Pandanganku mengarah pada langit malam yang tak menampilkan bintang maupun bulan. Benda-benda langit itu tidak terlihat seolah hilang ditelan kegelapan malam.
Namun, sebagai pengganti bulan dan bintang, derasnya air hujan disertai angin kencang dan petir menemani sunyinya malamku.
Hai, kenalin aku Naina. Umurku sekarang sudah menginjak usia 22 tahun.
Seharusnya sekarang aku tidur mengingat waktu sudah menunjukkan tengah malam, sedangkan besok pagi aku harus pergi bekerja.
Namun, karena segelas cangkir kopi yang kuminum beberapa menit lalu, aku jadi tidak bisa tidur.
Ah, tidak, bukan itu penyebab sebenarnya. Melainkan karena otakku memproses kenangan menyakitkan di masa lampau, sehingga membuatku tidak bisa tertidur.
Aku masih ingat jelas kejadian itu. Seolah terdapat memory card dalam otakku yang merekamnya.
Kala itu, saat umurku masih 13 tahun, saat derasnya air hujan mengguyur kota Cirebon, saat waktu menunjukkan pukul tengah malam, aku terbangun dari tidurku.
Telingaku mendengar keributan dari luar kamar. Lantas, aku ke luar dari kamarku, mencaritahu hal yang terjadi.
Aku melihat Ayahku. Sepertinya Ayah baru pulang setelah merantau selama 6 bulan di jakarta. Ayah sedang memegang tongkat bisbol yang pernah dibelinya untukku.
Sedangkan Ibuku ....
Dia duduk di lantai sembari menangis. Lutut dan mata kakinya memerah bengkak seolah habis dipukul, sedangkan bibirnya mengeluarkan darah.
Tiba-tiba saja Ayah menendang meja, melempar gelas ke dinding dan melempar remote tv ke wajah Ibuku.
Aku terkejut. Dadaku berdenyut nyeri, sedangkan tubuhku bergetar takut.
Ayah yang kukenal sangat menyayangiku, namun ternyata Ayah bisa semengerikan ini.
"Mas, udah!" kata Ibuku sembari terisak. Untungnya wajah Ibu tidak berdarah karena dilempar remote.
"Makanya kamu diam aja! Yang nurut jadi istri! Yang penting kamu dikasih uang sama saya. Mau saya selingkuh, atau enggak. Itu bukan urusan kamu!"
"Mas, aku ini istri kamu! Istri mana yang biasa aja, kalau tahu suaminya selingkuh?"
Satu tamparan melayang keras menyentuh pipi Ibuku. Tamparan itu sangat keras hingga menimbulkan jejak merah.
Tanpa sadar isak tangisku keluar. Aku yang saat itu masih berusia 13 tahun tidak dapat menahan tangisan dan sesakku.
Ayah dan Ibu pun menyadari kehadiranku. Sontak, Ayah berjalan menuju ke arahku. Dia memaksaku untuk masuk ke dalam kamar, lalu menguncinya dari luar.
Aku tak dapat melihat pertengkaran mereka. Yang bisa kudengar adalah suara teriakan, tangisan dan ancaman.
Kayla, adikku yang berumur 5 tahun ikut terbangun. Aku langsung bergegas menutup telinga adikku, berharap dia tak mendengar suara-suara itu.
Semenjak hari itu, Ayah semakin menjadi dalam melakukan kekerasan fisik dan mental. Ayah memukul dan memaki Ibu.
Ayahku tersayang yang kukenal, kini sudah tidak ada lagi.
Dia masih orang yang sama, namun aku dan Kayla sudah tidak mengenalnya lagi.
Kemudian, di suatu malam, saat hujan lagi-lagi mengguyur kota dan waktu menunjukkan tengah malam, Ibu dan Ayah bertengkar hebat. Ayah mengambil pisau dari dapur, lalu mengarahkannya pada Ibu.
Aku tidak bisa melihat kelanjutannya, sebab aku dan Kayla dipaksa Ibu masuk ke kamar dan dikunci dari luar.
Aku hanya bisa mendengar teriakan Ayah dan permohonan Ibu agar Ayah tak menyakiti fisiknya lagi.
Selain itu, aku tidak tahu apa-apa.
Namun, saat pagi harinya, aku dan Kayla tidak dapat menemukan keberadaan Ibu. Aku hanya melihat Ayah yang sedang menelpon seseorang dengan suara yang lembut. Bisa jadi itu adalah selingkuhannya.
Sedangkan Ibu, mungkin Ibu memilih kabur karena takut pada Ayah.
Aku juga takut pada Ayah. Jadi, aku tidak berkata apapun dan langsung pergi mencari Ibu bersama Kayla.
Malangnya aku tidak dapat menemukan Ibu. Walaupun aku sudah bertanya ke banyak orang, dan juga bertanya kepada saudara-saudara Ibu, tetap saja tidak ada yang mengetahui keberadaan Ibu.
Setelah seminggu lebih Ibu pergi, akhirnya Ibu kembali pulang ke rumah. Aku dan Kayla senang melihat Ibu. Kami pun langsung berpelukan.
"Ayah ke mana?" Ibu bertanya padaku dan Kayla.
Aku hanya diam, enggan menjawabnya. Aku takut Ibu disiksa lagi jika Ayah melihat Ibu.
Menyadari kekhawatiran di wajahku, Ibu tersenyum lembut. "Putri Ibu tercinta, Ibu baik-baik aja. Jadi, di mana Ayah?"
"Di kamal Ibu cama Ayah," jawab Kayla, masih cadel.
"Oh, gitu," ucap Ibu. "Kalian ke kamar dulu, ya? Ibu mau ngomong sesuatu sama Ayah. Nggak usah khawatir, Ibu nggak akan kenapa-napa."
Seolah mengetahui kecemasan yang aku rasakan, Ibu langsung berkata demikian.
Ibu memaksa kami masuk ke kamar, kemudian pergi ke kamarnya. Karena Ibu lupa mengunci pintu kamarku, diam-diam aku mengikuti Ibu.
Aku mengintip Ayah dan Ibu lewat lubang kunci dari pintu kamar orangtua. Aku juga dapat mendengar jelas obrolan mereka.
"Aku sudah memikirkannya," kata Ibu. "Kamu boleh selingkuh sama siapa aja, tapi jangan sampai kita bercerai. Satu lagi, jangan main fisik ke aku, apalagi di depan anak-anak. Kamu boleh melakukan apapun, entah selingkuh atau nyewa ani-ani. Tapi, jangan sampai anak-anak tahu."
"Kenapa kamu tiba-tiba ngomong gini?"
"Aku punya anak yang mentalnya harus dijaga. Kalau kamu bersikap kasar atau menceraikan aku, gimana nasib anak-anak?" Aku tahu, Ibu tidak sekuat itu. Terbukti saat Ibu menghapus air matanya. "Aku nggak mau anak-anak jadi broken home. Aku nggak mau jadi penyebab trauma mereka."
Aku terenyuh mendengarnya.
Ibu lebih memilih menderita daripada menjadikan anak-anaknya broken home. Ternyata Ibu sehebat itu.
"Terserah, asal jangan ganggu aku dan perempuan baruku. Satu hal lagi, aku nggak bisa ngasih uang kayak dulu. Paling, aku kasih buat jajan anak-anak aja."
"Nggak apa-apa, aku bisa cari uang sendiri. Aku bisa melakukan apapun agar anak-anak nggak menderita."
Lalu, bagaimana dengan Ibu?
Pertanyaan itu sontak muncul dalam benakku.
Ibu merelakan kebahagiaannya dan memilih menderita, agar anak-anaknya tidak menderita. Ibu bertahan bukan karena cinta, tapi karena anak-anaknya.
Tapi, aku tidak mau hal itu terjadi.
Esok paginya, aku menemui Ibuku.
"Ibu, cerai saja dengan Ayah." Ucapanku membuat Ibu sangat terkejut.
"Hush! Jangan ngomong sembarangan!"
"Cerai saja, aku nggak mau punya Ayah kayak dia."
Dengan begitu seharusnya mereka bercerai, kan?
Tidak ada alasan untuk Ibu bertahan, karena aku sudah tidak mau lagi punya Ayah sepertinya.
Untungnya Ibu mendengarkanku. Mereka akhirnya berpisah.
Kini, kembali ke masa sekarang, di mana usiaku yang sudah dewasa. Kini aku tinggal bersama Ibu dan Kayla.
Meski di masa sekarang aku bahagia, namun luka yang Ayah berikan menjadi trauma untukku.
Aku masih sering menangis ketika mengingat kejadian itu.
Sampai saat ini, aku masih tidak percaya. Sosok Ayah yang baik dan sangat menyayangiku itu, kini menjadi sosok yang telah memberikanku trauma besar.