Friska menatap pantulan dirinya di cermin dengan ragu. Gaun putih yang dikenakannya tampak sempurna, namun rasa gembira itu diselimuti keraguan. Ia ingat bagaimana pertemuannya dengan Fabian, seorang pria tampan dari keluarga berada, dimulai dari sebuah acara seminar di kampus. Kepribadian Fabian yang hangat dan penuh perhatian berhasil menariknya sejak awal.
Namun, saat berita pernikahan mereka tersebar, reaksi keluarga Fabian tak terduga. Ibu Fabian, Ibu Rini, adalah sosok yang kaku dan sangat menjunjung tinggi norma sosial. Ia selalu mengharapkan putranya menikahi wanita dari keluarga terhormat, bukan Friska, yang hanya memiliki latar belakang sederhana dan tak tahu siapa ayahnya.
“Mama tidak setuju,” kata Ibu Rini tegas saat Fabian memberitahu niatnya untuk menikahi Friska.
“Dia mencintaiku, Mama. Itu sudah cukup,” jawab Fabian, matanya menatap penuh percaya pada Friska.
Meskipun berusaha mendukung, Fabian tahu betul bahwa pernikahan mereka akan menghadapi banyak tantangan. Tapi cinta membuatnya berani melangkah maju.
Pernikahan mereka dilangsungkan dengan sederhana, hanya dihadiri oleh keluarga terdekat dan sahabat. Friska berusaha untuk tampil sebaik mungkin, meski rasa cemas tak pernah jauh darinya. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya bagaimana kehidupan setelah pernikahan akan berjalan dengan Ibu Rini yang selalu mengawasi.
Malam pertama di rumah mereka, Fabian memeluknya erat. “Jangan khawatir, kita akan melewati semuanya bersama,” bisiknya lembut.
Hari-hari awal pernikahan mereka dipenuhi kebahagiaan, tetapi tidak lama kemudian, kerikil mulai menghampiri. Ibu Rini sering datang berkunjung, dan dalam setiap kesempatan, ia tak pernah luput untuk menyampaikan komentar pedasnya tentang Friska.
“Fabian, mengapa kamu tidak mencari wanita yang lebih baik? Dia tidak punya latar belakang yang baik,” ujarnya suatu kali.
Friska yang mendengar hal itu hanya bisa menunduk, berusaha menyimpan rasa sakit di dalam hati. Fabian selalu membela Friska, meski sering kali harus berhadapan langsung dengan ibunya.
“Dia adalah istriku, Mama. Cintaku padanya tidak tergantikan,” jawab Fabian dengan tegas.
Beberapa bulan berlalu, dan ketegangan antara Friska dan Ibu Rini semakin menjadi. Suatu ketika, Ibu Rini mengundang Fabian untuk makan malam tanpa Friska.
“Fabian, kamu tahu, kehidupan ini bukan hanya tentang cinta. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan,” Ibu Rini memulai pembicaraan.
“Seperti apa, Mama?” tanya Fabian, jengkel.
“Reputasi keluarga kita, misalnya. Friska tidak sesuai dengan harapan. Dia tidak bisa membantu kita,” Ibu Rini menekankan.
Friska mendengar sebagian dari percakapan itu dan merasakan hatinya teriris. Ia tidak ingin menjadi beban bagi Fabian, tetapi apa yang bisa ia lakukan? Ia ingin diterima, tidak hanya oleh Fabian, tetapi juga oleh keluarganya.
Keesokan harinya, Friska mendapati Fabian tampak murung.
“Ada apa?” tanya Friska dengan lembut.
“Semua ini... Ibu tidak berhenti mengomel. Aku ingin kita bisa hidup tenang,” jawab Fabian.
“Biar aku yang berbicara dengan Ibu,” Friska menawarkan.
“Tidak, Sayang. Ini bukan salahmu. Aku akan menghadapinya,” Fabian menjawab, berusaha menenangkan Friska.
*
Beberapa waktu kemudian, Fabian merencanakan sebuah pertemuan keluarga untuk merayakan ulang tahun Ibu Rini. Ia ingin menciptakan suasana yang harmonis, meskipun ada rasa cemas di hatinya.
Friska berusaha menyiapkan semuanya dengan baik. Ia ingin menunjukkan kepada Ibu Rini bahwa ia mampu menjadi menantu yang baik, meski tidak sesuai dengan ekspektasi. Namun, saat hari perayaan tiba, ketegangan tetap terasa.
“Ibu, ini Friska, istriku,” ujar Fabian memperkenalkan Friska kepada kerabat yang hadir.
“Aku tahu,” jawab Ibu Rini dingin, menatap Friska sekilas sebelum beralih ke percakapan lain.
Friska merasakan tatapan sinis dari beberapa kerabat, namun ia berusaha tetap tersenyum. Makan malam berjalan dengan canggung, dan Friska berusaha mencuri perhatian dengan berbagai hidangan yang ia siapkan.
Saat makanan disajikan, Friska melihat Ibu Rini mencicipi masakannya. Ekspresi Ibu Rini tidak bisa dibaca, dan itu membuat Friska semakin cemas. Apakah ia bisa memenuhi harapan?
Akhirnya, Ibu Rini mengeluarkan komentar pedasnya. “Masakan ini tidak cocok dengan selera keluarga kita. Seharusnya kamu belajar dari chef profesional.”
Friska terdiam, air matanya hampir tumpah. Namun, Fabian segera membela istrinya. “Ibu, itu masakan yang dibuat dengan cinta. Jangan merendahkan usaha Friska.”
Setelah kejadian itu, Friska semakin bertekad untuk membuktikan dirinya. Ia mulai mengambil kelas memasak dan menjalin hubungan baik dengan teman-teman di sekitar rumah. Dengan dukungan Fabian, Friska merasa lebih kuat.
Di sisi lain, Fabian mulai menyadari betapa kerasnya perjuangan yang dilakukan Friska. Ia ingin melindungi istrinya dari segala komentar negatif, namun sering kali situasi tak bisa dihindari.
Suatu hari, Friska mengajak Fabian untuk menghadiri sebuah acara di tempat kerjanya. Di sana, ia bisa menunjukkan keberhasilannya dan betapa ia tidak perlu bergantung pada status sosial untuk diterima.
“Aku bangga padamu,” ujar Fabian saat mereka kembali ke rumah.
Friska tersenyum. “Terima kasih. Ini semua berkat dukunganmu.”
*
Saat tahun pertama pernikahan mereka berlalu, Friska dan Fabian semakin kompak. Meskipun Ibu Rini tetap skeptis, mereka tidak menyerah. Friska mulai mendapatkan kepercayaan diri dan terbuka untuk berdiskusi dengan Ibu Rini, berusaha memahami perspektifnya.
“Saya tahu saya bukan pilihan ideal bagi keluarga,” ujar Friska di hadapan Ibu Rini dalam sebuah percakapan yang jarang terjadi. “Tapi saya mencintai Fabian, dan saya ingin keluarga kita bisa dekat.”
Ibu Rini terdiam, tampak terkejut. “Kamu tahu, Friska, tidak mudah untuk menerima kenyataan ini. Tapi jika kamu bisa membuktikan bahwa kamu benar-benar layak, aku akan berusaha untuk membuka diri.”
Friska merasa ada harapan baru. Ia bertekad untuk membuktikan bahwa cinta dan usaha bisa meruntuhkan tembok yang menghalangi.
Namun, tantangan terbesar datang saat Friska hamil. Kabar bahagia itu disambut dengan perasaan campur aduk. Meskipun Fabian sangat bahagia, Ibu Rini tetap skeptis.
“Apakah kamu yakin bisa mengurus anak ini?” tanyanya tajam.
Friska merasakan kepanikan. “Saya akan melakukan yang terbaik, Bu. Ini adalah tanggung jawab saya sebagai ibu.”
Tapi Ibu Rini hanya menggeleng. “Aku ingin melihat bukti.”
Friska merasa dunia runtuh. Dia sudah berjuang keras, tetapi semuanya terasa sia-sia. Namun, Fabian selalu ada di sampingnya, memegang tangannya dengan erat.
“Jangan menyerah, Sayang. Kita akan buktikan semuanya,” bisiknya penuh keyakinan.
Dengan semangat baru, Friska bertekad untuk mempersiapkan kelahiran anak mereka. Ia mengikuti berbagai kelas dan belajar dari pengalaman orang-orang di sekitarnya. Ia berusaha membuktikan kepada Ibu Rini bahwa ia mampu menjadi ibu yang baik.
Saat lahirnya putri mereka, Friska dan Fabian merasakan kebahagiaan yang tiada tara. Mereka memberi nama Aira, yang berarti udara segar. Harapan baru lahir bersamanya.
Saat Ibu Rini datang untuk melihat Aira, suasana tegang terasa. Friska menggenggam tangan Fabian, berusaha menahan rasa cemas.
“Aira adalah anak yang cantik,” ujar Ibu Rini setelah melihat cucunya. “Kamu pasti akan merawatnya dengan baik, bukan?”
Friska terkejut. “Tentu saja, Bu. Saya akan melakukan yang terbaik.”
Setelah beberapa bulan, Ibu Rini mulai mengunjungi Friska dan Fabian lebih sering. Ia melihat bagaimana Friska merawat Aira dengan penuh kasih sayang. Lambat laun, ia mulai membuka diri.
“Maafkan aku jika aku terlalu keras padamu, Friska. Aku hanya ingin yang terbaik untuk keluarga kita,” ungkap Ibu Rini suatu hari.
Friska merasa harapannya terwujud. “Terima kasih, Bu. Saya tahu semua ini sulit, tetapi saya berjanji untuk merawat Aira dengan baik.”
*
Melihat kedekatan Friska dan Aira, Ibu Rini perlahan mulai melunak. Pertemuan demi pertemuan mengubah pandangannya. Friska selalu berusaha menunjukkan kasih sayangnya kepada Aira dan komitmennya sebagai seorang ibu. Ia tidak hanya memberikan cinta, tetapi juga belajar dari pengalaman.
“Friska, kau tahu, aku tidak pernah berpikir bahwa aku bisa merasakan kebahagiaan melihat cucuku,” Ibu Rini mengungkapkan suatu hari saat mereka duduk bersama di ruang tamu.
Friska menatap Ibu Rini dengan harapan. “Saya ingin Aira memiliki hubungan yang baik dengan neneknya.”
Ibu Rini tersenyum lembut. “Aku ingin berusaha menjadi nenek yang baik untuknya.”
Seiring waktu berlalu, Friska dan Ibu Rini membangun hubungan yang lebih baik. Friska mulai mengajak Ibu Rini untuk berpartisipasi dalam kegiatan di rumah, seperti memasak bersama dan merayakan ulang tahun Aira. Kegiatan-kegiatan sederhana ini menjadi jembatan untuk menguatkan ikatan di antara mereka.
Suatu sore, Friska mengajak Ibu Rini ke taman. “Bu, bagaimana kalau kita membuat piknik kecil? Aira pasti senang.”
“Baiklah, aku suka ide itu,” jawab Ibu Rini dengan senyum.
Saat mereka berada di taman, Friska melihat Aira bermain ceria. Melihat kebahagiaan di wajah cucunya membuat hati Ibu Rini bergetar. Dalam perjalanan pulang, Ibu Rini berkata, “Kau melakukan pekerjaan yang hebat, Friska. Aira beruntung memiliki ibu sepertimu.”
Kehangatan yang terbentuk antara Friska dan Ibu Rini semakin menguatkan hubungan mereka. Fabian melihat perubahan ini dengan penuh rasa syukur. Ia merasa beban yang selama ini mengganggu rumah tangga mereka mulai terangkat.
“Sayang, aku tidak pernah menyangka semuanya bisa berubah secepat ini,” kata Fabian kepada Friska suatu malam saat mereka duduk berdua di teras rumah.
“Aku juga tidak, tapi aku bersyukur. Kita bisa menjalani hidup lebih bahagia sekarang,” jawab Friska, tersenyum cerah.
Ketika Aira mulai tumbuh, Ibu Rini semakin terlibat dalam kehidupan mereka. Ia sering membantu Friska merawat Aira dan sesekali membawa cucunya untuk berkunjung ke rumahnya. Keberadaan Ibu Rini menjadi sumber dukungan yang tak ternilai bagi Friska.
Namun, kebahagiaan ini tidak bertahan lama. Suatu ketika, sebuah masalah muncul ketika keluarga Fabian berencana untuk mengadakan reuni besar. Ibu Rini menginginkan Friska untuk hadir, tetapi Friska merasa cemas akan reaksi kerabat lain.
“Bu, bagaimana jika mereka tidak menerima saya?” tanyanya dengan rasa takut.
“Tidak ada yang lebih penting daripada keluarga kita. Kau sudah menjadi bagian dari keluarga ini, Friska,” jawab Ibu Rini penuh keyakinan.
Meskipun Ibu Rini mendukung, Friska tetap merasa ragu. Akhirnya, Fabian memberinya semangat. “Kita akan melewati ini bersama. Yang terpenting, kita saling mencintai.”
*
Hari reuni tiba, dan suasana tegang menyelimuti Friska. Ia mengenakan gaun terbaiknya, tetapi rasa cemas terus menghantui. Saat mereka tiba, kerabat-kerabat Fabian menatapnya dengan pandangan sinis.
“Jangan hiraukan mereka, Sayang,” bisik Fabian sambil menggenggam tangan Friska erat.
Ibu Rini memperkenalkan Friska kepada kerabat. “Ini menantu saya, Friska. Dia adalah ibu Aira.”
Beberapa kerabat hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun, ada juga yang bersikap ramah. Friska berusaha bersikap santai, meskipun hatinya berdebar kencang.
Ketika acara berlangsung, Ibu Rini mengajak Friska untuk berbincang dengan beberapa kerabat. Mereka mulai bertanya tentang kehidupannya, pekerjaan, dan bagaimana ia merawat Aira.
“Mungkin kamu bisa membantu mereka di dapur,” ucap salah satu kerabat, mencoba menciptakan suasana.
Friska tersenyum, mencoba menjawab dengan percaya diri. “Tentu, saya senang memasak.”
Namun, saat perbincangan berlanjut, beberapa komentar pedas mulai terdengar.
“Dia tidak seperti menantu yang kita harapkan,” bisik salah satu kerabat kepada yang lain.
Friska merasakan hatinya hancur. Namun, ia berusaha tidak menunjukkan kepedihan. Di tengah kekhawatiran, Fabian selalu berada di sampingnya, memberikan dukungan yang tak ternilai.
Seiring berjalannya waktu, Friska mulai menyadari bahwa meskipun ada keraguan dari beberapa kerabat, ia tetap memiliki dukungan dari keluarga inti Fabian. Ia bertekad untuk membuktikan diri sebagai menantu yang baik.
“Friska, kamu tidak perlu membuktikan apa pun kepada mereka. Yang penting adalah kita bahagia,” kata Fabian saat mereka berdua pulang dari reuni.
“Aku hanya ingin diterima,” jawab Friska, menghela napas.
“Jangan khawatir. Cinta kita adalah yang terpenting,” Fabian meyakinkan.
Friska pun bertekad untuk terus berjuang. Ia mulai mengorganisir berbagai acara kecil di rumah, mengundang kerabat Fabian secara perlahan. Ia ingin menunjukkan bahwa ia bisa menjadi bagian yang berharga dari keluarga.
*
Suatu malam, saat mereka sedang mengadakan makan malam keluarga, Friska melihat Ibu Rini tampak gembira. “Friska, ini adalah hidangan favoritku. Kamu benar-benar pandai memasak,” puji Ibu Rini.
Friska merasa harapannya terwujud. “Terima kasih, Bu. Saya ingin semua orang merasa nyaman.”
Setelah acara itu, beberapa kerabat mulai menghampiri Friska. Mereka memuji masakannya dan bahkan mengajak Friska untuk berdiskusi lebih lanjut.
“Sepertinya kamu benar-benar berusaha, Friska,” kata salah satu kerabat. “Kami bisa melihat bahwa kamu mencintai Aira.”
Mendengar itu, hati Friska bergetar. Ia merasa bahwa usahanya mulai membuahkan hasil.
Beberapa bulan kemudian, Ibu Rini mengadakan perayaan kecil untuk Aira yang sudah mulai bisa berjalan. Ia mengundang semua kerabat, termasuk Friska. Dalam suasana yang hangat, Ibu Rini berpidato.
“Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Friska. Dia telah menjadi ibu yang luar biasa untuk Aira. Cinta dan usaha yang dia tunjukkan tak ternilai,” ungkap Ibu Rini, menatap Friska dengan lembut.
Air mata menggenang di mata Friska. “Terima kasih, Bu. Saya hanya ingin yang terbaik untuk keluarga kita.”
Dengan kata-kata itu, Friska merasa diterima. Ia akhirnya merasakan kasih sayang yang tulus dari Ibu Rini dan semua orang di sekitarnya. Hari itu menjadi titik balik, ketika semua ketegangan berangsur sirna dan kebahagiaan sejati mulai tumbuh dalam keluarga mereka.
Seiring waktu, Friska semakin yakin akan perannya dalam keluarga. Hubungannya dengan Ibu Rini semakin akrab, dan mereka sering menghabiskan waktu bersama. Fabian merasa bangga melihat perkembangan ini, dan cinta di antara mereka bertiga semakin kuat.
“Friska, terima kasih telah menjadi bagian dari hidupku,” ujar Fabian suatu malam ketika mereka bersantai di teras rumah.
“Aku beruntung bisa mencintaimu dan menjadi bagian dari keluargamu,” jawab Friska dengan tulus.
Dalam perjalanan hidup yang penuh liku, mereka menemukan bahwa cinta dan usaha adalah dua hal yang bisa mengatasi segala tantangan. Meskipun awalnya Friska bukanlah menantu impian yang diharapkan, ia berhasil membuktikan bahwa cinta sejati tidak mengenal batas.
Dengan senyuman di wajah, Friska melihat Aira yang sedang bermain di halaman. Ia merasa bangga melihat bagaimana Aira tumbuh dalam lingkungan penuh cinta dan dukungan. Bersama Fabian dan Ibu Rini, mereka membangun keluarga yang hangat dan penuh kasih.
Friska menyadari bahwa meskipun perjalanan mereka tidak selalu mudah, setiap kerikil yang dilewati telah menjadikan cinta mereka semakin kuat. Dalam pelukan kasih sayang, mereka menemukan arti sebenarnya dari keluarga—sebuah perjalanan yang tidak hanya diukur oleh darah, tetapi oleh cinta dan komitmen yang tulus.
Dan di situlah Friska menemukan tempatnya—bukan sebagai menantu impian, tetapi sebagai istri dan ibu yang dicintai.
Tamat~