Ada sebuah lautan yang dalam dalam dan gelap. Segumpal tanah terkutuk yang keras dilempar kesana.
Tanah itu minta tolong dan memohon, tapi tak ada satupun tangan, burung, gunung, atau apapun yang menghalanginya. Hingga jatuhlah tanah itu ke dasar laut.
Permukaan laut itu berangin kencang sedangkan dasarnya dingin dan gelap. Tanah itu tidak terima, dia merasa sedih dan asing. Ada makhluk-makhluk yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
Disana ada berbagai jenis ikan yang bercahaya, kerang, tiram, dan ikan bergigi tajam yang mengerikan.
Dia menanggis, berdo'a, dan memohon agar kembali ketempat dari mana dia dulu berasal. Disini dingin dan gelap. Dia takut.
Satu hari, dua hari hingga berhari-hari air matanya yang berbeda dengan air laut terpisah. Air itu menggumpal dan mengeras. Seperti itulah hari-hari yang dilewati oleh tanah itu.
Lama-kelamaan, gumpalan yang mengeras itu membesar, berbulan hingga bertahun-tahun hingga dia bisa mencapai permukaan.
Sekarang dia merasa asing. Tak ada kegelapan di tempat baru yang dia jumpai. Yang ada hanya udara terbuka dan langit yang sama birunya dengan laut. Dia merasa tak nyaman saat beberapa lumut dan ganggang menempel disana.
Tanah itu sekarang berubah menjadi sebuah batu, padat dan keras yang harus berjuang dengan air laut yang dihempaskan angin. Dia sedih dan menanggis. Air matanya kini tidak seperti dulu. Air itu adalah lawan dari kerasnya dirinya sendiri, setiap kali air matanya menetes tubuhnya melemah dan melembut.
Hal itu terus berlangsung hingga batu yang keras itu ditumbuhi rumput dan semak. Hujan membuat semuanya menjadi semakin tinggi dan besar. Dari kejauhan, burung-burung tersesat pemakan tumbuhan yang kesulitan mendapatkan makanan merasa lega hinggap disana.
Beberapa sarang burung tampak didahan-dahan perdu kecil. Batu keras yang mulai kelelahan itu melembut, bahkan akar tanamanpun bisa menusuknya. Dia bersedih. Apalagi burung-burung itu ribut dan meninggalkan kotoran.
Beberapa ekor elang yang bersarang kehilangan mangsa. Itulah salah satu cara ular dan tikus bisa sampai. Hewan dusana semakin ramai. Sedangkan tanah yang terbentuk semakin meluas karna memendam kemarahan.
Begitulah daratan mulai terbentuk. Pohon-pohonya tumbuh besar dan hewanya semakin beragam. Matahari yang cerah membuat bunga-bunga yang merekah berguguran. Digantikan buah-buahan indah yang ranum. Menjadi tempat bertengger burung, beberapa jenis kera, dan tupai.
Hari demi hari dia meninggi dan terus menjulang keudara. Hingga menembus awan dan menantang badai.
Rasa marah itu membuat sitanah tidak takut lagi, berkali-kali badai laut yang besar berhembus hanya terasa seperti tiupan kecil yang memadamkan lilin. Bahkan petir yang menyambar dia hadapi dengan berani.
Desir dan debur ombak, kicauan burung, suara angin, dedaunan yang bergesek menjadi harmoni sendiri yang mengalun menembus bisingnya laut hinga kedaratan yang jauh.
suatu hari sebuah kapal yang karam terdampar disana. Mereka adalah tamu pertama, manusia-manusia yang akan menyampaikan cerita ke tempat lain.
Mereka makan hewan dan buahnya, minum dari air hujan yang disimpan akar-akar pohonya. Memberi keteduhan dan kenyamanan bagi siapapun yang bernaung di bawahnya, dan memberikan kekaguman pada mereka yang datang melalui kekhasan flora, fauna, bentuk alam, dan segala sesuatunya.
Lama-kelamaan pulau itu menjadi tempat persinggahan dan tumpuan bagi orang-orang. Mereka yang kehabisan bekal, diterjang badai, tersesat, dan yang kebetulan lewat singgah disana.
Berita tentang pulau itu akhirnya sampai keberbagai wilayah. Begitu juga tempat tanah itu dulunya berasal.
Untuk pertama kalinya sipulau menjadi senang, karna mereka yang datang memujinya. Semua penderitaan yang dia alami seakan-akan menguap. Jika si pengunjung bahagia, pulau itu juga bahagia. Jika si pengunjung merasa lega Pulau itu juga meresa lega. Jika kondisi pengunjung disana membaik dia juga merasa baikan. Jika mereka sedih pulau itu juga merasa sedih.
Begitulah si pulau menjalani hari-harinya, dia mendengarkan cerita mereka, menumbuhkan pohonya dan menyaksikan hewan-hewan yang jumlahnya semakin banyak. Seperti bagian, satu dengan yang lain.
Namun, semuanya terus tumbuh seiring dengan berjalanya waktu. Gunung sipulau itu semakin tinggi dan pulau itu semakin besar. Dendam yang tersimpan dibagian bawah pulau itu mendapat tekanan semakin hari semakin besar.
Penghuni pertama, burung-burung pergi. Mereka menyebar berita hingga kemana sayap mereka mungkin mengepak. Membawa kicauan berharap pulang dengan membawa harapan dan pertolongan.
Seperti pegas. Semakin ditekan semakin melonjak. Perasaan gunung itupun menyeruak bersama lelehan air mata dalam bentuk api yang keluar dari daratan yang tertinggi. Memuntahkan lava panas yang membara meski ditengah air sekalipun.
Lelehan panas menyembur dan mengalir. Asap dan debu tertiup angin sampai kemana-mana, batu-batu berterbangan gempa bumi susul menyusul, Lautan disekelilingnya bergoncang dan ombaknya membesar bersama angin. Merambah melewati batas pasang yang biasanya.
Pembebasan perasaan yang terlalu lama terpendam.
Dia marah.
Pulau itu marah.
Menghancurkan kehidupan yang dia bangun dengan air mata.
Mengirim kembali rasa yang sama melalui air ketempatnya dulu berasal.
Dia telah dibuang dalam kegelapan, dan sekarang kembali dengan kemarahan.
Musnah dan berakhir. Tekanan dendam jauh dikedalamam sekarang keluar.
Ikan-ikan mati dan sempoyongan di ngempa bumi yang tering terjadi. Mereka sedih dan sakit. Pulau itu kejam.
Gersang kembali. Kini dia kesepian. Kehidupan telah pergi. Tak ada kicau untuk didengarkan. Taka ada akar pohon yang menancap, tak ada bisik angin didesaunan. Nyanyian pulau itu telah hilang, atau mungkin berakhir.
Dengan sedih, dia kembali menangis angin berhembus membawa haru melewati laut biru. Seakan Do'a yang terjawab, disana lumut mulai tumbuh. Meluluhkan tanah keras dan bebatuan.
Mereka bernapas. Pulau itu bisa measakanya. Berung-burunh kembali datang mematuk-matuk ditanahnya seiring dengan rerumputan yang bertebaran.
"Mereka sedih mendengarmu. Adakah sayup-sayup kau mendengar lara mereka?" Si burung menyampaikan pesan.
"Aku ingin pohon rindang dan sarang yang nyaman." Kata burung yang lain.
"Jika sielang ceroboh, mungkin sementar lagi akan hidup ular dan tikus disini." Kata yang lainya.
Suara mereka, adalah nyanyian hidup. Pulau itu merasa aneh mendengar keinginan mereka.
Pohon-pohon tumbuh lebih cepat dari sebelumnya, hewan-hewan kembali berdatangan. Mereka kembali menjadi tumpuan dan harapan bagi siapapun yang melintasi laut.
Persinggahan yang nyaman.
Dikejauhan, pohon-pohon tumbang dan dan bangunan-bangunan hancur. Dendam telah terkirim dan kemarahan telah tersampaikan. Perasaan lama dari tanah yang dibuang.
Datang bersama ombak, asap panas, batu, demi dan getaran. Dia ditatap dari kejauhan,
Membara, meski ditengah air.
Gema balasan dikirimkan burung-burung yang mengembara pulang. Dia menyuruh agar sipulau berhati-hati. Mereka sakit hati.
Gempa datang dan tsunami terjadi. Sipulau tak ingin lagi apapun yang ada dipermukaanya hilang. Dengan kasih dan sayang dia mengirim pohon bakau untuk bertahan ditepi pantai.
"Jadilah tempat hidup burung-burungku. Akan kudengarkan kicau mereka. Biarkan semua hewan hewanku hidup nyaman. Dan jadilah rumah bagi mereka."
Akhirnya, kehidupan berjalan. Angin, ombak, kicau, gemersik, kembali bernyanyi.
Hutan lebat terjaga, tumbuhan menghijau dan bunga-bunganya kembali merekah. Buah-buahan melimpah, sungai-sunginya berair jernih. Ikan-ikan disana berenang dengan gembira.
Dikejauhan, tempatnya dulu berasal, mereka mengutuk dan menyudahi sipulau. Mereka menuju pantai dan menatap ketengah laut. Tampaklah rimbunan hijau dikejauhan.
Mereka menunduk, tak selamanya segalanya sama.
Kilauan-kilaun berpendar indah. Setelah melewati asap dan debu beracun. Setelah dihujani batu panas dan kerikil, gelombang dan gempa, Ada sesuatu yang tak seharusnya.
Kilauan permata berserakan ditepi pantai. Bersama kerang-kerang yang meratapi kemarahannya.
Bukankah mereka dulu bersama sama didasar laut yang dingin dan gelap?
Permata dan kerang mutiara dikirim sebagai simbol perdamaian peristiwa lama.
Bukan itu saja, mereka menjadi hijau dan subur, ternyata debu yang dulu beracun membawa berkah.
Burung-burung dengan riang gembira terbang kesana. Mengawasi biji-biji mangrove yang mengapung menuju pantai seberang.
Begitulah kisah segumpal tanah kutukan yang menanggis. Memulai kehidupan dari kesedihan.