Rina menatap jam dinding yang berdetak lambat. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Rumah tua yang dia tempati selama beberapa bulan terakhir sejak kematian kakeknya terasa semakin asing. Rumah itu adalah warisan satu-satunya yang dia dapatkan, dan meski tidak ingin, keadaan membuatnya harus pindah ke sana.
Malam ini, hujan turun deras. Petir sesekali menggelegar, menciptakan bayangan aneh di dinding. Rina duduk di ruang tamu dengan lampu redup, membaca buku catatan lama milik kakeknya. Dalam catatan itu, ada banyak hal yang tak pernah dia ketahui tentang masa lalu keluarganya. Salah satunya adalah kisah tentang sebuah cermin tua yang tersimpan di loteng.
Cermin itu, menurut catatan kakeknya, bukan sembarang cermin. Ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya. Rina tidak terlalu percaya pada hal-hal supranatural, tapi rasa penasaran mulai tumbuh dalam dirinya. Terlebih lagi, kakeknya menulis peringatan di akhir catatan itu: “Jangan pernah menatap cermin terlalu lama. Kau tidak akan suka dengan apa yang kau lihat.”
Dia mendesah dan menutup buku itu. Apakah ini hanya khayalan kakeknya? Namun, rasa penasaran mengalahkan logikanya. Setelah beberapa detik ragu, Rina memutuskan untuk naik ke loteng. Tangga kayu berderit di setiap langkahnya, menambah kesan suram pada suasana malam itu.
Di loteng, dengan cahaya senter di tangan, Rina mencari cermin yang dimaksud. Debu tebal menutupi hampir semua barang di sana. Ketika cahayanya mengenai permukaan yang halus, dia tahu itu adalah cermin yang kakeknya tulis. Cermin itu besar, dengan bingkai emas kuno yang mulai berkarat. Namun, pantulannya sempurna.
Ketika Rina mendekat dan menatap cermin itu, dia melihat bayangan dirinya yang pucat. Namun, ada sesuatu yang aneh. Bayangan itu... bergerak sedikit terlambat, seolah-olah pantulannya tidak sepenuhnya mengikuti gerakannya. Dia mengangkat tangan, dan bayangan itu melakukan hal yang sama, meski dengan jeda yang aneh.
Jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Ketika dia mencoba mengalihkan pandangan, bayangan di cermin tetap menatapnya—menatap lurus ke dalam matanya, seolah-olah mencoba berkomunikasi.
Kemudian, bayangan itu tersenyum.
Rina tersentak mundur. Dia yakin tidak tersenyum barusan. Nafasnya semakin cepat, rasa takut mulai menjalar di seluruh tubuhnya. Dia ingin berbalik dan meninggalkan loteng, tapi kakinya seakan membeku.
Bayangan dalam cermin mulai berubah. Wajahnya tidak lagi menyerupai Rina. Kulitnya mulai menghitam, mata membesar dengan pupil yang semakin gelap, dan senyumnya—tersenyum lebar, terlalu lebar.
Ketika Rina hendak berlari, bayangan itu berbicara. Suaranya berat dan penuh desisan.
“Jangan pergi… kau telah membangunkan aku.”
Rina memekik dan berbalik, melarikan diri menuruni tangga dengan cepat. Tangannya bergetar saat mencoba membuka pintu kamar tidurnya, tapi pintu itu tidak mau terbuka. Dia menoleh ke belakang, melihat bayangan itu kini berdiri di ujung tangga, sosoknya terlihat jelas meski tanpa cermin.
Bayangan itu mendekat. Setiap langkahnya membuat lantai berderak pelan.
Di saat-saat panik, Rina teringat satu hal yang pernah diceritakan kakeknya: “Cermin itu adalah gerbang. Apa yang ada di dalamnya, ingin keluar. Tapi yang ada di luar, juga bisa masuk. Kuncinya ada pada bayanganmu.”
Rina menyadari apa yang harus dia lakukan. Dia harus menghadapi cermin itu lagi. Meski seluruh tubuhnya gemetar ketakutan, dia tahu itu satu-satunya cara. Dia harus menangkap bayangannya sebelum bayangan itu mengambil alih sepenuhnya.
Dengan cepat, dia berlari kembali ke loteng. Cermin itu masih berdiri di sana, namun bayangan dalam cermin sudah berbeda. Bayangan dirinya terlihat normal, tapi Rina tahu ada yang salah. Dengan nekat, dia berdiri di depan cermin, mencoba menatap pantulannya tanpa ragu.
“Ini milikku,” bisik bayangan itu, suaranya semakin mendesak. “Kau akan menjadi aku, dan aku akan menjadi dirimu.”
Dengan segenap keberanian yang tersisa, Rina menyentuh permukaan cermin. Rasanya dingin, seolah ada es yang menyelimuti tangannya. Bayangan di dalam cermin tertawa, dan cermin itu mulai retak perlahan.
Namun, Rina tidak menyerah. “Kau bukan aku!” teriaknya, suaranya menggema di seluruh loteng.
Tiba-tiba, retakan di cermin berhenti. Bayangan itu mulai memudar, terhisap kembali ke dalam kegelapan. Cermin pun pecah menjadi serpihan kecil, menghilang bersama bayangan yang ada di dalamnya.
Rina terengah-engah, seluruh tubuhnya lemas. Dia berhasil.
Namun, sebelum dia bisa benar-benar tenang, dari balik serpihan cermin yang berserakan, terdengar bisikan samar: “Ini belum berakhir…”
---
Seminggu kemudian, Rina memutuskan untuk meninggalkan rumah itu. Namun, di saat dia membereskan barang-barangnya, sebuah cermin kecil di kamarnya memantulkan bayangan yang tersenyum.
TAMAT