Seringkali dia datang sendiri, lalu duduk di pinggir sungai. Terkadang mendung, bahkan hujan sekalipun, orang itu masih saja datang. Dia pria gondrong dengan kacamata hitam. Selalu mengepul asap selagi memandang jauh danau yang tersapu angin.
Memang benar dia selalu datang, tetapi beberapa hari terakhir asapnya tidak kelihatan. Hadi bilang kepadaku kalau gondrong itu sedang ada masalah. Aku tidak bertanya kenapa itu terjadi. Hadi tiba-tiba saja berkata seperti itu.
Hadi dan Aku sudah sering memancing di danau. Kami berdua tidak secara langsung berkenalan dengan gondrong itu. Hanya saja rasanya sudah akrab di mata. Tidak ada hari tanpa gondrong berkaca-mata hitam dengan dua bocah mancing di danau biru ini. Bahkan guru bahasa indonesia kami sudah hapal wajah kami bertiga.
Bu Nia, guru bahasa Indonesia, sering lewat jalan ini kalau pulang. Soalnya rumahnya tidak jauh dari danau. Suatu waktu, Bu Nia menegur kami karena bolos pelajarannya. Tentu saja Hadi dan Aku cengengesan mendengar tegurannya.
"Kalian jangan bolos lagi ya, jangan kaya orang itu." Bu Nia kemudian berpaling dari kami tanpa menunjuk siapa gerangan 'orang itu'.
Hadi langsung paham siapa yang dimaksud. Sedangkan aku masih bingung sampai dua hari setelah kejadian itu. Hadi bilang orang yang selalu duduk di pinggir danau setiap sore, "ternyata pria gondrong itu," kataku.
Hadi bercerita soal masalah yang menimpa pria gondrong. Dia tahu juga kabar orang yang belum pernah bicara dengan kami bisa jarang datang lagi. Hadi memang tidak suka belajar, tetapi dia punya kepekaan ketika melihat suatu hal yang disembunyikan. Tidak heran dia tahu sejauh ini.
"Pria gondrong itu selalu datang setiap sore. Pakai kacamata hitam kemudian merokok sampai matahari tenggelam. Kau tahu apa yang aneh dari orang itu?"
"Dia bahkan datang saat hujan, 'kan?"
"Iya?"
"Nah, itu dia, sampai segitunya."
Aku tidak paham maksud Hadi ini. Apa gerangan hubungan hujan dengan absennya pria gondrong itu?
"Hujan buat dia sakit sampai tidak datang sekarang, ya?"
Memang hujan turun pekan lalu, mungkin saja gara-gara itu dia sakit. Tetapi, Hadi menepuk jidat.
"Bukan, bukan itu."
"Terus?"
Hadi tertawa mengatakan alasannya, "cintanya ketolak, haha..."
"Loh, sama siapa?"
"Sebelum dia tidak kelihatan, gondrong lagi sama bu Nia."
"Wah, berita besar ini."
"Terus?"
"Saat keduanya lagi bicara di depan warteg bu Muli, tiba-tiba bu Nia buang muka. Gondrong itu langsung bakar asapnya!"
"Haha, bisa aja gondrong."
Setelah cerita Hadi itu kudengar, keesokan harinya gondrong itu datang kembali. Aku yang sedang memancing tiba-tiba teringat cerita Hadi itu. Setiap mataku melirik ke arahnya, tawaku berusaha lepas dari mulut. Aku kemudian pergi ke balik ruko pak Jono. Tertawa membayangkan gondrong yang berusaha keren itu mati gaya.
Saat aku kembali, mataku tidak percaya. "Gondrong itu duduk bersama bu Nia!" Aku perhatikan keduanya sampai Hadi datang. Dia juga tidak percaya melihat itu.
"Loh, kok bisa?"
"Entah, apa gerangan bu Nia balik kanan."
Kami berdua perhatikan kalau setiap sore, Bu Nia dan Gondrong itu saling bicara. Kemudian di akhir semester kelas dua SMP, tiba-tiba saja bu Nia mengundang kami ke kondangannya yang tidak jauh dari danau biru itu.