"Rumah di Ujung Jalan"
Di ujung jalan desa yang sepi, berdiri sebuah rumah tua yang hampir tak terlihat lagi di balik pepohonan besar. Tidak ada yang tahu pasti berapa usia rumah itu, namun penduduk desa selalu mengaitkannya dengan kisah-kisah misterius. Sebagian bilang rumah itu terkutuk, sebagian lain percaya bahwa di dalamnya ada hantu yang tidak pernah pergi. Yang jelas, rumah itu telah lama kosong, dengan pintu yang tertutup rapat dan jendela yang dipenuhi debu tebal.
Arya baru saja pindah ke desa itu bersama keluarganya. Mereka menyewa rumah yang tak jauh dari rumah tua tersebut. Di usia 17 tahun, Arya penuh dengan rasa penasaran dan ketertarikan pada hal-hal yang misterius. Ketika pertama kali melihat rumah tua itu, jantungnya berdetak cepat. Ada sesuatu yang memanggilnya, meskipun ia tidak tahu apa.
Pada suatu sore yang mendung, ketika angin dingin berembus, Arya memutuskan untuk mendekati rumah tua itu. Tidak ada orang di sekitarnya. Semua penduduk desa tampak menghindari rumah itu, seolah-olah ada peringatan tak terlihat untuk menjauh. Arya berdiri di depan pagar besi yang sudah berkarat. Daun-daun gugur berserakan di sekitar halaman, membuat suasana semakin suram.
Dengan hati-hati, Arya mendorong pintu pagar yang berderit keras. Ia melangkah masuk ke halaman rumah yang tak terurus itu, rumputnya sudah tinggi menutupi jalan setapak menuju pintu depan. Semakin dekat ia dengan rumah itu, semakin besar dorongan dalam dirinya untuk masuk.
Pintu depan terbuat dari kayu tebal, terlihat kokoh meskipun sudah usang. Di tengah pintu itu, terdapat sebuah ukiran aneh yang tampak seperti simbol. Arya tidak bisa memahaminya, namun ukiran itu membuatnya merasa tidak nyaman, seolah ada yang mengawasinya. Dengan ragu, ia mengulurkan tangannya ke gagang pintu. Tangannya gemetar sedikit, tapi ia tidak berhenti.
Pintu itu terbuka dengan mudah, tanpa kunci, meski jelas tak pernah disentuh selama bertahun-tahun. Bau lembap dan debu segera menyergap hidungnya. Cahaya yang masuk hanya sedikit, cukup untuk membuatnya melihat interior rumah yang gelap dan kumuh. Furnitur-furnitur tua berserakan, ada kursi goyang di sudut ruangan yang berderit sendiri, meski tidak ada angin.
Arya melangkah masuk dengan hati-hati. Kakinya menginjak lantai kayu yang berderak setiap kali ia bergerak. Semakin jauh ia melangkah ke dalam, semakin berat udara di sekitarnya terasa. Suasana di dalam rumah itu dingin dan mencekam, membuat bulu kuduk Arya berdiri.
Tiba-tiba, dari balik kegelapan, terdengar suara langkah kaki. Arya terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Ia berusaha menenangkan diri, meyakinkan bahwa itu hanya suara rumah tua yang mulai lapuk. Namun, langkah kaki itu terdengar lagi—kali ini lebih jelas, seperti seseorang sedang berjalan mendekatinya.
"Siapa di sana?" Arya memberanikan diri bertanya, meski suaranya bergetar. Tidak ada jawaban.
Ia menyorotkan senter yang dibawanya ke arah suara. Senter itu hanya menyorot bayangan yang bergetar di dinding, bayangan itu tampak terlalu besar untuk menjadi bayangannya sendiri. Arya memutar tubuhnya, mengarahkan cahaya ke setiap sudut, namun tidak ada siapa-siapa.
Langkah kaki itu semakin mendekat, sekarang terdengar dari belakangnya. Arya membalikkan badan dengan cepat, namun yang ia lihat hanyalah ruangan kosong dengan kursi goyang yang bergetar pelan. Hatinya mulai diliputi ketakutan yang luar biasa.
Ia memutuskan untuk segera keluar dari rumah itu. Namun sebelum sempat melangkah lebih jauh, sesuatu yang dingin menyentuh lehernya. Seperti angin dingin, namun lebih tajam, seolah ada tangan tak terlihat yang mencoba meraihnya. Arya melompat mundur, mencoba menghindari sentuhan itu. Nafasnya memburu, pikirannya kacau.
"Keluar," bisikan itu terdengar pelan, namun jelas di telinganya. Suara itu terdengar dekat, sangat dekat, seolah ada seseorang yang berbisik di belakang lehernya.
Arya panik. Ia berlari menuju pintu depan, namun pintu itu tiba-tiba tertutup dengan keras, menghentak lantai. Arya menarik-narik gagangnya, namun pintu itu tak mau terbuka. Jantungnya berdetak kencang, keringat dingin membasahi dahinya. Ia mencoba menendang pintu, namun tidak bergeming.
Dari sudut matanya, ia melihat bayangan bergerak cepat, melintas di sepanjang lorong. Bayangan itu semakin besar, semakin jelas, mendekat ke arahnya. Arya memutar tubuhnya dan di hadapannya berdiri sosok wanita dengan gaun putih kusam. Wajahnya tertutup oleh rambut panjang yang menjuntai, namun tubuhnya melayang beberapa sentimeter di atas tanah. Wanita itu mendekat dengan perlahan, sementara suara langkah kaki masih terdengar, meskipun kaki wanita itu tidak menyentuh lantai.
Arya membeku. Ia ingin berteriak, namun suaranya tercekat di tenggorokan. Wanita itu terus mendekat, sementara tubuhnya terasa semakin berat, seolah ada sesuatu yang menahannya di tempat.
"Keluar..." bisik wanita itu lagi, kali ini lebih jelas.
Akhirnya, Arya berhasil memaksa kakinya bergerak. Ia berlari menuju pintu belakang yang belum ia lihat sebelumnya. Ia berlari sekuat tenaga, tak peduli pada perabot yang ia tabrak atau suara aneh yang terus menggema di sekitarnya.
Dengan satu hentakan kuat, ia membuka pintu belakang dan berlari keluar, terjatuh di halaman belakang yang dipenuhi semak-semak. Ia berlari tanpa menoleh ke belakang, keluar dari rumah itu, keluar dari halaman, sampai ke jalan utama. Nafasnya tersengal, kakinya lemas, namun ia tidak berhenti sampai tiba di rumahnya sendiri.
Keesokan harinya, Arya menceritakan kejadian itu kepada penduduk desa. Namun, mereka hanya menggelengkan kepala dan berkata, "Kau seharusnya tidak masuk ke sana. Rumah itu pernah ditinggali seorang wanita yang meninggal karena duka mendalam. Mereka bilang arwahnya masih di sana, menjaga rumah itu... dan mengusir siapa pun yang mencoba masuk."
Arya merinding mendengar kisah itu. Kini ia mengerti, rumah tua di ujung jalan itu lebih dari sekadar bangunan kosong—ia adalah penjara bagi jiwa yang tak tenang, yang akan selalu memanggil, namun tak pernah ingin dijamah.
---