10:10 di Malam yang Bisu
Malam itu, tepat pukul 10:10 pada tanggal 10-10-2024, Dafa duduk sendirian di kamarnya. Jendela terbuka sedikit, membiarkan angin malam yang sejuk masuk. Tapi di dalam hatinya, tidak ada kesejukan yang bisa meredakan kegelisahan yang telah merayap sejak berhari-hari. Matanya berkali-kali menatap layar ponselnya, jemarinya gemetar di atas ikon pesan. Sudah lama dia tak berbicara dengan Kak Andra, seseorang yang dulu sangat berarti dalam hidupnya—lebih dari teman, lebih dari sekadar sosok kakak.
Akhirnya, dia memutuskan untuk mengetik pesan.
"Hai, Kak Andra. Apa kabar?"
Pesan itu terkirim, namun balasan tidak kunjung datang. Satu menit, dua menit, bahkan sepuluh menit berlalu. Dafa menggigit bibirnya, rasa rindu yang selama ini dipendam mulai membuncah di dadanya. Entah apa yang membuatnya merasa gelisah kali ini. Sesuatu terasa berbeda. Kak Andra tidak lagi responsif seperti dulu.
Ponselnya bergetar, pesan dari Andra akhirnya datang.
"Baik, Daf. Ada apa?"
Hanya itu. Begitu singkat, begitu datar. Dafa menelan ludah. Biasanya percakapan mereka mengalir tanpa hambatan, tapi kali ini terasa berat. Dia merasakan ada jarak yang entah kapan muncul.
"Aku cuma kangen, Kak. Udah lama kita nggak ngobrol…" Dafa mencoba memulai.
Tapi balasan Andra kembali singkat.
"Iya, sudah lama."
Dafa menghela napas panjang. Mengapa terasa sepi? Mengapa Kak Andra tidak merespon seperti biasanya? Dulu, percakapan mereka dipenuhi tawa, dengan topik-topik yang tak pernah habis. Sekarang, seolah-olah Andra berada di dunia lain, yang tak bisa lagi disentuhnya.
"Kak Andra nggak kangen aku juga?" Dafa akhirnya bertanya, memberanikan diri.
Pesan itu terhenti cukup lama. Hingga akhirnya, balasan datang.
"Enggak."
Jawaban itu memukul Dafa seperti palu. Tangan Dafa gemetar memegang ponselnya. Sesuatu yang ia takuti selama ini ternyata benar. Andra… benar-benar berubah. Dulu, tak pernah ada kata "enggak" dalam hal perasaan di antara mereka.
Dafa mencoba menenangkan diri. Ada sesuatu yang harus ia ketahui. Dengan hati-hati, ia kembali mengetik pesan.
"Kenapa? Apa ada yang gantiin aku? Kok rasanya Kak Andra udah beda banget…"
Lagi-lagi, keheningan. Lama. Dafa merasakan denyut di pelipisnya. Akhirnya, balasan datang.
"Enggak ada yang gantiin kamu, Daf. Cuma perasaannya… biasa aja."
Perasaannya biasa saja. Kata-kata itu terasa lebih pedih daripada apapun. Dulu, mereka tumbuh bersama dalam kasih sayang dan perhatian yang tak terucapkan. Rasa yang berkembang secara alami, tanpa pernah diungkapkan secara eksplisit, namun jelas dalam sikap. Tapi sekarang? Semuanya terasa hampa.
Dafa menutup mata sejenak, mencoba menahan air matanya. Ia terus mengingat masa-masa dulu, bagaimana kedekatan mereka begitu nyaman, begitu tulus. Mengapa semuanya harus berubah? Perasaan berat di dadanya semakin menumpuk.
Dengan suara serak yang seolah bisa terdengar melalui pesan, Dafa bertanya lagi.
"Apa Kak Andra ada yang deket sekarang?"
Andra butuh waktu lama untuk membalas kali ini. Seakan menimbang-nimbang jawabannya.
"Ada banyak yang deket, tapi bukan seperti yang kamu pikirkan."
Dafa merasakan sesuatu yang menyesakkan dadanya. Ada yang dekat? Apa maksud Andra? Dia harus tahu. Meski hatinya sudah retak, rasa penasaran ini tak bisa diabaikan.
"Hubungannya gimana, Kak? Kok Kak Andra nggak cerita sama aku?" Dafa mencoba lebih dalam. Dia ingin kejelasan.
Andra tak segera menjawab. Dan saat jawabannya datang, itu bukan sesuatu yang diharapkan Dafa.
"Lebih baik kamu fokus sama diri sendiri, Daf. Jangan pikirin orang lain. Kamu kan bisa nulis lagi, buat alihin pikiranmu."
Kalimat itu seperti tamparan di wajah. Mengapa Andra seperti ini? Dulu, dia adalah tempat Dafa bercerita, tempat di mana dia menemukan ketenangan. Sekarang, Andra malah menyuruhnya untuk berhenti memikirkan dirinya, seperti ingin menjauhkan diri dari Dafa.
Tapi Dafa tak mau menyerah. Ada sesuatu yang belum terungkap. Dia terus menekan, meminta Andra jujur. Hingga akhirnya, Andra mengalah.
"Ya, ada seseorang yang lebih dari yang kamu pikir. Tapi itu bukan urusanmu, Daf. Aku nggak mau kamu sakit hati. Tapi, kenyataannya memang begitu."
Mata Dafa panas. Dia menggigit bibirnya, menahan tangis yang kini tak bisa lagi dibendung. Itulah sebabnya Andra berubah. Itulah alasan mengapa Kak Andra tak lagi merespon seperti dulu. Karena ada orang lain—seseorang yang sudah mengisi ruang yang dulu dia tempati.
Akhirnya, percakapan itu diakhiri dengan sepi. Dafa tak sanggup lagi mengetik. Dia hanya duduk diam, memandang kosong ke layar ponselnya yang perlahan meredup.
Malam itu, Dafa mengerti satu hal: perasaan yang dulu pernah tumbuh antara mereka kini telah menjadi bagian dari masa lalu. Dan di malam yang sunyi ini, pada tanggal cantik yang kini terasa pahit, Dafa tahu bahwa hidup harus terus berjalan—meski hati terkadang tertinggal di belakang.