Lila adalah seorang wanita yang seolah dilahirkan untuk bersinar. Sejak usia muda, kecantikannya memikat banyak orang. Bukan hanya kecantikan fisik yang dimilikinya, tetapi juga karisma yang seolah mengendalikan sekelilingnya. Ketika Lila berbicara, semua orang mendengarkan. Ketika dia berjalan, orang-orang menatapnya dengan penuh kekaguman. Di usia 28 tahun, Lila adalah seorang selebritas terkenal, model, aktris, dan ikon fesyen. Sosoknya selalu menghiasi majalah-majalah terkenal, layar kaca, dan feed media sosial, diikuti jutaan penggemarnya. Kehidupannya terlihat sempurna, namun di balik itu semua, ada sisi kelam yang tak banyak orang tahu.
Sebaliknya, Bima adalah lelaki biasa yang hidupnya tidak mencolok. Ia bekerja sebagai barista di sebuah kedai kopi kecil di sudut kota. Di usia 30 tahun, hidup Bima begitu sederhana. Ia tinggal di apartemen kecil, hari-harinya diisi dengan meracik kopi untuk pelanggan yang datang silih berganti, dan pada malam hari, ia menghabiskan waktu membaca buku atau menonton film. Bagi Bima, hidup itu tentang kesederhanaan. Ia tidak mencari kemewahan atau ketenaran, cukup baginya menjalani hari-hari yang tenang.
Dunia Lila dan Bima seolah terpisah jauh. Tapi malam itu, semuanya berubah.
Hari itu, kedai kopi tempat Bima bekerja lebih ramai dari biasanya. Cuaca dingin di luar membuat orang-orang mencari tempat yang hangat. Di antara keramaian pelanggan, Bima melihat seorang wanita yang duduk di pojok, memakai topi besar dan kacamata hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Sesuatu tentang wanita itu menarik perhatian Bima. Ia tidak tahu mengapa, tapi ada sesuatu yang membuatnya merasa wanita itu berbeda. Ia tampak begitu tenang, tapi juga misterius.
Ketika Bima mendekat untuk mengambil pesanan, wanita itu melepas kacamata hitamnya. Detik itu juga, Bima terkejut. Wanita itu adalah Lila, selebritas yang wajahnya sering ia lihat di majalah atau televisi. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari Lila malam itu. Ia tidak tampak seperti seorang wanita yang penuh percaya diri dan glamour. Matanya terlihat lelah, ada garis kecemasan di wajahnya yang indah.
“Bisa pesan latte tanpa gula, tolong,” kata Lila dengan suara pelan, nyaris berbisik.
“Baik, satu latte tanpa gula,” jawab Bima, mencoba bersikap normal meskipun ia masih terkejut. Ia berbalik untuk menyiapkan pesanan, tapi perasaannya tidak bisa tenang. Ada aura ganjil di sekeliling wanita itu.
Setelah selesai membuat pesanan, Bima membawanya ke meja Lila. Tapi sebelum ia beranjak pergi, Lila memanggilnya.
“Terima kasih,” ucapnya singkat.
Bima mengangguk, “Sama-sama.”
Beberapa saat berlalu, tapi Bima masih bisa merasakan tatapan Lila di punggungnya. Di sudut mata, ia menangkap gerakan wanita itu, Lila mendongak, memperhatikannya seolah mencari sesuatu. Tak lama kemudian, Lila berdiri dan meninggalkan kedai tanpa mengatakan apa-apa lagi.
****
Malam itu adalah awal dari rangkaian peristiwa yang tak terduga. Sejak pertemuan itu, Lila kerap datang ke kedai kopi, duduk di tempat yang sama, dan selalu memesan latte tanpa gula. Awalnya, Bima hanya menganggapnya sebagai pelanggan biasa, tapi lama kelamaan, mereka mulai berbicara. Bima mengetahui bahwa di balik gemerlapnya hidup sebagai selebritas, Lila merasa sangat kesepian. Ketenaran justru membuatnya terasing dari kehidupan nyata. Dia merasa tidak ada yang benar-benar mengenalnya, kecuali citra yang ia tunjukkan di depan umum.
Bima, dengan cara hidupnya yang sederhana, menjadi pelarian bagi Lila. Ada sesuatu yang menenangkan dalam cara Bima berbicara dan berpikir. Ia bukan seperti pria-pria lain yang mendekati Lila untuk ketenaran atau kepentingan pribadi. Dia tulus dan apa adanya.
“Kamu pernah merasa terjebak, Bima?” tanya Lila suatu malam, ketika kedai hampir tutup.
Bima menatap Lila dengan heran. “Terjebak? Maksudmu?”
“Terjebak dalam hidup yang bukan hidupmu sendiri. Seperti kamu harus menjadi seseorang yang semua orang harapkan, tapi itu bukan dirimu sebenarnya.”
Bima mengernyitkan keningnya. “Aku pikir tidak. Hidupku cukup sederhana. Aku melakukan apa yang aku mau. Aku mungkin tidak punya banyak, tapi setidaknya aku bisa menjadi diriku sendiri.”
Lila tersenyum tipis. “Kamu beruntung. Aku kadang berharap bisa melakukan hal yang sama.”
Dalam percakapan itu, Bima mulai memahami bahwa Lila tidak hanya terkenal, tetapi juga hancur di dalam. Di balik sorot lampu kamera, hidupnya seperti bayangan yang selalu mengikutinya. Dan semakin dalam Bima mengenal Lila, semakin ia merasa terhubung dengan wanita itu, meskipun mereka berasal dari dunia yang sangat berbeda.
Namun, sesuatu yang aneh mulai terjadi.
Semakin sering Lila datang ke kedai, semakin Bima merasa ada yang salah. Sering kali, Lila datang dengan ekspresi ketakutan di wajahnya. Kadang, ia terlihat selalu waspada, menengok ke belakang seolah-olah ada seseorang yang mengikutinya. Suatu malam, setelah kedai tutup, Lila muncul tiba-tiba di depan pintu, dengan napas tersengal-sengal dan wajah pucat.
“Bima, aku butuh bantuanmu,” suaranya bergetar.
Bima tertegun. “Apa yang terjadi, Lila?”
“Ada seseorang yang mengikutiku,” jawabnya dengan nada ketakutan. “Dia selalu ada di mana pun aku berada. Aku tidak tahu siapa dia, tapi dia… dia mengawasi setiap gerakanku.”
Bima merasakan aliran darahnya membeku. Ini bukan sekadar paranoia. Dari nada suara dan ekspresi Lila, Bima tahu bahwa wanita ini benar-benar ketakutan.
“Siapa yang mengikutimu? Kamu sudah lapor ke polisi?” Bima mencoba bersikap rasional.
Lila menggelengkan kepala. “Aku tidak bisa. Kalau aku melaporkan ini, media akan langsung tahu. Semuanya akan menjadi kacau. Aku hanya… Aku tidak tahu harus bagaimana lagi.”
Malam itu, Bima menawarkan Lila untuk tinggal sementara di apartemennya. Sebuah keputusan impulsif, tapi ia merasa tidak bisa membiarkan Lila sendirian dalam ketakutan. Lila menerima tawarannya dengan penuh rasa syukur, dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Lila merasa sedikit tenang.
Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Di tengah malam, ada ketukan keras di pintu apartemen Bima. Jantungnya berdegup kencang. Ia berjalan perlahan ke arah pintu, sementara Lila yang duduk di sofa terlihat semakin ketakutan.
“Bima, jangan buka pintunya,” bisik Lila.
Bima menelan ludah. Ia mengintip dari lubang pintu dan melihat seorang pria berdiri di sana. Sosok yang tinggi dan bayangannya terpantul di bawah lampu lorong yang redup. Bima tidak mengenali pria itu, tapi ada sesuatu yang mengancam dari cara pria itu berdiri, tenang tapi penuh tekanan.
“Apa yang kau inginkan?” tanya Bima, mencoba tetap tenang.
Pria di luar sana tidak menjawab. Ia hanya mengetuk pintu lagi, lebih keras kali ini.
“Buka pintunya, Bima,” suara pria itu terdengar rendah, nyaris memerintah.
Lila semakin gemetar. “Itu dia, Bima. Dia yang mengikutiku.”
Tanpa pikir panjang, Bima meraih teleponnya dan mencoba menghubungi polisi. Namun, saat ia hendak menekan tombol panggilan, suara pria itu terdengar lagi.
“Kau tahu siapa aku, Lila. Dan kau tahu ini bukan permainan.”
Kata-kata itu menancap tajam. Bima bisa merasakan ketegangan di udara. Siapa pria ini? Dan apa yang sebenarnya terjadi antara dia dan Lila?
Saat itu, Lila berdiri. Wajahnya berubah, dari ketakutan menjadi penuh tekad. “Aku tidak akan lari lagi,” katanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Bima.
Ia berjalan ke arah pintu, dan dengan satu gerakan cepat, membuka pintu apartemen. Di balik pintu, pria itu tersenyum tipis, sinis.
“Aku sudah lama menunggumu, Lila,” kata pria itu, suaranya lembut namun mengandung ancaman.
Namun, sebelum pria itu melangkah masuk, Bima dengan cepat berdiri di antara mereka. "Jika kau menyentuhnya, aku akan memastikan kau tidak akan keluar dari sini dengan selamat."
Pria itu menatap Bima sejenak, seolah menimbang, Lalu ia tersenyum.
- END