Di sebuah kampung kecil yang tenang, hiduplah seorang pedagang es cendol legendaris bernama Pak Darman. Pria paruh baya ini terkenal bukan hanya karena es cendolnya yang enak, tapi juga karena sifatnya yang humoris. Setiap kali ia mendorong gerobaknya keliling kampung, anak-anak hingga orang dewasa akan keluar dari rumah hanya untuk sekadar mendengarkan celotehannya sambil membeli es cendol.
Gerobak es cendol Pak Darman sangat sederhana. Catnya sudah mulai mengelupas, rodanya berdecit setiap kali bergerak, namun itu semua tak mengurangi pesona dagangannya. Di gerobak itu, terdapat tulisan besar: "Es Cendol Pak Darman, Nikmatnya Bikin Lupa Mantan". Setiap kali orang lewat dan melihat tulisan itu, pasti mereka tersenyum kecil atau bahkan tertawa. Pak Darman memang tahu betul bagaimana menarik perhatian pelanggan.
Suatu pagi yang cerah, Pak Darman mulai berkeliling kampung dengan wajah semringah. Di sepanjang jalan, ia bersiul sambil sesekali berteriak, "Es cendol, es cendol! Seger bikin ketagihan, manis bikin kangen! Awas jangan beli dua, nanti mantan balik lagi!"
Seperti biasa, setiap kali gerobaknya lewat, orang-orang keluar rumah. Ada Ibu Siti, tetangga depan rumah Pak Darman yang terkenal suka ngomel-ngomel.
"Pak Darman! Saya beli satu, tapi jangan pakai banyak gula, nanti saya dimarahin dokter," kata Ibu Siti sambil tergesa-gesa menghampiri.
Pak Darman dengan cekatan mengambil cendokannya, menuangkan cendol hijau kenyal ke dalam gelas plastik, menambahkan santan segar, lalu gula merah cair yang menggoda.
"Tenang, Bu Siti. Ini es cendol diet. Manisnya cuma di hati, di badan nggak nempel," kata Pak Darman sambil tersenyum lebar.
Ibu Siti mendengus, "Awas kamu, Pak Darman! Kalau saya gemuk gara-gara es cendol ini, kamu yang tanggung jawab!"
"Haha, Bu Siti, kalau gemuk artinya makmur, itu mah rejeki," sahut Pak Darman sambil mengedipkan mata.
Setelah Ibu Siti pergi, datanglah segerombolan anak kecil yang langsung menyerbu gerobak Pak Darman.
"Pak Darman! Es cendol! Es cendol!" teriak mereka bersamaan.
"Hati-hati, jangan sampai gerobaknya goyang, nanti es cendolnya tumpah, terus kalian yang basah!" kata Pak Darman sambil mengatur barisan anak-anak itu. Ia memang pintar mengatur anak-anak, mungkin karena ia sering bercanda dengan mereka.
Seorang bocah bernama Ujang, yang terkenal paling usil di kampung, maju paling depan. "Pak Darman, saya mau es cendol pakai es batu segunung!"
Pak Darman mengerutkan dahi, "Segunung? Kamu mau bikin salju di kampung kita, Ujang?"
Ujang tertawa, "Biar adem, Pak. Di rumah panas, nggak ada AC!"
Dengan cepat, Pak Darman menyiapkan segelas es cendol untuk Ujang, tapi es batunya hanya beberapa potong saja.
"Segunung kan mahal, Ujang. Ini es batunya cukup buat kamu biar seger, tapi nggak kebanjiran," kata Pak Darman sambil menyerahkan gelas cendol itu.
Ujang mengambilnya dengan wajah sedikit kecewa tapi tetap tertawa. Anak-anak lain pun mengantre dan mendapat giliran mereka. Setiap anak diberi lelucon oleh Pak Darman yang membuat mereka tertawa terbahak-bahak.
Selesai melayani anak-anak, Pak Darman mendorong gerobaknya lagi menuju lapangan tempat banyak orang dewasa berkumpul. Di sana sudah ada Kang Udin, sahabat lamanya, yang sedang bersantai di bawah pohon besar sambil menghisap rokok.
"Woi, Darman! Sini dulu, gue traktir es cendol!" teriak Kang Udin.
Pak Darman mendekati Kang Udin dengan senyum lebar, "Waduh, jarang-jarang nih loe mau traktir gue. Lagi banyak duit ya, Din?"
Kang Udin tertawa lepas, "Bukan banyak duit, bro, lagi dapet rejeki. Cendolnya satu, tapi tambahin gula merah dua kali lipat. Gue lagi butuh manis-manis."
Pak Darman dengan cekatan menyiapkan es cendol untuk Kang Udin, sambil bercanda, "Kalau loe tambah gula dua kali lipat, Din, ntar loe nggak bisa bedain mana manis cendol, mana manis hutang."
Kang Udin tertawa terbahak-bahak, "Ah, dasar loe, Darman. Loe nih pedagang es cendol paling kocak se-kampung!"
Setelah memberikan es cendol pada Kang Udin, tiba-tiba datang seorang ibu muda, Bu Rina, yang baru pindah ke kampung itu beberapa minggu lalu. Bu Rina terlihat kebingungan sambil memandang gerobak Pak Darman.
"Maaf, Pak. Ini es cendolnya beneran bikin lupa mantan ya?" tanya Bu Rina dengan raut serius.
Pak Darman yang mendengar pertanyaan itu langsung tertawa keras, hampir tersedak, "Hahaha! Kalau mantannya nempel kayak perangko, mungkin susah dilupain, Bu. Tapi es cendol saya ini manjur buat yang pengen move on. Satu gelas aja, nanti Bu Rina langsung lupa nama mantan, eh, tapi ingat nama saya, Darman!"
Bu Rina tersenyum malu-malu, tapi akhirnya memesan juga. Sambil menyerahkan es cendolnya, Pak Darman berkata, "Kalau mantan masih ingat, beli dua kali aja, Bu. Siapa tahu efeknya lebih kuat."
Bu Rina tersenyum lebar, "Terima kasih, Pak. Semoga manjur ya!"
Hari semakin siang, dan Pak Darman melanjutkan perjalanannya mengelilingi kampung. Setiap gang dan sudut jalan, selalu ada yang memanggilnya untuk membeli es cendol dan mendengar celotehannya. Bagi Pak Darman, menjual es cendol bukan sekadar berdagang, tapi juga berbagi tawa dan kebahagiaan.
Di sore hari, saat matahari mulai condong ke barat, Pak Darman menghentikan gerobaknya di pinggir jalan untuk beristirahat. Ia melihat gerobaknya yang sudah hampir kosong, tanda bahwa dagangannya laris manis hari itu. Ia pun tersenyum puas sambil berkata pada dirinya sendiri, "Es cendolnya Pak Darman, bukan cuma manis di mulut, tapi juga manis di hati."
Tak lama kemudian, Ujang kembali datang menghampiri gerobak Pak Darman dengan wajah cemas.
"Pak Darman, ada yang mau ketemu!" katanya sambil terengah-engah.
Pak Darman terkejut, "Siapa yang mau ketemu gue? Jangan-jangan mantan gue yang lupa bayar cendol?"
Ujang tertawa geli, "Bukan, Pak! Ada yang mau ngajak kerja sama!"
Ternyata yang datang adalah seorang pengusaha lokal yang ingin membeli resep es cendol Pak Darman untuk dijual di kafe mewah di kota. Pak Darman hanya tersenyum sambil mengelus gerobaknya, "Terima kasih, Pak. Tapi cendol saya cuma buat warga kampung ini. Di sini, tawa lebih penting daripada untung."
Dan begitulah Pak Darman, sang Raja Gerobak es cendol, yang tak pernah berubah meskipun banyak peluang datang. Baginya, es cendol bukan hanya soal uang, tapi tentang berbagi keceriaan dengan setiap orang yang ditemuinya.
Tamat.