Peringatan: Cerita fiktif ini mengandung tema dewasa yang bersifat fiksi dan tidak sesuai untuk semua audiens
Maya duduk di samping jendela kamarnya, memandangi langit senja yang berubah merah keemasan. Pikiran gadis itu dipenuhi kenangan tentang ayahnya, pria yang dulu begitu kuat namun tak mampu melawan penyakitnya. “Ayah...” bisiknya pelan, air matanya mengalir, teringat betapa cepatnya ayahnya pergi meninggalkan mereka.
Di luar kamarnya, terdengar suara langkah kaki. Nyonya Liana, ibunya, masuk dengan wajah cemas. "Maya, sayang...," suara lembutnya berusaha menyemangati putrinya yang terpukul. “Kamu harus kuat untuk kita berdua, ya?” lanjutnya, mencoba tersenyum walau jelas terlihat raut wajahnya yang lelah.
Namun, setelah beberapa bulan berlalu, Nyonya Liana membuat keputusan yang mengejutkan. Ia memperkenalkan Maya kepada seorang pria yang baru dikenalnya, Pak Dharma. "Maya, Ibu... Ibu ingin kamu bertemu dengan seseorang." Maya menatap pria itu dengan tatapan kosong. "Ini... ini Pak Dharma. Kami... akan menikah."
“Menikah?!” Maya terkejut, hatinya berdesir tidak nyaman. "Tapi, Bu, kita bahkan baru saja kehilangan Ayah. Apa Ibu yakin?"
Nyonya Liana menghela napas panjang. "Ibu yakin. Dia pria baik, dan Ibu tidak mau kita terus hidup dalam kesedihan."
Namun sejak awal, Maya sudah merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Pak Dharma memang tampak baik dan sopan di depan ibunya, tetapi setiap kali hanya ada mereka berdua, Maya merasakan tatapan Pak Dharma yang membuatnya bergidik.
Suatu malam, saat Nyonya Liana pergi untuk urusan pekerjaan, Maya mendengar ketukan pelan di pintu kamarnya. “Maya, boleh aku masuk?” terdengar suara Pak Dharma dari balik pintu.
Maya yang sedang berbaring di tempat tidur, jantungnya berdegup cepat. "Ada apa?" tanya Maya dengan suara gemetar.
Pak Dharma membuka pintu tanpa menunggu izin. "Kita harus bicara," ucapnya sambil melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Langkah kakinya terasa berat dan suasana di ruangan itu mendadak mencekam.
“Aku tak mau bicara. Tolong keluar!” seru Maya, suaranya bergetar ketakutan.
Namun, Pak Dharma mendekat dengan tatapan aneh. “Jangan takut, aku hanya ingin kita lebih dekat,” bisiknya, suaranya menekan. Maya panik, mencoba berlari, tapi Pak Dharma menariknya dengan paksa. "Tolong! Lepaskan aku!!" jerit Maya, mencoba melawan, namun tubuhnya terlalu lemah untuk menghadapi kekuatan pria itu.
Dharma meraih maya dengan kasar, maya berteriak kesakit*n dan memohon agar dharma berhenti namun dharma tak peduli. Dharma memperk*sa maya dengan kejam dan habis-habisan, maya merasakan sakit yang luar biasa namun ia tak bisa berbuat apa-apa.
Maya mencoba untuk melawan dan menangis sejadi-jadinya, namun Dharma tetap melanjutkan perbuatannya tanpa amp*n. Maya merasa hancur dan terluka secara emosional, ia tak pernah membayangkan bahwa ayah tirinya sendiri bisa melakukan hal seperti ini padanya.
Dharma: (dengan suara keras dan kasar) Kau tidak bisa melarikan diri dariku, Maya. Kau adalah milikku sekarang.
Maya: (terisak-isak) Tolong... Ayah, hentikan! Aku mohon, hentikan semua ini!
Dharma: (menyeringai kejam) Kau pikir aku akan berhenti karena kau memohon padaku? Kau harus belajar untuk tunduk pada keinginanku, Maya.
Maya: (teriak kesakitan) Ahhh... tolong, Ayah! Aku kan anakmu sekarang, kenapa kau melakukan ini padaku?
Dharma: (tanpa belas kasihan) Anak atau bukan, kau adalah milikku untuk diambil. Dan hari ini, aku akan merasakanmu hingga penuh kepuasan.
Maya: (menangis sambil berteriak) Jangan... Ayah, berhenti! Aku mohon!
Dharma: (terus menggempur tanpa ampun) Teriaklah sepuasmu, Maya. Kau takkan bisa melarikan diri dari aku. Kau milikku sepenuhnya.
Maya: (tidak tah*n lagi) Ahhh... aku tid*k kuat... Ayah, tolong hentikan...
Dharma: (mengabaikan semua keputusasaan Maya) Kau memberikanku kenikm*tan yang luar biasa, Maya. Aku takkan melepaskanmu begitu saja.
Maya: (berd*sah dalam keputusasaan) Aku tidak tahan lagi... Aku hancur...
Malam itu menghancurkan Maya. Setelah kejadian tersebut, Maya terkunci dalam kesunyian, hatinya penuh luka yang tak terungkapkan. Ia merasa kotor, hancur, dan tak berani memberitahu siapa pun, bahkan ibunya.
"Pria itu...bejat!" ucap Maya menangis begitu keras dan berdendam.
Waktu terus berjalan. Nyonya Liana mulai sakit-sakitan dan harus dirawat di rumah sakit. Maya yang sudah patah, kini harus menghadapi kenyataan bahwa ibunya juga mulai pergi menjauh dari hidupnya. Setiap hari Maya menemani ibunya di rumah sakit, menyembunyikan luka batinnya demi merawat sang ibu yang kian lemah.
Suatu sore, ketika Maya sedang menggenggam tangan ibunya di tempat tidur rumah sakit, Nyonya Liana berbisik, "Maafkan Ibu, Maya. Maaf Ibu meninggalkanmu sendiri." Maya menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata.
“Jangan bicara seperti itu, Bu. Aku masih punya Ibu,” kata Maya dengan suara serak. Namun, malam itu, Nyonya Liana pergi untuk selamanya, meninggalkan Maya seorang diri di dunia yang terasa semakin dingin dan gelap.
Setelah kematian ibunya, Pak Dharma mulai menunjukkan sikap yang aneh. Bukannya semakin menakutkan, ia justru berubah menjadi lebih baik. "Aku menyesal atas semua yang terjadi, Maya. Aku akan menjagamu," katanya dengan suara penuh penyesalan.
Maya menatapnya dengan hati yang bimbang. Ada luka yang terlalu dalam untuk disembuhkan dengan kata-kata saja. "Kenapa sekarang?" tanyanya dingin.
Pak Dharma hanya bisa menundukkan kepala. "Aku tahu aku salah, dan aku tak pantas dimaafkan. Tapi, aku akan berubah, aku berjanji."
Maya tidak bisa mempercayai pria itu sepenuhnya. Setelah apa yang telah terjadi, dia tahu luka hatinya tak akan sembuh begitu saja. Maka, Maya memutuskan untuk pergi. Dia merantau ke kota lain, meninggalkan semua kenangan buruk dan mencoba memulai hidup baru.
Setelah beberapa bulan berlalu, Maya merasa hampa. Meski jauh dari masalah, rasa rindu pada kampung halaman dan kenangan indah bersama ibunya terus menghantui. Akhirnya, dengan berat hati, Maya memutuskan untuk pulang.
Ketika sampai di rumah, Pak Dharma terkejut dan bahagia melihat kepulangan Maya. “Maya, kamu pulang... Aku pikir kamu tak akan pernah kembali,” ucapnya sambil tersenyum, air mata menggenang di sudut matanya.
Maya tetap dingin. "Aku hanya pulang untuk mencoba memperbaiki semuanya, tapi itu bukan berarti aku bisa melupakan apa yang kamu lakukan."
Pak Dharma terdiam, menunduk dengan penuh rasa bersalah. "Aku tahu aku tak pantas dimaafkan. Tapi aku ingin membuktikan bahwa aku bisa berubah. Aku ingin menjadi ayah yang baik untukmu, Maya."
Hari-hari berlalu, dan meskipun Maya masih menyimpan luka, perlahan hatinya mulai terbuka. Suatu malam, ketika mereka duduk bersama di ruang tamu, Pak Dharma berkata dengan suara bergetar, “Maafkan aku, Maya. Aku sungguh menyesal telah membuatmu menderita. Aku tak akan pernah bisa menggantikan ibumu, tapi aku ingin menebus kesalahanku.”
Maya terdiam lama sebelum akhirnya menjawab, “Aku tak bisa melupakan apa yang terjadi, tapi... aku akan mencoba untuk tidak membencimu lagi.”
Air mata Pak Dharma mengalir. "Terima kasih, Maya. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa menjadi ayah yang pantas untukmu."
Sejak hari itu, hubungan mereka perlahan mulai membaik. Maya dan Pak Dharma mulai menjalani hidup bersama, mencoba membangun kepercayaan yang hancur. Mereka memutuskan untuk melakukan perjalanan, meninggalkan semua kenangan buruk dan memulai hidup baru.
Dalam perjalanan hidup mereka yang penuh tantangan, Maya dan Pak Dharma belajar untuk saling mendukung dan menghargai satu sama lain. Rasa sakit masa lalu tak bisa hilang begitu saja, namun mereka berhasil menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya.
Berakhir...