Di tengah kesibukan Jakarta yang tak pernah sepi, tinggal seorang pemuda bernama Milas. Dia dikenal sebagai sosok yang cerdas dan lucu, namun kadang bisa sangat mengesalkan. Milas suka bermain lelucon, dan sering kali humornya membuat orang lain tertawa, atau sebaliknya, merasa jengkel.
Suatu pagi yang cerah, saat Milas berjalan-jalan di Taman Suropati, ia tiba-tiba melihat sosok yang sangat aneh. Seorang pria tua dengan janggut putih panjang dan pakaian lusuh, sedang duduk santai di bangku taman. Di sebelahnya tergeletak sebuah kitab besar. Milas mendekat, rasa ingin tahunya terbangun.
“Eh, Pak! Kenapa duduk sendirian? Lagi nunggu siapa?” tanya Milas sambil tersenyum nakal.
Pria itu menatap Milas dengan mata tajam dan berkata, “Aku Abu Nawas, dan aku sedang menunggu seseorang yang cerdas dan lucu.”
Milas terkejut, “Oh, mungkin itu saya! Apa Anda punya lelucon, Pak?”
Abu Nawas tertawa, “Lelucon? Lebih baik kamu yang bercerita. Jika tidak lucu, aku punya cara untuk menjadikan harimu lebih menyenangkan.”
Dengan percaya diri, Milas mulai menceritakan berbagai lelucon. Namun, leluconnya ternyata membuat Abu Nawas mengernyitkan dahi. “Kau memang cerdas, tapi lucumu tidak semua bisa diterima. Cobalah sekali lagi, dengan cara yang lebih bijak.”
“Bijak? Siapa yang butuh bijak? Lebih baik kita bersenang-senang!” balas Milas, masih dengan semangat.
Tanpa menyadari, Milas sedang diuji. Abu Nawas tersenyum, “Baiklah, aku punya tantangan. Mari kita lihat seberapa pintar kamu. Aku akan memberi teka-teki, jika kau bisa menjawabnya, aku akan memberimu hadiah. Jika tidak, kau harus melakukan apa pun yang kuminta.”
Milas mengangguk penuh semangat. “Oke! Teka-tekinya apa?”
Abu Nawas menjelaskan, “Aku memiliki sesuatu yang berharga, tapi tidak bisa dilihat. Jika kau menginginkannya, kau harus mengatakannya dengan tepat. Apa itu?”
Milas berpikir keras. “Uang? Cinta? Atau…?” Dia mulai kehabisan ide.
Setelah beberapa menit berpikir, akhirnya Milas berkata, “Hmmm… Kebijaksanaan!”
Abu Nawas tertawa keras. “Salah! Jawabannya adalah ‘waktu’. Sekarang, lakukan apa pun yang kuperintahkan!”
Dengan enggan, Milas bertanya, “Apa yang harus saya lakukan?”
“Buatlah orang di sekitarmu tertawa, tapi tanpa menggunakan kata-kata,” jawab Abu Nawas.
Milas terdiam. Ia melihat orang-orang di taman. Dengan sedikit pemikiran, ia mulai beraksi. Dia menari konyol, melompat-lompat, dan berpura-pura tersandung. Ternyata, aksi bodohnya membuat banyak orang tertawa. Bahkan, beberapa orang merekamnya dengan ponsel.
Setelah berakhir, Abu Nawas mengangguk puas. “Lihat, Milas? Terkadang, tawa bisa datang dari tindakan, bukan kata-kata. Kebijaksanaan ada di mana-mana jika kau mau mencarinya.”
Milas tersenyum lebar, merasa bangga. “Terima kasih, Pak Abu! Saya belajar sesuatu hari ini!”
“Yang terpenting, ingatlah untuk tidak hanya menciptakan tawa, tetapi juga berbagi kebijaksanaan dengan cara yang menyenangkan,” kata Abu Nawas.
Hari itu berakhir dengan Milas yang merasa terinspirasi. Ia berjalan pulang dengan hati yang ceria, tahu bahwa canda dan tawa bisa membawa kebijaksanaan, asalkan dengan cara yang tepat. Jakarta yang padat dan sibuk terasa lebih hidup dalam pandangannya, dan ia tahu bahwa setiap pertemuan bisa menjadi pelajaran berharga.
Jangan lupa follow 😉