Pada Oktober 2017, gadis cantik bernama Intan Claudya, ia adalah anak nila atau indigo. Hampir semua teman-temannya tidak banyak mengetahui, bahwa Intan dapat melihat dan berbicara pada makhluk yang tak kasat mata. Hanya Reka, teman laki-lakinya yang mengetahui keadaan fenomena supranatural yang terjadi pada gadis itu. Dari situlah cinta Intan tumbuh pada Reka.
Kedua orang tua Intan, sejak Intan kecil hingga dewasa, tidak begitu memperhatikan keadaan putrinya yang memiliki mata ketiga atau biasa disebut dengan indera keenam. Pada kala itu juga, Intan bergabung dengan komunitas besar supranatural yang tidak sedikit kalangan indigo pun berada di sana.
Reka pun berniat mengeluarkan Intan dari sana, dengan dalih para pembimbing mereka di bawah kekuasan kaum jin berasal dari lautan dan daratan.
Setelah Intan mengetahui hal itu, perubahan sikapnya terlihat jelas oleh para pembimbingnya. Seminggu kemudian, Intan keluar dari komunitas tersebut, hingga terjadi perselisihan dan perkelahian antara dirinya dan indigo-indigo lainnya.
***
Lastri, mudah-mudahan Intan betah tinggal sama kamu di Jogja. Di Jakarta aku kuliahkan malah tiap hari berantem terus bareng temannya," ucap lelaki setengah baya itu.
Siapa itu namanya, Bu?" sambung Pak Hendro sambil melengos kepada wanita setengah baya di sampingnya.
"Reka, Pak!" sahut ibu Intan cepat.
"Bukan Reka, Pak! Justru Reka itu yang menolong Intan waktu itu," potong Intan ikut bicara.
"Sudah salah, masih saja ngeyel. Duh, gusti ... gusti! Mau jadi apa anak ini?" ucap Ibu Intan lirih.
"Sudah-sudah, Mas, Mbakyu, tenang saja! Biar Intan tinggal sama aku di sini," ucap Bude Lastri melerai.
"Ya, sudah. Kamu urus dia, Lastri. Aku dan Mbakyumu mau kembali lagi ke Kalimantan. Masih ada kesibukan di sana yang belum selesai." Pak Hendro berdiri dari tempat duduknya, kemudian menarik lengan Intan ke depan teras dan mengajak putrinya itu bicara.
***
Tidak terasa Intan di Jogja sudah lima bulan tinggal bersama Budenya. Ketika itu tepat pukul 01.00. malam, Intan menelepon Reka berkali-kali dengan keadaan panik.
[Halo, Sayang! Tolongin aku!]
[Memangnya ada apa, sih?]
[Ada perempuan sedang perhatikan aku terus, dari tadi di luar jendela!]
[Lho! Maksud kamu bagaimana? Dia itu manusia atau bukan?]
[Ikhh! Dia bukan manusia.]
[Sebentar aku cek, Sayang.] Kemudian Reka memusatkan konsentrasinya dengan mata dipejamkan. Ia coba mempertajam pengelihatan jarak jauh.
[Bagaimana, Sayang? Siapa wanita itu?]
[Mungkin itu penunggu pohon jambu di halaman rumah Bude kamu, deh, Sayang!]
[Ikh..! Aku takut banget. Dia ganggu aku terus setiap malam di kamar. Usir dia, Sayang. Kamu bisa, 'kan?]
[Nanti kamu baca doa yang aku kirim lewat chat, ya.]
Ketika Intan membaca doa yang diberikan oleh Reka. Sosok wanita cantik itu mulai kepanasan, hingga tubuhnya tersurut beberapa jarak, tidak berani mendekat. Akan tetapi, peristiwa itu tidak berlanjut lama.
"Ya, Tuhan! Kenapa dia mulai mendekat? Aku tidak bisa menghafal doanya." Wajah Intan memucat ketakutan, tubuhnya mulai bergidik gemetaran disertai basah keringat yang mulai bercucuran.
Kemudian, Intan cepat-cepat menelepon Reka kembali, [Halo, Sayang ... Reka, Kaaa!]
[Iya, Halo!]
[Sosok perempuan itu sudah mulai masuk ke kamarku. Cepat kamu–] Tiba-tiba sambungan telepon Intan terputus begitu saja.
Aku harus cepat. Sosok itu pasti sangat jahat. Reka membatin.
Lantas saja Reka duduk di kamarnya dengan tangan diletakkan di atas kedua lututnya dan punggung ditegapkan. Konsentrasi ia pusatkan penuh lurus ke depan.
Tak lama, tubuh halus Reka pun keluar dari raganya dan berkelebat cepat bagai mengendari angin. Sekejap mata Reka sudah berada di kamar Intan. Wajahnya menatap garang kepada sosok cantik berpakaian adat Jawa di depannya. Makhluk itu membalas dengan seringaian senyum begitu mengerikan. Siapa pun yang melihatnya pasti akan lari terkencing-kencing.
"Pergi dari sini dan jangan ganggu dia!" Makhluk itu tidak membalas.
Dengan gerakan cepat, sosok wanita cantik itu mengangkat tangannya lurus ke depan. Tiba-tiba mengeluarkan sebuah kekuatan daya magis dan menghantam tubuh Reka. Reka terdorong begitu kuat, tubuhnya terbentur dinding kamar, lalu cepat-cepat ia bangkit.
"Grrrr ...!" Sosok wanita itu menggeram, lantas ia menghentakkan kembali tangannya ke arah Reka.
Wusssshh ...!
Buuuk ...! Kembali Reka terpental keras, hingga dari sudut bibirnya mengeluarkan darah.
"Hoeek ...! Puiih! Ternyata makhluk itu benar-benar jahat!" Reka memegang dadanya yang terasa panas.
Kemudian, Reka menyeka darah yang terus keluar dari mulutnya dan membacakan sebuah doa pada makhluk itu.
"Allaahumma indakhola fii shuroti Sulaimana." Reka meneruskan bacaan doanya di dalam hati.
Tak lama, dari tangan Reka mengeluarkan sinar putih yang menyilaukan mata, lalu menghantam keras tubuh sosok wanita itu.
Wuuuut, wuuuut, wuuuut...!
"Aakh ...!" Sosok wanita cantik itu tiba-tiba kepanasan dan tubuhnya hampir saja terbakar. Dengan gerakan cepat, kemudian ia melesat tinggi ke angkasa.
"Syukurlah, makhluk itu sudah pergi. Mudah-mudahan saja dia enggak kembali lagi menggangu Intan." Reka menoleh ke arah Intan yang sudah tertidur lima jam yang lalu dari perkelahian Reka dengan makhluk itu.
Pada saat itu, memang Intan tidak dapat melihat Reka yang berada di kamarnya bertarung dengan makhluk tersebut.
Keesokan harinya, Intan menghubungi Reka kembali. Intan menceritakan bahwa sosok wanita itu tidak lagi mewujudkan dirinya di halaman rumah maupun di dalam kamarnya.
[Sayang, seminggu lagi aku mau ke Jakarta.]
[Oh, ya! Mau ngapain kamu ke Jakarta?]
[Mau ke rumah mbaku yang ada di Jakarta. Bosanlah aku di Jogja terus, Sayang.]
[Oh, begitu.]
[Hiih! Kok, responnya cuma begitu! Memangnya kamu enggak kangen sama aku?]
[Ha ha ha, ngambek? Iya, iya kangen, dong.]
[Pokoknya orang yang pertama kali aku lihat itu kamu, kalau sudah sampai di Jakarta!]
Beberapa hari kemudian, Intan pun terbang dari Bandara Adisutjipto menuju Bandara Soekarno-Hatta. Intan dijemput oleh Mbak Yuni, kakak Intan. Mbak Yuni memberi peringatan pada Intan, bahwa ia tidak diizinkan untuk pergi ke mana pun di kota Jakarta.
Berselang tiga hari Intan di Jakarta, ia mulai bosan dan perasaan hatinya tidak sanggup lagi menahan rindu untuk bertemu Reka, lelaki pujaan hatinya itu.
Pada malam hari, entah mengapa kegelisahan hatinya begitu kuat dan bertambah menggebu-gebu. Rasa rindu terasa agak aneh dalam tubuhnya. Seperti bukan hanya dirinya saja yang menahan rindu, tetapi seperti ada makhluk lain yang merasakan hal yang sama.
"Hei ... siapa kamu? Aku tahu kamu yang bicara! Tampakkan wujudmu!" sentak Intan keras karena dadanya semakin lama terasa sulit bernapas.
"Hik ... hik ... hik! Aku berada di dalam tubuhmu. Cepatlah temui Reka karena aku pun tersiksa menahan rindu!"
"Kamu siapa? Keluarlah dari tubuhku!"
Kemudian, di hadapan Intan telah berdiri sosok wanita cantik berpakaian adat Jawa. Wajahnya tidak pucat seperti makhluk halus lainnya. Mungkin jika orang lain yang melihatnya sangat sulit membedakan, wanita tersebut manusia atau sosok jin. Kemudian yang membuat aneh lagi, tubuhnya dapat disentuh. Kedua kakinya pun sempurna menjejak lantai.
"Namaku Citra Kara. Sejak Reka menundukkan diriku, aku mulai mencintainya dan aku tidak ingin siapa pun memisahkan kami."
Malam ini juga aku harus cepat-cepat hubungi Reka. Begitu tiba-tiba Intan membatin.
[Halo, Sayang. Kapan kita bisa ketemuan?]
[Hmm ... kapan, ya, kira-kira?]
[Aku serius, Sayang. Jujur aku kangen banget sama kamu, tapi ....]
[Tapi, kenapa, Intan? Suara kamu, kok, kendengarannya aneh, ya?]
[Iya, sebagian tadi yang bicara Citra Kara. Tolong aku, Sayang. Dia juga kepingin banget bertemu sama kamu.]
Benar saja ada makhluk lain yang ikut bicara! gumam Reka di hatinya.
[Hei ... keluar dari tubuh Intan! Kami tidak menganggu kamu. Jangan coba memaksa aku berbuat kejam!] sentak Reka.
[Temui aku dan Intan, jika kamu sangat mencintainya ] Panggilan Reka tiba-tiba terputus. Dia berusaha menghubungi Intan berkali-kali, tetapi ponselnya sudah tidak aktif lagi.
Keesokan harinya, Intan meminta izin kepada Mbak Yuni untuk menemui Reka, walaupun Mbak Yuni telah diberi amanah kepada kedua orang tuanya agar Intan tidak diizinkan berhubungan dengan Reka ataupun bertemu dengannya.
Intan terus memohon kepada Mbak Yuni, hingga pada akhirnya ia diperbolehkan menemui Reka. Jam empat sore Reka sampai di stasiun. Mereka pun saling berpelukan layakmya dua insan yang terpisah dalam waktu cukup panjang.
"Kamu kok tambah ganteng saja, Ka." Intan merebahkan kepalanya di pundak kiri Reka.
"Oh, jelas sangat diakui itu!"
"Huuuh! Ka, makan, yuk! Sudah lama, 'kan, kita enggak makan bareng! Kangen aku, tuh disuapin kamu, kata Intan sambil melempar senyum termanisnya pada Reka.
"Ciyeee! Horror girl-ku, ayo, kita makan!"
Intan dan Reka pun menyantap makanan begitu lahapnya. Sesekali mereka bercanda hingga membuat pengunjung di warung makan itu merasa iri dengan keceriaan mereka berdua.
"Oh, iya aku baru ingat. Ke mana makhluk itu, Sayang?"
"Ada, tapi dia sedikit agak menjauh dari kamu."
"Kenapa?" tanya Reka datar.
"Dia itu mencintai kamu, Ka! Tapi yang buat aku tambah kesal, dia enggak berani berhadapan sama kamu!"
"Gila!"
Langit mulai terlihat gelap, lantas saja Reka menyuruh Intan kembali ke rumah Mbak Yuni. Namun, Intan menolak dan memaksa ke rumah Reka. Kemudian, Reka pun menuruti kemauan Intan karena ia hafal betul Intan sulit diatur dan ada yang sangat tidak disukai Reka pada diri Intan.
Sesampainya di rumah Reka, tiba-tiba hujan deras. Intan pun disuruh menginap oleh kedua orang tua Reka. Namun, ketika siang harinya, Reka terlibat percakapan yang terlihat serius antara seorang Ibu dan anak.
"Ka, Ibu mau tanya. Apa kamu serius mau menjadikan Intan sebagai pendamping hidup kamu nanti?"
"Belum tahu juga, Bu. Memangnya kenapa, tiba-tiba Ibu ngomong begitu?"
"Ibu tahu Intan itu cantik dan anak seorang pejabat. Tapi, jujur Ibu enggak bisa memberi kamu restu. Kalau kamu suatu hari nanti menikah dengan Intan."
"Aku belum mau menikah, Bu. Aku masih ingin selalu ada buat Ibu."
"Bukan Ibu melarang kamu untuk menikah, Reka! Tapi, Ibu enggak mau kalau Intan enggak bisa perhatian sama kamu dan enggak bisa mengurusi kamu sebagai suaminya nanti."
"Maksud Ibu?"
"Apa kamu sedikit pun enggak perhatikan Intan?"
"Ibu perhatikan cuma handphone saja yang ia pegang. Sedikitpun Ibu enggak melihat kalau Intan bisa mandiri sebagai seorang perempuan."
"Oh, jadi karena Ibu melihat Intan itu perempuan pemalas. Terus, apa lagi yang Ibu lihat dari Intan?"
"Satu lagi!"
"Apa ...?"
"Intan, sering bicara sendiri. Itu salah satunya yang Ibu enggak suka!"
"Terus, mau Ibu bagaimana?"
"Putuskan hubungan kamu!"
"Cuma karena itu, Bu?"
"Ayah kamu juga, kurang menyukai Intan!" Mendengar perkataan ibunya. Hati Reka bagai terhantam Palu Godam yang hancur berkeping-berkeping. Cinta yang selama ini ia rajut bersama Intan harus lenyap begitu saja tersapu angin.
"Intan, sudah sore. Aku harus antar kamu ke stasiun."
"Hm, oke, Sayang. Takut turun hujan lagi, terus disuruh nginap lagi sama Ibu kamu."
Setelah berpamitan dengan Ibu Reka, Intan merasa ada yang aneh dengan sikap Reka. Reka lebih banyak diam dan tidak ceria seperti biasanya.
"Aku merasakan, sepertinya kamu sedang ada masalah, Ka."
"Enggak ada apa-apa. Mungkin sinyal radar batin kamu lagi enggak berfungsi dengan baik."
"Kalau enggak ada apa-apa? Kenapa 'dia' begitu marah sama aku?"
"Siapa maksud kamu, 'dia'?"
"Makhluk yang juga mencintai kamu, yang ada di dalam tubuhku!" sentak Intan terdengar keras tiba-tiba.
"Aku tidak ingin berpisah denganmu, Reka!" Tiba-tiba suara Intan terdengar berat.
"Kalau kamu mengganggu dan mencoba mencelakakan Intan, aku enggak akan segan-segan membakar kamu!" sentak Reka pada sosok wanita yang berada di tubuh Intan.
Tak lama, Intan mulai sadar dan dapat mengendalikan dirinya.
"Nama sosok wanita yang ada di dalam tubuhku, Citra Kara. Kenapa dia bilang enggak mau berpisah dengan kamu?"
"Intan, dengerin aku! Coba kamu berpikir sehat sedikit! Masa' iya aku menerima cinta makhluk halus?"
Setelah berkata seperti itu, Reka pun mengantar Intan sampai stasiun. Sore itu, genggaman tangan Intan pada Reka, seakan tak ingin terlepas. Reka mencoba menghibur perasaan Intan yang penuh kegelisahan.
"Nih, kebetulan tinggal dua." Reka menyodorkan permen lolipop pada Intan, setelah ia membukakan bungkusnya.
Intan tersenyum manis. Baginya, Reka adalah sosok laki-laki yang sangat mencintainya dan menyayanginya sepenuh hati. Namun, hatinya menangkap hal yang lain, bahwa ia mendapatkan permen lolipop dari Reka seakan untuk terakhir kalinya.
Keesokan harinya, Reka memberi kabar pada Intan agar segera menguasai sebuah doa yang pernah ia berikan.
Di lain itu juga, Reka memberitahukan pada Intan bahwa hubungannya tidak dapat ia lanjutkan kembali. Mendengar penjelasan Reka yang tidak cukup beralasan, membuat hati Intan semakin bersedih.
Sampai berjalan dua bulan, Intan masih saja menangisi atas kehilangan Reka. Sampai pada akhirnya pun, Reka tidak pernah memberitahu Intan, tentang semua yang dikatakan ibunya tentang dirinya. []
Jangan lupa follow 😉