Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan lebat, terdapat sebuah rumah tua yang sudah lama ditinggalkan. Rumah itu dikenal sebagai “Rumah Sihir” oleh penduduk desa. Konon, pemiliknya adalah seorang dukun yang memiliki kemampuan luar biasa, namun juga mengundang malapetaka bagi siapa pun yang berani memasuki tempatnya.
Malam itu, sekelompok pemuda memutuskan untuk membuktikan kebenaran cerita-cerita yang beredar tentang rumah tersebut. Mereka adalah Rian, Dika, Sari, dan Lila. Dengan berbekal senter dan keberanian, mereka berangkat menuju rumah tua yang terletak di ujung desa.
Saat mereka tiba, suasana di sekitar rumah terasa aneh. Bulan purnama memancarkan cahaya yang suram, menyoroti retakan di dinding rumah dan pintu yang terkatup rapat. Rian, yang paling berani di antara mereka, mendorong pintu kayu yang berdecit itu, dan pintu terbuka perlahan. Angin dingin menyambut mereka, membawa aroma lembap dan bau busuk yang menusuk hidung.
“Yuk, kita masuk!” seru Rian penuh semangat.
Di dalam, suasana terasa lebih mencekam. Debu menempel di setiap sudut, dan jaring laba-laba menggantung di langit-langit. Lila, yang sedikit ketakutan, memegang lengan Dika erat-erat. Sari berusaha menghibur temannya, “Ayo, ini cuma rumah tua. Kita hanya perlu melihat dan pergi.”
Mereka melangkah lebih dalam, menjelajahi ruang tamu yang gelap dan berdebu. Tiba-tiba, Dika menemukan sebuah buku tua di atas meja. “Lihat ini!” teriaknya, sambil membuka buku itu. Halaman-halaman penuh dengan tulisan tangan yang tidak bisa mereka baca.
“Jangan dibaca, Dika! Itu bisa jadi kutukan!” seru Lila, panik.
Tapi Dika mengabaikan peringatan itu dan mulai membacakan beberapa kalimat. Suara Dika yang penuh rasa ingin tahu itu, tiba-tiba terhenti ketika lampu senter mereka berkedip-kedip sebelum akhirnya mati. Suasana semakin mencekam, dan mereka terpaksa mengandalkan cahaya bulan yang masuk melalui jendela.
“Ini tidak lucu lagi,” bisik Sari, wajahnya pucat.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari lantai atas. Mereka saling pandang dengan ketakutan. “Siapa itu?” tanya Rian, suaranya bergetar.
“Mungkin hanya suara angin,” jawab Dika, berusaha menenangkan. Namun, Rian tidak yakin. “Kita harus cek.”
Dengan pelan, mereka naik ke tangga yang berderit. Setiap langkah terasa berat, seakan rumah itu menahan mereka. Di atas, mereka menemukan sebuah koridor panjang dengan beberapa pintu yang tertutup rapat.
“Yang mana kita buka?” tanya Lila, suaranya hampir berbisik.
Rian mengangkat senter, menerangi satu pintu di ujung koridor. “Kita coba yang itu,” katanya, dan tanpa menunggu persetujuan, ia mendorong pintu itu. Pintu terbuka dengan suara berdecit, mengungkapkan sebuah kamar yang gelap.
Di dalam, mereka menemukan sebuah cermin besar yang terpasang di dinding. Cermin itu memantulkan wajah mereka dengan jelas, namun ada sesuatu yang aneh. Bayangan di belakang mereka tampak bergerak meskipun mereka tidak menggerakkan tubuh.
“Eh, kalian lihat itu?” Dika menunjuk ke cermin. Semua menoleh, dan terkejut saat melihat bayangan seorang wanita berpakaian putih, berdiri di sudut ruangan.
“Siapa dia?” tanya Sari dengan suara gemetar.
“Dia… dia tidak terlihat seperti kita,” jawab Lila, semakin ketakutan.
Wanita itu tersenyum, namun senyumnya terlihat menyeramkan. Dalam sekejap, bayangan itu menghilang, dan sisa-sisa tawa seramnya menggema di dalam kamar. Rian mencoba menenangkan teman-temannya. “Mungkin itu hanya ilusi. Ayo kita keluar dari sini!”
Namun saat mereka berbalik, pintu yang mereka masuki kini sudah tertutup rapat. Mereka terjebak. Keringat dingin mulai membasahi pelipis Rian. Dika berusaha mendorong pintu, tetapi tidak berhasil. “Kita harus mencari cara lain!” serunya panik.
Sari memandangi cermin lagi. “Mungkin kita bisa menemukan sesuatu di dalam cermin itu.” Dia melangkah lebih dekat, mencoba melihat dengan lebih jelas. Saat dia mendekat, bayangan wanita itu muncul lagi, kali ini lebih jelas. Wanita itu menunjuk ke sebuah sudut di belakang mereka.
“Dia ingin kita pergi ke sana!” seru Lila. Meskipun ketakutan, mereka mengikuti arah telunjuk wanita itu, dan menemukan sebuah pintu kecil yang hampir tidak terlihat di balik tumpukan debu.
“Ini satu-satunya jalan,” kata Rian, meraih gagang pintu dan membukanya. Di dalam, mereka menemukan tangga yang menuju ke bawah.
“Tidak, kita tidak bisa turun ke tempat yang lebih gelap,” tolak Sari, wajahnya semakin pucat.
“Tapi kita tidak punya pilihan,” jawab Dika. Dengan enggan, mereka mulai menuruni tangga itu. Suara langkah mereka bergema, menambah suasana mencekam di sekitar.
Setelah menuruni puluhan anak tangga, mereka tiba di sebuah ruangan yang luas dan gelap. Di tengah ruangan terdapat altar kayu tua dengan berbagai simbol aneh di atasnya. Di samping altar, mereka melihat boneka-boneka tua dengan mata yang seolah-olah mengikuti setiap gerakan mereka.
“Ini mengerikan!” bisik Lila, tertegun melihat boneka-boneka yang menyeramkan itu.
Rian meraih senter dan menerangi altar. Di atas altar, terdapat sebuah buku yang sama seperti yang ditemukan Dika sebelumnya. “Ini pasti buku yang sama,” katanya, dan membuka halaman-halamannya.
Begitu dia mulai membaca, cahaya mulai redup, dan suara bisikan memenuhi udara. “Apa yang kau lakukan?” teriak Sari, panik.
“Rian, hentikan!” teriak Dika, tetapi sudah terlambat. Sebuah cahaya menyilaukan muncul dari altar, dan seketika mereka merasa terhisap ke dalam ruangan itu.
Dalam sekejap, semua berubah. Mereka menemukan diri mereka di tempat yang berbeda—sebuah dunia yang gelap dan menakutkan, dipenuhi bayangan yang bergerak tanpa wujud. Di tengah kegelapan, wanita berpakaian putih muncul lagi, namun kali ini dia tidak tersenyum.
“Kau telah mengganggu tempatku,” katanya dengan suara menggema.
“Maafkan kami! Kami tidak bermaksud,” Rian berusaha meminta maaf, tetapi suaranya hanya membaur dengan kegelapan.
“Sekarang, kalian adalah bagian dari tempat ini,” jawab wanita itu. Saat itu, bayangan-bayangan lain mulai mendekat, mengelilingi mereka.
Rian dan teman-temannya berusaha berlari, tetapi langkah mereka terhenti. Bayangan-bayangan itu merangkul mereka, menarik mereka lebih dalam ke dalam kegelapan. Setiap jeritan tertahan di tenggorokan mereka, tidak ada suara yang keluar.
Hanya satu harapan tersisa, bahwa mereka bisa menemukan jalan kembali. Dengan segenap tenaga, Rian memanggil nama teman-temannya, “Dika! Sari! Lila!” Suara bisikan kembali terdengar, lebih nyaring, menciptakan rasa panik yang semakin mencekam.
Akhirnya, Rian teringat akan cermin. “Kita harus kembali ke cermin!” teriaknya, berusaha meyakinkan teman-temannya. Dengan semangat yang tersisa, mereka berlari kembali ke arah asal, berharap menemukan pintu yang membawa mereka kembali.
Mereka berlari tanpa henti, melewati bayangan yang menari-nari di sekitar mereka. Saat mencapai tempat mereka mula-mula, Rian melihat cermin di sudut ruangan. “Itu dia!” serunya.
Tanpa ragu, mereka mendekat. Saat bayangan wanita itu muncul lagi, Rian berseru, “Kami tidak ingin mengganggu lagi! Bawa kami kembali!”
Wanita itu menatap mereka, dan untuk sesaat, semua menjadi hening. Kemudian, dengan gerakan tangan yang lembut, cermin mulai berkilau, mengeluarkan cahaya yang menyilaukan. Dalam sekejap, mereka merasakan dorongan kuat, seolah-olah ditarik kembali ke tempat asal.
Ketika cahaya itu memudar, mereka menemukan diri mereka di luar rumah tua. Malam masih gelap, tetapi rasa dingin dan ketakutan mulai pudar. Mereka semua terengah-engah, masih terkejut dengan pengalaman yang baru saja mereka alami.
“Apa yang baru saja terjadi?” tanya Sari, masih belum percaya.
“Entahlah,” jawab Dika. “Tapi kita tidak akan pernah kembali ke sana lagi.”
Saat mereka beranjak pergi, Rian menoleh sekali lagi ke arah rumah tua itu. Di jendela lantai atas, dia melihat bayangan wanita itu tersenyum, mengisyaratkan bahwa mereka tidakakan pernah sepenuhnya bebas dari pengalaman mengerikan itu. Rian merinding, merasa seolah-olah mata itu terus mengawasi mereka, bahkan saat mereka menjauh.
Malam itu, setelah kembali ke rumah masing-masing, ketegangan masih membekas. Rian terbangun beberapa kali, teringat akan bayangan wanita yang menakutkan dan suara-suara bisikan yang tak pernah bisa dia lupakan. Dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya mimpi buruk, tetapi rasa takut terus menghantuinya.
Hari-hari berlalu, namun kenangan tentang rumah tua dan bayangan wanita itu tidak kunjung hilang. Rian dan teman-temannya berusaha melanjutkan hidup, tetapi setiap malam, saat bulan purnama muncul, mereka merasakan sesuatu yang aneh. Seolah-olah ada yang memanggil mereka, suara lembut dan menakutkan yang membuat bulu kuduk berdiri.
Suatu malam, saat Rian tidur, dia bermimpi. Dalam mimpinya, dia kembali ke rumah tua. Wanita berpakaian putih menunggunya di depan cermin. “Kau tidak bisa melarikan diri,” katanya, suaranya bergetar. “Kau telah mengganggu ketenanganku, dan sekarang kau harus membayar.”
Rian terbangun dengan terkejut, peluh dingin membasahi tubuhnya. Dia tahu bahwa ini bukan akhir dari semuanya. Mimpinya seakan menjadi ancaman, dan dia mulai merasa bahwa setiap langkah yang diambilnya membawa konsekuensi.
Dia mengumpulkan teman-temannya di sebuah kafe kecil di desa, dan mereka membahas apa yang terjadi. “Kita harus kembali,” kata Dika dengan penuh tekad. “Kita perlu mengembalikan buku itu. Mungkin itu satu-satunya cara untuk menghentikan semua ini.”
Sari dan Lila tampak ragu, tetapi setelah mendengar mimpi Rian, mereka setuju untuk kembali. “Kita tidak bisa membiarkannya terus menghantui kita,” kata Lila, suaranya bergetar.
Malam berikutnya, mereka kembali ke rumah tua. Kali ini, suasana terasa lebih berat, seakan rumah itu menunggu kedatangan mereka. Dengan senter di tangan, mereka melangkah masuk, berusaha untuk tidak terpaku pada kegelapan yang mengelilingi mereka.
Mereka langsung menuju ke kamar tempat mereka menemukan cermin dan buku. Setelah mencari-cari, mereka menemukan buku itu di atas altar, masih terbuka pada halaman yang sama. Rian merasa jantungnya berdegup kencang saat dia mengambilnya.
“Sekarang, kita harus melakukan sesuatu,” kata Dika, membuka halaman demi halaman, mencari cara untuk mengembalikan segala sesuatunya. Saat dia membaca satu mantra, suara wanita itu terdengar lagi, lebih dekat, lebih mengancam.
“Tidak ada yang bisa menghentikanku,” bisiknya, membuat seluruh ruangan bergetar. Bayangan mulai berkumpul, mengelilingi mereka dengan cepat. Mereka merasakan ketakutan yang mendalam, namun Rian berusaha tetap tenang.
“Harus ada cara!” teriaknya. Dia membaca mantra lain yang tertulis di halaman. Dalam sekejap, cahaya terang memancar dari buku, menerangi seluruh ruangan. Bayangan mulai mundur, namun suara wanita itu semakin keras, penuh kemarahan.
“Tidak! Kalian tidak bisa pergi!” teriaknya. Rian dan teman-temannya berusaha untuk tetap fokus, melanjutkan pembacaan mantra yang ada.
Akhirnya, dengan satu kalimat terakhir, cahaya membesar dan menyilaukan. Bayangan-bayangan itu menghilang, dan suara wanita itu lenyap. Ruangan menjadi sunyi, dan rasa ketakutan mulai menguap.
Mereka berdiri terpaku, saling memandang dengan napas yang berat. “Apakah kita berhasil?” tanya Sari, suara gemetar.
Rian mengangguk, tetapi dia tidak yakin. “Kita harus pergi dari sini,” katanya, dan mereka bergegas menuju pintu keluar.
Begitu keluar dari rumah, mereka merasa lega. Mereka tidak lagi mendengar bisikan atau merasakan ketakutan yang sama. Namun, saat mereka beranjak pergi, Rian merasakan sesuatu di sakunya. Dia merogoh dan menemukan sebuah kunci tua, sama seperti yang mereka lihat di buku.
“Apa ini?” tanya Dika.
“Entahlah, tapi sepertinya kita belum sepenuhnya bebas,” jawab Rian, menatap kunci itu dengan cemas.
Malam itu, saat mereka kembali ke rumah masing-masing, Rian tahu bahwa meskipun mereka berhasil mengusir bayangan, misteri rumah tua itu mungkin belum sepenuhnya terpecahkan. Kunci itu bisa berarti bahwa ada lebih banyak rahasia yang tersimpan di dalam, menunggu untuk diungkap.
Sejak malam itu, mereka hidup dengan ketakutan akan bayangan yang mungkin suatu saat akan kembali, karena kadang-kadang, ketika bulan purnama bersinar terang, Rian merasa seolah-olah dia masih bisa mendengar bisikan itu, memanggil namanya dari kejauhan.