Malam itu, Avery duduk di ruang tamunya yang sepi. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar, mengisi kekosongan di sekitarnya. Di hadapannya, layar ponsel memutar video lama—video dirinya dan seseorang yang pernah menjadi pusat dunianya, seseorang yang sekarang hanya tinggal kenangan.
Video itu merekam mereka tertawa di tepi pantai, bercanda seolah dunia hanya milik mereka. Avery melihat betapa bahagianya mereka saat itu, dengan mata berbinar dan senyuman yang tak pernah pudar. Setiap detik dalam video tersebut membawa Avery kembali pada masa-masa penuh kehangatan, masa-masa yang tak pernah ia sadari akan berakhir begitu cepat.
Tapi kini, saat Avery menatap layar, hanya rasa sakit yang memenuhi hatinya. Gambar-gambar itu begitu indah, begitu nyata, namun terasa asing sekarang. Hatinya hancur menyadari bahwa semua itu hanyalah kenangan yang tak bisa diulang. Orang yang ia cintai sudah pergi—meninggalkan jejak berupa foto dan video yang tersimpan rapi, namun tak bisa membawa kehadirannya kembali.
Avery menutup ponselnya dengan berat hati. Dia memeluk dirinya sendiri, berusaha melawan perasaan hampa yang semakin besar. Waktu memang tak bisa diputar kembali, dan setiap momen dalam foto-foto itu terasa seperti hantu dari masa lalu yang terus menghantuinya. Semua tawa dan senyum di layar kini terasa seperti ironi pahit. Avery hanya bisa berharap, dalam kerinduannya yang mendalam, bahwa suatu saat rasa sakit itu akan memudar, meskipun kenangan-kenangan indah itu akan selalu ada, tak tergantikan.