Panji tumbuh sebagai seorang yatim piatu yang tinggal di panti asuhan di pinggiran kota kecil bernama Sarantang. Kehidupan sehari-harinya penuh dengan rutinitas yang monoton. Namun, di balik kehidupan yang sederhana dan suram itu, ada satu hal yang selalu menghiburnya—melukis.
Sejak kecil, Panji memiliki kemampuan yang tak biasa dalam menggambar dan melukis. Ketika anak-anak lain bermain di halaman panti, Panji lebih suka duduk di sudut, mencoret-coret kertas, menghasilkan sketsa-sketsa yang begitu detail dan hidup. Ia bahkan tidak pernah belajar secara formal; segalanya datang begitu saja, mengalir dari tangannya ke atas kanvas.
Namun, meski ia begitu berbakat, Panji merasa ada kekosongan di dalam dirinya. Ia tak tahu siapa orang tuanya, dari mana asalnya, atau bahkan alasan mengapa ia ditinggalkan di panti asuhan itu. Meskipun ia menerima nasibnya, dalam hati Panji selalu bertanya-tanya, adakah sesuatu yang lebih besar yang sedang menunggu dirinya?
Suatu malam, saat bulan purnama bersinar terang, Panji merasa ada dorongan aneh yang membuatnya ingin melukis. Ia tidak tahu apa yang hendak ia gambar, tapi tangannya bergerak seolah memiliki keinginan sendiri. Di atas kanvas putih yang kosong, garis-garis mulai terbentuk: pohon-pohon rimbun, sebuah sungai yang berkelok-kelok, dan di tengahnya ada sebuah sosok misterius berdiri di antara kabut tebal.
Panji melangkah mundur, menatap hasil karyanya dengan perasaan campur aduk. Sosok itu, meskipun samar, tampak sangat familiar. Seperti ada sesuatu yang memanggilnya dari dalam lukisan itu. Dadanya mulai sesak, dan udara di sekitarnya terasa berubah. Angin dingin tiba-tiba menyapu masuk dari jendela yang terbuka, meski malam itu tenang tanpa ada tanda-tanda badai.
Ketika ia hendak menutup jendela, tiba-tiba, kanvas lukisannya bergetar hebat. Warna-warna di atasnya tampak bergerak, berputar, hingga akhirnya sosok misterius di tengah lukisan itu menghilang, dan yang tersisa hanyalah hutan dan sungai.
“Apa yang baru saja terjadi?” Panji bergumam, matanya tak lepas dari kanvas. Ia mendekat, mencoba menyentuh lukisan itu, tapi saat jari-jarinya menyentuh permukaan, sebuah kekuatan tak terlihat menariknya masuk.
Dalam sekejap, dunia di sekelilingnya berubah. Ia tak lagi berada di kamarnya di panti asuhan. Sebaliknya, ia berdiri di dalam hutan yang sama persis dengan yang ada di lukisannya. Angin lembut mengayun daun-daun di atas kepalanya, dan suara air sungai mengalir lembut di kejauhan.
“Aku... di mana?” Panji berbisik, suaranya menggema di hutan yang sunyi.
Tiba-tiba, dari balik pepohonan, sosok yang tadi ia lukis muncul. Ia mengenakan jubah panjang berwarna perak, dan matanya menyala dalam gelap. “Kau akhirnya datang, Panji,” ucap sosok itu dengan suara berat namun tenang.
Panji terkejut. “Siapa kamu? Bagaimana kamu tahu namaku?”
“Aku adalah penjaga dunia ini, dunia yang telah lama menunggumu,” jawab sosok itu. “Kau adalah keturunan dari garis keturunan kuno yang memiliki kekuatan besar. Namun, kekuatan itu hanya bisa terbangun melalui senimu, melalui lukisanmu.”
Panji menggeleng, bingung. “Apa maksudmu? Aku hanya seorang pelukis, tidak ada yang istimewa dariku.”
Sosok itu tersenyum tipis. “Itulah yang kau percayai, tapi kekuatanmu jauh lebih besar dari sekadar melukis. Apa yang kau lukis bisa menjadi nyata, Panji. Kau bisa menciptakan dunia, memanggil makhluk-makhluk dari bayangan, atau bahkan merubah nasib.”
Panji menatap sekeliling. Apakah ini nyata? Dunia di sekitarnya terasa begitu hidup, begitu nyata. Namun, bagian dari dirinya masih meragukan kebenaran kata-kata sosok tersebut.
“Aku tidak mengerti...” Panji mencoba memahami semuanya, tapi kepalanya dipenuhi dengan pertanyaan.
“Waktu akan mengajarkanmu segalanya,” sosok itu melanjutkan. “Tapi saat ini, kau harus menghadapi ujian pertamamu.”
Seketika, hutan di sekitarnya mulai berubah. Langit yang sebelumnya cerah berubah menjadi gelap, dan suara-suara aneh mulai terdengar dari dalam bayangan. Sesosok makhluk raksasa muncul dari balik pepohonan, kulitnya kasar seperti batu, matanya merah menyala. Makhluk itu menggeram, mendekati Panji dengan langkah-langkah berat yang mengguncang tanah.
Panji terperangkap dalam ketakutan. Tangannya gemetar, tak tahu harus berbuat apa. “Apa... apa yang harus aku lakukan?” tanyanya, panik.
Sosok berjubah perak itu menunjuk ke arah Panji. “Kau punya kekuatan untuk melawannya. Gunakan senimu.”
Panji melihat sekeliling, namun ia tak membawa kanvas atau kuas. “Tapi aku tidak punya alat untuk melukis!”
“Kau tidak memerlukan alat. Kekuatanmu ada dalam dirimu. Bayangkan lukisanmu, dan biarkan imajinasimu menjadi senjatamu.”
Dengan jantung berdebar kencang, Panji menutup matanya, mencoba mengingat lukisan-lukisan yang pernah ia buat. Ia membayangkan pedang besar yang dulu pernah ia lukis saat masih kecil. Sebuah pedang yang mampu memotong apapun. Dan saat ia membuka matanya, pedang itu ada di tangannya, berkilauan dalam cahaya bulan yang redup.
Makhluk raksasa itu mendekat dengan cepat. Panji, meskipun takut, merasakan sesuatu yang aneh tumbuh di dalam dirinya—sebuah keberanian yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia menggenggam pedang itu erat, lalu dengan satu ayunan, ia memotong makhluk raksasa itu menjadi dua. Dalam sekejap, makhluk itu meledak menjadi debu dan angin di sekitarnya berhenti berhembus.
Sosok berjubah perak itu tersenyum puas. “Kau berhasil, Panji. Ini baru permulaan dari perjalananmu.”
Panji masih terengah-engah, matanya tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. “Apa... apa yang baru saja aku lakukan?”
“Kau baru saja menggunakan kekuatanmu, kekuatan yang diwariskan oleh leluhurmu. Tetapi ini hanyalah awal. Masih banyak yang harus kau pelajari.”
“Bagaimana aku bisa belajar? Apa yang harus aku lakukan?” Panji bertanya, merasa bingung dan cemas.
“Kau harus terus melukis, Panji. Setiap lukisan yang kau buat akan membawamu lebih dekat pada pemahaman tentang dirimu dan kekuatanmu. Tapi berhati-hatilah, ada banyak bahaya yang mengintai di balik kekuatan ini. Banyak yang ingin mengambilnya darimu.”
Sebelum Panji sempat menjawab, dunia di sekitarnya mulai kabur. Hutan, sungai, dan sosok berjubah perak itu menghilang, digantikan oleh ruangan kamarnya di panti asuhan. Ia terbangun dengan tubuh berkeringat dan napas yang memburu. Lukisan di depannya masih ada, tapi sosok di dalamnya telah lenyap.
Panji terdiam sejenak, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Apakah itu mimpi? Atau semua yang ia alami benar-benar nyata?
Namun, saat ia melihat ke tangannya, ia masih menggenggam pedang yang ia ciptakan dalam mimpinya. Panji tersenyum tipis. Ia tahu sekarang bahwa hidupnya tak lagi sama. Di dalam dirinya ada kekuatan yang tak terduga, dan perjalanan panjang baru saja dimulai.
Meski ia belum tahu apa yang menanti di depannya, Panji bertekad untuk mencari tahu lebih banyak tentang dirinya, tentang kekuatan yang ia miliki, dan tentang dunia yang tersembunyi di balik setiap lukisannya.
-END