“Di Balik Pintu Tua”
Alya memandang pintu tua di depan matanya dengan rasa penasaran yang tak terelakkan. Pintu kayu itu tampak seperti sudah berumur puluhan, mungkin ratusan tahun. Warnanya memudar, dengan cat yang mengelupas di beberapa bagian. Di tengah pintu, terdapat ukiran-ukiran rumit yang tidak biasa—seolah menggambarkan sebuah kisah yang ingin disampaikan, namun hanya bisa dimengerti oleh mereka yang tahu.
Sudah tiga hari Alya berada di rumah warisan kakeknya yang berada di pinggir desa. Rumah itu besar, penuh dengan benda-benda antik yang menggugah rasa ingin tahunya. Namun, dari semua sudut rumah yang telah ia jelajahi, pintu tua di bagian belakang adalah yang paling membuatnya gelisah. Tak ada yang tahu ke mana pintu itu mengarah. Kakeknya, sebelum meninggal, tidak pernah menyebutnya. Bahkan paman dan bibinya yang dulu tinggal di rumah itu pun tidak tahu ada pintu seperti itu.
“Alya, kamu sudah makan siang?” suara ibunya memecah lamunan.
“Iya, Bu,” jawab Alya sambil mengalihkan pandangannya dari pintu.
“Kamu jangan terlalu lama di belakang, nanti sakit. Anginnya dingin.”
Alya mengangguk, meski sebenarnya ia tak merasa kedinginan. Ada sesuatu dari pintu itu yang memanggilnya—seperti rahasia lama yang terkubur di baliknya. Mungkin hanya ruang penyimpanan, pikir Alya. Namun, bagian dari dirinya terus mendorong untuk membuka pintu itu dan melihat apa yang ada di sana.
Hari itu, Alya memutuskan bahwa ia tidak bisa terus menunda rasa penasarannya. Setelah ibunya pergi ke pasar dan rumah menjadi sunyi, ia berdiri lagi di depan pintu tua itu. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Dengan tangan sedikit gemetar, ia mencoba memutar gagang pintu. Awalnya keras, seperti terkunci. Namun setelah sedikit usaha, gagang itu akhirnya berputar dengan pelan, disertai suara berdecit pelan dari engsel yang sudah berkarat.
Pintu terbuka.
Di balik pintu itu, tampak sebuah tangga yang menurun ke bawah tanah. Udara dingin menerpa wajah Alya, membuatnya merinding. Ia tak menyangka ada ruang bawah tanah di rumah ini. Tidak ada yang pernah menyebut tentang keberadaan tangga ini.
Alya mengambil senter kecil dari sakunya, menghidupkannya, lalu perlahan mulai menuruni tangga. Suara langkah kakinya bergema dalam kesunyian. Tangga itu terbuat dari batu, lembap dan sedikit licin. Semakin jauh ia turun, semakin suram suasana yang ia rasakan. Rasa takut mulai menjalari tubuhnya, namun rasa ingin tahu lebih besar daripada ketakutannya.
Setelah beberapa menit, ia sampai di dasar tangga. Di depannya ada ruangan yang luas, dengan langit-langit rendah dan dinding yang terbuat dari batu tua. Cahaya senter Alya menyorot ke sekeliling, mengungkapkan deretan rak kayu yang penuh dengan buku-buku usang dan benda-benda antik lainnya. Beberapa peti kayu besar tersimpan di sudut ruangan, tertutup debu.
Alya mendekati rak buku dan menarik salah satu buku yang terlihat lebih tebal. Sampulnya terbuat dari kulit, dengan simbol-simbol aneh diukir di atasnya. Judulnya ditulis dalam bahasa yang asing baginya. Ia membuka buku itu dan menemukan halaman-halaman yang penuh dengan tulisan tangan. Tulisan itu indah, namun tidak terbaca. Mungkin ini bahasa kuno, pikirnya.
Tiba-tiba, senter Alya berkedip-kedip, sebelum akhirnya mati. Ruangan itu tenggelam dalam kegelapan total. Alya terdiam sejenak, merasakan desakan panik naik dari dalam dirinya. Ia mencoba menekan tombol senter, namun senter itu tetap mati.
"Tenang, Alya. Ini cuma gelap," ia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Namun, dalam kegelapan, ia mulai mendengar suara yang tidak biasa. Seperti bisikan—halus, hampir tidak terdengar, namun cukup jelas untuk membuat bulu kuduknya berdiri. Suara itu seolah berasal dari sekelilingnya, memenuhi ruangan yang kini hanya diliputi kegelapan.
Alya mundur perlahan, mencari tangga dengan meraba dinding di sekitarnya. Namun, entah bagaimana, dinding yang tadi ia sentuh tak lagi terasa. Ia terus berjalan, namun tidak juga menemukan tangga yang tadi dilaluinya. Rasa takutnya semakin membesar.
"Lihat... dengar... kami di sini," suara itu semakin jelas, membungkusnya dalam keheningan yang mencekam. Alya membeku. Ia tahu ia harus keluar dari ruangan ini, tapi pintu menuju tangga seolah hilang.
Tiba-tiba, lampu senter menyala kembali dengan sendirinya, menyorotkan cahaya lemah ke sekitar. Dalam cahaya itu, Alya melihat sebuah bayangan besar berdiri tak jauh darinya. Bayangan itu memiliki bentuk manusia, namun tak memiliki wajah. Tubuhnya tinggi dan tampak melayang di atas lantai. Alya menahan napas, kakinya lemas.
"Selesaikan yang mereka mulai," suara itu terdengar, kali ini lebih jelas, langsung dari sosok di depannya.
Tanpa berpikir panjang, Alya berlari. Ia berlari ke arah di mana ia merasa tangga berada, dan tiba-tiba, di tengah kegelapan, tangga itu kembali terlihat. Ia memanjatnya secepat mungkin, tak peduli pada kelelahan atau rasa takut yang menggigit tulangnya.
Ketika akhirnya sampai di atas, Alya membanting pintu kayu itu dengan keras, dan suara berdecit nyaring terdengar. Nafasnya tersengal-sengal. Ia memegang gagang pintu, memastikan pintu tetap tertutup rapat.
Rumah itu kini sunyi kembali, seolah tak pernah ada yang terjadi. Namun Alya tahu, di balik pintu tua itu, ada sesuatu yang lebih dari sekadar rahasia. Ada misteri yang seharusnya tidak pernah dibuka.
█▀ █▄░█ █▀▄
█▀ █░▀█ █░█
▀▀ ▀░░▀ ▀▀░
---