Ada kalanya semua ingatan itu kembali menyeruak dari dasar kenangan menuju ke permukaan pikiran. Hingga hujan deras di malam ini, membangkitkan ingatan akan masa lalu yang tak pernah lekang oleh waktu.
"Saya ga sudi tinggal dengan kamu, sebaiknya kamu pergi dari sini." Aku mendengarnya dari bilik kamar lain yang bersisian dengan kamar orang tuaku, nyatanya hujan deras di luar sana tak mengganggu pendengaranku.
"Ouh, kamu ngancam saya?" Dengan berani ibuku menjawab, bahkan suaranya terdengar tegas, walau aku tahu, ibuku tengah menahan tangisnya.
"Kamu berani sama saya?" Ayah malah balik bertanya pada ibu.
"Mbak, aku takut," adikku berbisik lirik, dia tidur tepat disampingku, bahkan kini aku memeluk sambil mengelus punggung kecilnya. Dia baru 5 tahun kini, pantas saja takut saat menjadi saksi pertengkaran orang tua kami.
"Udah, ga apa. Tidur aja yuk." Tangan yang semula berada di punggung adikku, kini ku gunakan untuk menutup telinga adikku agar ia tak lagi mendengar pertengkaran mereka.
"Ceraikan saya, dan biarkan saya pergi sendiri, kalau memang kamu ingin saya pergi dari rumah ini." Terdengar lagi jawaban dari ibuku yang kini dengan isak tangis yang tak terbendung lagi.
Ayahku diam, agaknya dia tak bisa memenangkan perdebatan dengan ibu kali ini. Aku lega, akhirnya perdebatan malam ini berakhir.
Aku tak akan ikut campur, karena itu memang urusan mereka berdua. Aku anaknya, tapi mereka perlu menyelesaikannya sendiri untuk saling memahami apa keinginan masing-masing.
Sejujurnya, aku ingin ikut memberi solusi akan permasalahan mereka, tapi perdebatan mereka itu di awali dari hal sepele yang, aku tak paham letak salahnya itu di mana.
Sampai pada akhirnya aku memilih untuk diam, dan melihat sejauh apa mereka beradu kata. Andai lebih dari itu, mungkin aku akan ikut dalam perdebatan itu. Tapi, ayah dan ibuku hanya saling beradu kata, jadi itu lebih menenangkanku.
Pernah suatu hari, kala aku masih berada di taman kanak-kanak. Ayah dan ibuku saling melempar barang yang mudah di pecah.
Aku tak paham bagaimana semua itu bermula, aku tengah bermain tanah di luar rumah untuk kubentuk macam boneka salju dan benda unik lainnya.
Dalam ingatanku terdengar suara piring yang pecah, entah siapa yang melempar, tapi kurasa ayah.
"Ayo, lempar lagi piringnya, cuma piring aja aku bisa beli sendiri." Itu suara ibu, yang terdengar memprovokasi ayah dan benar tak berapa lama suara pecahan piring kembali berderai.
"Kamu bisanya cuma mecahin aja beliin aja ga pernah." Aku penasaran ingin melihat bagaimana aksi pemecahan piring itu, tapi bagiku membentuk tanah ini masih lebih menarik dan aku menahan diri untuk melihatnya.
Tapi aku masih mendengarkan beberapa kali lagi, piring itu pecah, lalu ibuku bilang, "kalo cuma mecahin beling itu saya juga bisa, ini gelas kesukaan kamu saya pecahin ga usah nyariin lagi, gelas ini saya yang beli sendiri."
"Jangan, kalo yang itu jangan." Ayah terdengar melarang ibu untuk membanting gelas itu, tapi ibuku tak menghiraukannya dan tetap membanting gelas itu.
Rasa penasaranku semakin menyeruak, akhirnya aku berlari dari samping rumah menuju pintu dapur, dan kulihat ibu dengan penutup kepala sehabis mandi keramas membawa ember berisi pecahan piring dan gagang gelas keramik.
Agaknya aku sudah terlambat, bahkan ibu telah selesai membersihkan kekacauannya. Aku sedikit menyesal, tapi biarlah itu bukan urusanku.
Aku ingat, ibu pernah berkata ia membanting gelas itu sebanyak 3 kali, tapi karena saking tebal dan kokohnya yang patah hanya gagang gelasnya saja.
Bahkan meski patah, mungkin karena itu gelas kesukaannya ayah tetap memakainya. Sungguh ironis. Semenjak saat itu, ketika marah ayah tak pernah membanting benda mudah pecah lagi. Entah apa penyebabnya, yang pasti barang-barang dalam rumah jadi aman meski mereka tengah bertengkar hebat sekali pun.