Lasion selalu tampak biasa saja.
Di usia 17 tahun, dia adalah sosok yang jarang terlihat mencolok di kota kecil yang tersembunyi di antara perbukitan.
Senyumnya sederhana, sorot matanya tenang, dan tak banyak yang tahu apa yang terjadi di dalam pikirannya.
Namun, di balik setiap gerak-gerik halusnya, tersembunyi sesuatu yang jauh lebih dalam—sebuah permainan kompleks yang bahkan ia sendiri jarang bicarakan.
Dia tidak pernah berbicara banyak tentang pekerjaannya.
Ketika orang bertanya apa yang dia lakukan, dia hanya menyebut bahwa dia sedang menulis sebuah novel.
“Sesuatu yang kecil,” katanya dengan nada yang nyaris meremehkan.
Novel itu berjudul "Natanael vs The Lucky", kisah epik yang ia kerjakan selama berbulan-bulan, tenggelam dalam dunia yang ia bangun sendiri dengan setiap detail yang diperhitungkan.
Pekerjaan menulis Lasion bukan hanya mencipta karakter, melainkan menciptakan dunia.
Dunia yang ia kenali lebih baik dari dirinya sendiri.
Di balik setiap kalimat, ada struktur yang tak terlihat, sebuah pola yang hanya Lasion pahami.
Ia menghabiskan hari-hari panjang di perpustakaan, bukan hanya membaca, tapi mengamati.
Caranya memindai buku, melihat kata-kata, selalu menunjukkan bahwa pikirannya bergerak lebih cepat dari kebanyakan orang.
Ia akan mengambil sebuah buku, meneliti isinya dalam hitungan detik, lalu melanjutkan dengan anggukan kecil—seolah mengonfirmasi sesuatu yang hanya dia ketahui.
Suatu sore, saat matahari mulai tenggelam di balik perbukitan, Lasion akhirnya mengetik kata terakhir novelnya.
Tangannya berhenti di atas keyboard, menekan satu huruf terakhir sebelum dia dengan tenang menutup laptopnya.
Tanpa senyum lebar atau ekspresi lega, hanya satu tarikan napas panjang, seperti yang dilakukan seseorang setelah menyelesaikan teka-teki yang sudah mereka tahu jawabannya sejak awal.
Namun, keheningan itu segera dipecahkan oleh sesuatu yang aneh.
Ketika Lasion menutup bukunya, ada suara aneh, seperti bisikan dari sudut kamar.
Dari bayangan di belakangnya, dua sosok keluar.
Mereka adalah Natanael dan The Lucky, dua karakter utama dalam novelnya, kini berdiri nyata di hadapannya.
Natanael melangkah maju lebih dulu, wajahnya damai seperti yang Lasion tuliskan.
“Selamat malam, pencipta,” suaranya lembut tapi dalam.
Ada ketenangan yang nyaris tak wajar dalam caranya bicara—seolah dia mengerti lebih dari yang dia katakan.
The Lucky, di sisi lain, terlihat berbeda. Senyum liciknya terlihat jelas saat dia memandang Lasion dengan pandangan penuh tipu muslihat.
“Kami hidup sekarang. Dunia ini milik kami,” katanya tanpa ragu, nadanya penuh keyakinan, seperti seseorang yang baru saja diberikan kendali penuh atas sesuatu yang besar.
Lasion tidak terkejut. Tidak ada gerakan tiba-tiba, tidak ada ekspresi kaget.
Hanya matanya yang sedikit menyipit, seolah dia sedang menilai mereka, mencari celah dalam kehadiran mereka.
Dia tidak bertanya kenapa atau bagaimana, karena pertanyaan seperti itu tampak terlalu sederhana untuknya.
Sebaliknya, dia hanya duduk kembali di kursinya, menatap mereka dengan tenang, seolah sudah memperkirakan apa yang akan terjadi.
"Kalian di sini," katanya pelan, nyaris seperti gumaman. "Menarik." Tidak ada nada keterkejutan, hanya ketenangan yang mencerminkan pemahaman mendalam.
Seolah-olah ia sudah tahu bahwa ini akan terjadi.
Setiap kata yang ia ucapkan memiliki ritme yang terukur, seolah-olah setiap kalimat adalah bagian dari strategi yang lebih besar, meski dia tidak perlu menjelaskannya.
Keesokan harinya, apa yang terjadi dalam novel Lasion mulai merembes ke dunia nyata.
Natanael muncul sebagai sosok penuh karisma, pemimpin yang dipuja di seluruh dunia.
Setiap orang yang berinteraksi dengannya terpikat oleh kebijaksanaannya yang tenang, seolah dia tahu apa yang orang lain butuhkan sebelum mereka menyadarinya sendiri.
Sementara itu, The Lucky, dengan cepat menyebarkan kekacauan, menciptakan ketakutan di mana-mana.
Dia mengambil alih dunia kejahatan dengan strategi yang sangat terencana, selalu satu langkah di depan lawannya.
Semua orang yang terlibat dalam kekacauan ini merasa seperti pion dalam permainan yang mereka tidak pahami.
Dan Lasion? Dia tetap tenang.
Di tengah dunia yang semakin tidak terkendali, dia tidak pernah terlihat tertekan atau kebingungan.
Dia hanya menyaksikan, mengamati setiap pergerakan dengan tatapan yang sulit ditebak.
Orang-orang di sekitarnya mulai memperhatikan hal ini, namun mereka tidak tahu harus berkata apa.
Tidak ada yang bisa menilai apa yang sebenarnya terjadi di balik matanya.
Lalu, suatu malam yang tenang, dunia diguncang oleh tragedi besar.
Natanael, simbol harapan yang membawa kedamaian bagi dunia, meninggal dalam kecelakaan tragis.
Dunia berkabung.
Orang-orang menangis, merasa kehilangan arah.
Di saat itu, The Lucky berdiri di atas reruntuhan moralitas dunia, siap mengambil alih.
Di dalam apartemen kecilnya, Lasion duduk sendiri, memandang layar laptopnya yang kosong.
Tidak ada ekspresi di wajahnya.
Ia hanya duduk dalam kegelapan, membiarkan dunia di luar bergejolak.
Tidak ada emosi, tidak ada penyesalan—hanya keheningan yang menggantung di antara setiap tarikan napasnya.
Tapi Lasion tahu bahwa ini belum selesai.
Dia berdiri, membuka pintu, dan berjalan keluar menuju malam yang dingin.
Saat dia berjalan, pikirannya berputar, bukan dalam kekacauan, melainkan dalam ketertiban yang ia susun sendiri.
Setiap langkahnya seperti potongan puzzle yang ditempatkan pada tempatnya, satu demi satu.
Ketika The Lucky akhirnya tertangkap dalam aksinya yang paling berani—perampokan bank terbesar yang pernah ada—Lasion sudah berada beberapa langkah di depan.
Pasukan khusus dari berbagai negara sudah menunggu, merencanakan pengepungan besar.
Dan ketika The Lucky akhirnya disudutkan, topengnya dibuka.
Semua orang terkejut melihat bahwa di balik wajah penjahat itu adalah Lasion sendiri.
Wajah Lasion tetap tak berubah, meskipun sorot mata semua orang tertuju padanya. Dia tidak memberi penjelasan.
Tidak ada pembelaan. Dia hanya berdiri di sana, diam.
Yuseo, detektif yang memimpin pengejaran, menatapnya tajam.
"Siapa kamu sebenarnya?" tanyanya. Suaranya datar, tapi penuh rasa ingin tahu.
Lasion hanya tersenyum samar, seolah pertanyaan itu terlalu sederhana untuk dijawab.
Dia membalas dengan penuh percaya diri."Siapa aku sebenarnya?"
Sepasang mata yang memandang Yuseo dengan kedalaman yang sulit ditebak.
Beberapa hari kemudian, setelah serangkaian tes psikologis dan wawancara yang mendalam.
Muncul sebuah teori bahwa Lasion memiliki kepribadian ganda—Natanael dan The Lucky bukan hanya karakter yang ia ciptakan, melainkan bagian dari dirinya sendiri.
Tapi teori itu, seperti segala sesuatu yang berhubungan dengan Lasion, tidak pernah sepenuhnya jelas.
Apa yang benar, dan apa yang hanya ilusi, terus menjadi misteri yang tak terpecahkan.
Dan Lasion? Dia tetap diam, selalu satu langkah di depan, dalam permainan yang ia kendalikan tanpa perlu mengatakan sepatah kata pun.
Dunia mungkin tidak akan pernah benar-benar memahami siapa dia sebenarnya, tapi itulah yang membuatnya berbahaya—dan tak terjangkau.