Aku telah mengukir kisah pahit yang manis, dan mengabadikannya dalam buku tebal hingga habis. Jika hatimu patah setelah membacanya …, maka ketahuilah, bahwa aku telah mematahkan hatiku untuk menulisnya.
Happy anniversary, Abill yang manis. Sejujurnya, Kankan tak pernah lupa dengan tanggal ini.
—Arkan Daniswara
⋆ ִֶָ ๋𓂃🧸 ₊ ° 📋⊹ ♡⋆
Semburat senja mewarnai Kota Hujan. Arkan Daniswara adalah pengagum pemandangan sore hari yang disukai oleh mayoritas manusia. Seorang diri, ia berjalan tenang di trotoar jalan dengan ransel hitam yang bertengger di pundak. Dalam genggamannya, ada sekantong kacang rebus titipan sang bunda. Cowok berumur delapan belas tahun itu bersiul tak sungkan, seolah-olah bernyanyi untuk para pengendara yang terjebak dalam kemacetan.
TINNN!
Arkan menoleh. Kendaraan yang mulanya macet, kembali melaju meskipun lamban.
TINNN!
“ADUH, SABAR!” kelakarnya yang kini berbalik arah ke belakang. Arkan berlari dan kembali menaiki sepeda yang sempat ditinggalkan di tengah jalan—akibat terjebak kemacetan—untuk membeli jajanan. Dengan grasak-grusuk, tangannya mengaitkan kresek kacang rebus di setang sepeda.
Kedua kaki Arkan kembali bertumpu pada pedal, menyusuri hiruk pikuk kota yang menjingga. Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambut halusnya yang ringan. Meskipun perjalanannya sedikit tersendat karena jalanan padat, tetapi pemandangan langit oranye cukup menghibur hari beratnya.
Rumah sederhana Arkan mulai tampak. Ia pun turun untuk membukakan gerbang sebesar body sepedanya.
Grrrrrrrrnggggg.
Geseran gerbang besi terdengar, membuat seseorang terpanggil untuk berlari ke teras depan tanpa Arkan sadari.
“Kankan!”
Arkan sontak menoleh. Billa, seorang gadis berbadan imut dengan rambut lurus sebahu terlihat mencebik sambil terus berjalan ke arahnya. Dengan raut murka, ia menjinjing sebuah boneka Teddy Bear berukuran sedang.
Puk!
“Aduh!”
Boneka itu terjatuh ke permukaan halaman setelah menimpuk wajah tampan Arkan.
“Kok akunya ditimpuk, sih?” Arkan mengusap tulang pipinya yang terkena mata bulat Teddy Bear yang keras. “Sakit, loh. Kalau aku benjol gimana?”
“Kankan jahat!” semprot Billa sambil terengah-engah menahan kesal. Kedua manik indahnya berlinang air mata. Bibirnya pun mulai cemberut.
“Apaaaaa, Abill?” gemasnya sambil tersenyum masam. Kalau Billa marah, justru dia semakin imut dan lucu. Telunjuk Arkan sampai memencet hidung mancungnya yang mengkilap. “Teddy Bear-nya udah dilempar sama kamu, tapi dia gak nangis. Masa yang ngelemparnya nangis, sih?” ledeknya sambil mengusap air mata di pipi Billa.
Bukannya terhibur, gadis berponi kuda itu justru semakin marah. “Kankan bisa gak sih, responnya yang serius?!”
Arkan sampai garuk-garuk kepala saking gusarnya. Cowok tinggi itu mendengkus sambil melengos untuk kembali menutup gerbang. “Ah, iyaaaa. Coba bilang, jangan kayak anak kecil.” Arah pandang sinis Billa terus mengikuti pergerakannya. “Kamu sampai ke sini sore-sore, Bill,” sambungnya menahan kesal seraya mengunci gerbang.
“Abill capek sama Kankan,” lontar Billa lemah. Tangannya sibuk menghapus air mata baru yang meluap di pelupuknya. “Kankan tuh sayang gak sih, sama Abill?!” desaknya penuh kekesalan.
Arkan yang masih pura-pura tak tahu di mana letak kesalahannya hanya sempat memiringkan kepala heran. “Kamu sering loh, ngambek gak jelas kayak gini ke aku. Kenapa, sih?” timpalnya semakin kesal. “Jangan ngatain orang jahat, sedangkan kamu sendiri suka nyuruh aku buat nebak-nebak apa kesalahan aku.”
Tampak Billa menghela napasnya. Ia berusaha menurunkan gengsinya untuk sedikit mengalah. “Kankan enggak inget, ini hari apa?”
“Sabtu?”
Billa mengepalkan kedua tangannya ke udara. “Bukannnn,” gemasnya. Hatinya semakin kesal. Ia sungguh-sungguh dengan amarahnya, tetapi Arkan masih saja terlihat mencandainya.
“Sumpah. Aku lagi males berantem.” Arkan menghela napas penuh kesabaran, lalu melebarkan senyum termanisnya. Tangan besarnya mengelus kepala Billa dengan sayang. “Yuk, masuk! Aku pengen makan dulu, laper banget.”
Makan? Tatapan Billa semakin penuh dengan sorot kebencian. Sempat-sempatnya cowok itu melontarkan hal menyebalkan di tengah kekesalannya.
“Aih, malah ngelamun,” gemas Arkan sambil menarik tangan Billa.
“Lepasin!” tolak cewek itu sambil mengentakkan genggaman hingga terlepas. “Kita putus!”
Arkan lagi-lagi dibuat speechless dengan sikap Billa yang kekanakan. “Kok gitu? Maksud kamu apa, Bill?”
“Cari tau sendiri!” sewot Billa sambil berlalu. Dengan hati yang marah, ia berusaha menggeser gerbang. Ternyata, tenaganya tidak cukup untuk melakukan itu. “Bukain,” pintanya ogah-ogahan.
Arkan terdiam memperhatikan. Lagi-lagi ia mesti mengembuskan napas penuh ketabahan. Pinggangnya yang terasa pegal dipaksa berjongkok untuk memungut boneka yang telah terkena debu halus halaman rumah. “Sekalian buang,” lelahnya sembari menyodorkan si beruang cokelat secara paksa pada Billa.
Hati sesak Billa semakin terasa pedih. “Itu dari Kankan! Ya Kankan lah yang buang!” marahnya. Andaikan Arkan tahu, bahwa sesungguhnya, gadis ini hanya ingin lebih diperhatikan.
“Iya, minta tolong buangin. Isinya kenangan buruk semua,” celos Arkan sambil membukakan gerbang. Kali ini, giliran Billa yang dibuat terdiam.
“Kankan!” marah Billa dengan sikap Arkan yang tak menahannya untuk pergi.
“Oke, kita udahan.” Arkan kembali menaiki sepeda untuk memarkirkannya ke garasi. Sedangkan Billa masih mematung di tempat, menatap cowoknya—yang kini telah berubah menjadi seorang mantan.
“Kankan lupa sama janji Kankan ...,” lirih Billa kecewa. Arkan nyaris hilang dari pandangnya, tetapi ia merasa tak mampu lagi untuk menghentikannya. “Padahal ini udah mau berganti hari....” Air mata Billa kembali jatuh. Hatinya yang berdebar-debar, kini penuh dengan kesesakan. “Dasar jahat,” isaknya.
🧸📜🍩🍫
Pukul delapan malam, Arkan mengunci pintu kamar. Bibirnya tersenyum, tatkala melihat banyaknya foto manis Billa menghiasi ruang ternyamannya. Ada tiga foto berjejer yang terpajang di dinding—tepat di depan meja belajarnya, serta satu foto di atas nakas samping ranjang tidurnya.
“Kita putus!”
Sebenarnya, itu bukan kali pertama bagi mereka. Yang Arkan hitung, sih, sudah ada tujuh belas kali, semenjak usia hubungan mereka sebesar biji jagung. Billa itu ambekan dan kekanakan. Namun, Arkan tetap sayang padanya. Maka, ia tak pernah mempermasalahkan itu.
Akan tetapi ..., sepertinya untuk kali ini, Billa memang seserius itu marah padanya. Dia pasti berpikir, bahwa Arkan telah melupakan ulang tahun hubungan mereka yang ke-1 tahun.
“Maaf ya, udah bikin Abill marah. Tapi hadiah dari Kankan belum selesai untuk Abill,” lirihnya agak muram seraya menarik kursi untuk diduduki. Cowok itu merogoh sebuah buku tebal dalam laci meja belajar. Ia pun mengambil satu pena dalam wadah alat tulisnya. “Lembar terakhir, ya,” gumamnya. Air mata Arkan menetes haru ke halaman kosong buku tebalnya. “Semoga sempat selesai.”
Buku sebanyak 365 lembar; 730 halaman adalah hadiah istimewa untuk Billa. Arkan telah lama mengisinya sejak ia mengungkapkan perasaan pada gadis manisnya. Di matanya, Billa itu terlalu indah. Saking indahnya, ia merasa lembaran sebanyak 365 lembar ini masih tak cukup untuk menuliskan tentangnya—meskipun yang Arkan tulis selalu menghabiskan dua halaman di setiap harinya.
“Abill ... rasa sayang Kankan lebih banyak dari uraian kata-kata ini dan lebih besar dari alam semesta,” lirihnya sambil terus menulis. Senyuman kecil itu terlihat sendu. Rasa sesak membuatnya terisak. Arkan terharu, tulisannya telah tuntas di dua halaman terakhir. Namun, hatinya dipenuhi ketakutan dan rasa cemas.
Clak ...
Noda merah menetes dari hidung, menodai halaman terakhir yang begitu Arkan spesialkan. Kepalanya sontak menengadah. Tangannya menarik dua lembar tissue untuk menutupi indera penciumannya. Meskipun sedikit terlambat, tetapi Arkan masih panik dan mencari cara untuk membersihkan noda yang menetes itu. Namun, lembaran kertas yang tidak terlalu tebal, membuat darah tersebut dengan cepat menyerap dan menembus ke lembaran lain.
Arkan tak mau Billa kecewa dengan hadiah pemberiannya.
Tok! Tok!
Arkan terperanjat. Dengan gelagapan, ia kembali memasukkan buku dan pena ke dalam laci.
“Kankan udah tidur, belum? Bunda mau minta tolong.”
Hidung Arkan masih terasa hangat. Begitu terasa darah itu masih keluar. Kini, kepalanya terasa pusing. Badannya pun seketika terasa tidak nyaman karena terasa lemah.
“Udah tidur, ya?” tanya bunda sekali lagi.
Bruk!
Arkan terjatuh dari kursi, lalu terkapar di lantai yang dingin.
“Kankan? Buka pintunya!” Di luar, bunda berusaha mendobrak pintu berbahan kayu itu. Setelahnya, gedoran panik itu tak terdengar lagi. Sepertinya, bunda telah berlari keluar untuk meminta pertolongan dari tetangga sebelah rumah.
“B-bunda....”
Kepala Arkan sangat pusing sekarang. Pandangannya terlihat memburam. Bahkan, napasnya kini memburu. Sekadar memanggil nama bundanya saja terasa susah. Arkan menangis saat tersadar, bahwa selama ini ..., ia telah menahan derita dan berjuang seorang diri. Bunda dan Billa tak pernah tahu tentang sakitnya—yang bahkan dirinya sendiri pun tak tahu penyakit apa yang selama ini telah menggerogoti tubuhnya.
Tuhan ... apa aku harus pulang sekarang? Aku bahkan belum pamitan sama Bunda dan Abill.
🧸📜🍩🍫
Cicitan para unggas yang hinggap di balik jendela kamar membuat Billa terbangun. Ia pun terduduk dan menunduk dengan mata setengah terpejam. Rambut pendeknya nyaris menutupi seluruh wajah. Ia mendongak, lalu melenguh singkat. Sinar lampu yang masih menyala membuatnya silau. Dengan gontai, ia pun mematikannya. Billa menguap, kemudian membuka tirai jendela yang nyatanya lebih menyilaukan mata.
Sinar mentari yang menghangatkan seolah-olah memeluknya saat menembus jendela kamar yang bening. Burung-burung yang hinggap pun beterbangan tatkala gadis itu membuka jendela.
“Sejak tadi malem, hp Abill bunyi terus. Emang enak Abill cuekin,” kekeh Billa, lalu terjun ke kasur dengan telungkup. Namun, seketika tawa usilnya memudar. Ternyata, yang membunyikan dering ponselnya bukanlah Arkan, melainkan bundanya.
4 panggilan tak terjawab dan 1 pesan baru belum dibaca dari Bunda Kankan
✉️ Bunda Kankan: Nak Abill, Kankan udah pergi.
Billa terkejut, bersamaan dengan rasa pedih yang menusuk. Kantuknya pun seketika hilang. Setetes air mata lolos terjun ke layar smartphone-nya. Perasaan paniknya seolah-olah berusaha mendorong jemarinya yang bergetar untuk lekas membalas pesan itu.
✉️ Billa kesayangan Kankan: Pergi ke mana, Bunda?
✉️ Bunda Kankan: Pulang ke rumah Tuhan.
Dada Billa sangat sesak membaca balasan pesan itu. Dunia seolah-olah berhenti berputar. Otaknya belum sampai untuk menerima, bahwa ini adalah kenyataan. Ia masih enggan percaya. Gadis itu melamun sebentar, lalu kembali melihat pesan yang bunda Arkan kirimkan.
“Kankan ... pergi ninggalin Abill?” lirihnya serak. Beban ponsel di tangannya mendadak terasa berat. Billa merasa sangat lemas. Dadanya semakin berdebar-debar, kepalanya mendadak pening.
“Bahkan Abill belum minta maaf sama Kankan kemarin ...,” monolognya penuh sesal kala teringat hari kemarin sore.
“Abill jangan marah-marah terus, nanti jadi Teddy Bear, loh.”
“Makan cokelatnya jangan terlalu banyak, nanti gigi Abill hitam, kayak nenek lampir.”
“Aku juga pengen tau rasanya dibonceng sama cewek yang aku suka. Abill harus bisa naik sepeda, ya!”
“Abill. Kata bundaku, dunia itu kejam. Kalau ada yang jahat, harusnya lawan! Jangan langsung nangis. Oke?”
“Bill, pegangan! Aku mau jumping!”
“Aduh, Bill! Hati-hati, makanya! Lutut kamu luka, kan?!”
Kepingan kenangan singkat membuat rasa sesak semakin memenuhi dadanya. Billa pun akhirnya menangis hingga tersengguk-sengguk. Ia masih tak percaya, bahwa pertemuan kemarin, adalah hari terakhirnya bersama Arkan.
🧸📜🍩🍫
“Bunda ...,” panggil Billa yang menatap bunda Arkan sendirian di dekat gundukan tanah yang masih basah. Gadis itu masih terpaku.
Itu Kankan?
“Abill ...,” isak bunda saat menoleh pada Billa. Tatapan pilunya seolah-olah menunjukkan, bahwa Arkan telah benar-benar pergi. Gadis itu terduduk lemas di atas tanah yang kotor. Kaki bunda yang sedikit sakit pun memaksa berjalan untuk mendekat. “Nak Abill, sini bunda peluk.”
Dalam dekapan hangat, Billa menangis penuh sesal. Tangan penuh kasih sayang milik bunda mengusap-usap bahu rapuhnya. Kini, Billa berusaha menumpu pijakannya agar lebih kuat untuk berdiri. Semakin dekat dengan nisan Arkan, semakin teriris hatinya. Billa masih tak sanggup melihatnya.
“Kankan, maafin Abill....” Tangan lentik Billa mengusap nisan bertuliskan Arkan Daniswara.
Di tengah isakan Billa, bunda mengeluarkan sesuatu dalam tas jinjingnya. “Nak Abill ... ini ada hadiah dari Kankan. Tolong terima ya, Sayang.”
🧸📜🍩🍫
Dari Kankan, untuk Abill yang Manis
Sambil bersandar ke kepala ranjang, Billa membuka buku pemberian Arkan. Air matanya kembali menitik, membasahi cover buku tebal itu. Di balik cover tersebut, tertulis rangkaian kalimat:
Aku telah mengukir kisah pahit yang manis, dan mengabadikannya dalam buku tebal hingga habis. Jika hatimu patah setelah membacanya …, maka ketahuilah, bahwa aku telah mematahkan hatiku untuk menulisnya.
Happy anniversary, Abill yang manis. Sejujurnya, Kankan tak pernah lupa dengan tanggal ini.
—Arkan Daniswara
Billa tak pernah tahu, bahwa buku yang selalu Arkan bawa saat bersamanya, adalah sebuah hadiah anniversary yang telah lama dipersiapkan untuknya. Dulu, Billa selalu kesal ketika melihat Arkan yang begitu sibuk menulis dalam momen kebersamaan mereka. Ia selalu marah-marah dan mengajaknya usai karena merasa tak dianggap.
“Abill selalu bilang Kankan jahat ... padahal, Abill yang jahat.” Billa menghapus air mata dengan punggung tangan. Sambil terisak, ia membaca halaman pertama tulisan Arkan.
—Lembar ke-1; halaman 1, 17 Februari 2023
Halo, Abill penyuka Teddy Bear dan cokelat! Sebelumnya, Kankan minta maaf, yaa. Bahkan saat Abill membaca halaman pertama ini, sepertinya Kankan sudah tidak bisa menemani Abill. Pokoknya Abill harus bisa main sepeda, ya!
Billa menelan ludah sesak. Tulisan Arkan ternyata lebih manis dari obrolan biasanya. Rasa rindu tiba-tiba menyerangnya. Ia masih enggan percaya, bahwa Arkan telah benar-benar pergi meninggalkannya.
Dengan keadaan kamar terkunci, Billa menghabiskan waktu seharian hingga larut malam untuk membaca seluruh catatan Arkan tentang dirinya.
Hingga sampai pada halaman terakhir ..., Billa baru sadar, bahwa noda-noda merah kecoklatan yang terlihat pudar di lembaran sebelumnya, lebih terlihat jelas di halaman terakhir. Ia terisak lagi. Arkan tak pernah bercerita tentang sakitnya, dan telah melalui hari sulit itu sendirian.
—Lembar ke-365; halaman 729, 17 Februari 2024
Abill ... tak ada perempuan semanis dan selucu Abill. Kankan senang dengan semua kenangan bersama Abill. Maaf, jika Kankan tak seperti lelaki lain yang selalu membuat Abill tersenyum. Yang ada, Abill selalu menangis dan marah-marah karena Kankan. Sejujurnya, Kankan begitu menderita saat tadi sore Abill mengatakan putus. Terlihat sekali, bahwa itu amat bersungguh-sungguh. Kankan tahu dan mengerti itu, makanya tak lagi menahan-nahan Abill untuk terus bersama Kankan. Setelah membaca hingga halaman ini, Abill sudah tahu kan, kalau Kankan lebih cengeng dari Abill? Kankan selalu mengurung diri di kamar sambil menangis dan menulis tentang Abill manis yang sangat sangat Kankan sayang. Maaf ya, kado anniversary ini begitu telat Kankan berikan. Abill sampai menangis, karena mengira bahwa Kankan tidak ingat hari spesial ini. Kankan tadi tidak keluyuran main, kok. Kankan belajar melukis di rumah teman. Di hari spesial ini, Kankan ingin sekali melukis wajah imut Abill. Yah, nyatanya tidak sempat. Dan meskipun sempat, sepertinya lukisan itu akan mengubah wajah manis Abill. Jadi maaf, hanya buku tebal ini yang bisa Kankan berikan untuk Abill.
—Lembar ke-365; halaman 730, 17 Februari 2024
Abill yang manis ... ini adalah permintaan terakhir Kankan. Janji, ya. Abill harus belajar untuk lebih dewasa dan tak banyak menuntut orang sekitar dengan segala kemauan Abill. Kata bunda, dunia itu kejam ... Abill harus kuat dan mandiri. Boleh menangis, tapi setelah lelah berjuang. Ya?
Ohiya satu lagi. Jika Abill sudah semakin dewasa, carilah lelaki yang selalu berusaha ada untuk Abill. Kankan sudah mematahkan hati Kankan untuk menitipkan Abill pada orang yang bahkan belum sempat bertemu dengan Kankan. Tepatin janjinya, ya!
Selamat tinggal, Abill yang manis.
Hati Billa tertohok.
Setelahnya tercelus.
“K-kankan....”
Senggukan tangis menyakitkan terdengar begitu memilukan di keheningan malam. Ribuan kata manis itu seolah-olah menghunus hatinya begitu dalam. Billa meringkuk penuh kerapuhan. Kedua matanya sudah sembap dan sakit akibat terlalu banyak menangis.
“Kankan ... t-tapi Abill tidak mau lelaki lain selain K-kankan,” lirihnya pedih.
Billa mendekap buku tebal itu, menangisi kepergian Arkan yang masih dirinya sesali.
⋆ ִֶָ ๋𓂃🧸 ₊ ° 📋⊹ ♡⋆
14 Februari 2025
Kamu bilang ..., kamu telah bersungguh-sungguh mematahkan hatimu untukku. Maka aku ingin kamu tahu, bahwa ... aku akan mendekap segala serpihannya seumur hidupku.
Hari ini ..., adalah genapnya satu tahun sejak kepergian Kankan yang sangat sangat Abill sayang. Abill tak pernah bosan untuk selalu membaca hadiah spesial manis dari Kankan. Saking senangnya, bahkan Abill jadi suka menulis seperti Kankan. Lihat. Tulisan kita begitu mirip, kan?
Kankan, maaf ..., bahkan semenjak kepergian Kankan, Abill masih sering menangis karena rindu ingin bertemu Kankan.
Kankan ..., hingga saat ini, Abill tak pernah berjumpa dengan lelaki semanis dan setulus Kankan. Terima kasih, Abill sangat senang dengan segala kenangan bersama Kankan. Bahkan, sampai sekarang ..., nama Kankan masih tersimpan apik dalam relung hati—tempat terhangat yang begitu berharga bagi Abill.
Happy anniversary, Kankan yang manis. Sampai kapan pun, Abill tak akan pernah lupa dengan tanggal ini.
—Billa Kimimela
- T A M A T -