janji yang mungkin akan sulit aku tepati. Aku tidak tahu bagaimana nanti.”
Siska menunduk, menatap tangannya yang gemetar. Hubungan ini, yang awalnya terasa begitu dekat meski dalam jarak, kini tampak semakin jauh.
“Aku mengerti,” jawab Siska dengan suara yang lirih, meskipun dalam hatinya ia tidak benar-benar mengerti. Perasaan yang selama ini ia simpan mulai menyatu dengan air mata yang tidak bisa lagi ia tahan.
“Siska, aku tidak ingin menyakitimu,” kata Raka, suaranya terdengar penuh penyesalan. “Tapi aku juga tidak bisa menahan diriku dari kesempatan ini.”
“Aku tahu, Raka. Aku tahu.”
Malam itu, panggilan mereka berakhir dengan keheningan. Siska menutup laptopnya, membiarkan air mata mengalir. Perasaannya campur aduk—antara kebahagiaan yang ia rasakan setiap kali berbicara dengan Raka, dan ketidakpastian tentang masa depan mereka.
Hubungan mereka mungkin dimulai dengan jarak, dan kini jarak itu akan semakin jauh. Namun di dalam hati Siska, Raka akan selalu menjadi kenangan tentang kekasih yang tak pernah benar-benar ia miliki, tetapi selalu ada di dalam hatinya.
Meski tak bertemu di dunia nyata, cinta mereka tetap nyata—setidaknya, selama itu masih ada di dalam hati Siska.