Malam itu hujan turun dengan deras, seolah langit memahami perasaan Eunjin yang tengah berantakan. Di dalam kamarnya yang gelap, ia menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Foto itu muncul di hadapannya—sebuah foto yang seakan menghancurkan segala harapan yang selama ini ia genggam. Dia—seseorang yang selama ini Eunjin pikir bisa menjadi miliknya—terlihat tersenyum bahagia bersama gadis lain.
Eunjin selalu membayangkan masa depan yang indah bersama Jaeyun. Setiap langkahnya, setiap ucapannya, selalu penuh dengan perasaan yang ia pendam begitu lama. Ia mengira Jaeyun merasakan hal yang sama. Setiap kebersamaan mereka, canda tawa, bahkan momen-momen kecil yang selalu membuat jantungnya berdebar. Eunjin yakin bahwa ada sesuatu di antara mereka.
Namun, nyatanya semua itu hanya khayalan. "Nyatanya kau dengannya," gumam Eunjin, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan di luar. Dadanya sesak, hatinya seolah hancur berkeping-keping. Harapan yang selama ini ia rajut dengan hati-hati, kini berantakan, berserakan di lantai seperti kaca pecah.
Setiap pesan yang dulu ia terima dari Jaeyun kini terasa hampa. Semua perhatian kecil, senyuman hangat, kini tidak lagi berarti. Jaeyun telah memilih orang lain, dan Eunjin harus menerima kenyataan itu, seberat apapun rasanya. Setiap detik, hatinya menolak untuk berhenti berharap, tetapi semakin lama ia menahan, semakin perih rasa kecewanya.
"Harapan kini hanyalah harapan saja," ucap Eunjin sambil menutup matanya, membiarkan air mata mengalir tanpa hambatan.
Eunjin tahu bahwa cinta tak bisa dipaksakan. Namun, mengucapkan selamat tinggal pada harapan itu jauh lebih sulit daripada yang ia kira. Meski berat, Eunjin menyadari bahwa mungkin inilah saatnya untuk berhenti berharap dan menerima kenyataan bahwa cinta yang ia bayangkan, hanya akan tetap menjadi sebuah harapan.