Dimas, seorang pemuda penuh ambisi, telah lama bermimpi menjadi aktor terkenal. Sejak kecil, ia mengidolakan bintang-bintang layar kaca, membayangkan dirinya berada di tengah sorotan lampu panggung, dikelilingi tepuk tangan meriah dari para penonton. Setiap kali ia menonton film atau drama, ada kobaran api dalam hatinya yang semakin besar, membuatnya yakin bahwa panggung dan layar adalah takdirnya.
Ia mulai merintis dari nol, ikut audisi kecil-kecilan di teater lokal, menjadi figuran tanpa nama, dan menjalani latihan keras tanpa henti. Selama bertahun-tahun, Dimas fokus hanya pada satu hal—mimpinya. Ia tak peduli ketika teman-teman mulai menjauh, kecewa karena ia tak lagi hadir dalam pertemuan. Keluarganya pun mulai merasa diabaikan, terlebih saat ia menolak menghadiri perayaan ulang tahun atau hari penting lainnya demi mengikuti audisi atau syuting.
"Cuma ini yang aku inginkan, Ma," ucapnya suatu ketika kepada ibunya yang menangis karena jarangnya ia pulang. "Aku harus kerja keras sekarang, biar nanti kita bisa hidup enak."
Namun, hari-hari itu berlalu dengan cepat. Dimas akhirnya mencapai puncak mimpinya. Namanya mulai dikenal publik. Tawaran peran utama mengalir, penghargaan demi penghargaan diraih. Ia berdiri di atas panggung, menerima piala aktor terbaik dengan gemuruh tepuk tangan yang memekakkan telinga. Tapi saat ia kembali ke apartemennya yang mewah dan luas, tak ada satu pun orang yang menantinya. Kesunyian mengisi setiap sudut ruangan.
Teman-temannya dulu sudah lama pergi. Satu demi satu berhenti menghubunginya, bosan dengan janji-janji pertemuan yang selalu dibatalkan. Kekasihnya, yang selalu mendukung sejak awal, memilih pergi setelah bertahun-tahun merasa diabaikan. Ibunya pun akhirnya menyerah, tak lagi menanyakan kapan Dimas akan pulang.
Kini, ia berdiri di depan cermin, melihat refleksinya yang dikelilingi oleh penghargaan dan poster film dengan namanya terpampang besar. Tapi semua itu tak lagi memberikan kebahagiaan yang ia bayangkan. Sorak sorai penonton terasa hampa, dan kemenangan terasa tanpa makna.
“Untuk apa semua ini kalau aku sendirian?” gumamnya pelan, tanpa ada siapa pun yang mendengarkan.
Dimas akhirnya menyadari bahwa dalam perjalanannya meraih mimpi, ia telah kehilangan hal yang paling berharga: orang-orang yang mencintainya. Dan kini, di puncak kejayaannya, yang tersisa hanyalah kesepian.
Note:kejarlah mimpimu tapi jangan abaikan seseorang disekitar mu..