Sore hari di Desa Cibunian Salim memperhatikan gadis yang berdiri di tepi tebing curam yang sedang berombak besar. Jaraknya cukup jauh dari tempat nongkrongnya, tapi ketajaman matanya mampu melihat sebentuk kecantikan yang lebih indah dari warna pelangi.
"Ngapain cewek itu dari tadi berdiri di situ! Apa dia nggak takut nyungsep masuk ke jurang?"
Mula-mula Salim nggak mau ambil pusing soal cewek itu. Matanya asyik memperhatikan seekor ikan teri melompat-lompat, seakan sedang menunjukkan kebolehannya yang tak kalah lincah dengan lumba-lumba di Ancol. Salim hanya tertawa melihat ikan teri itu. Tak lama baru ia kembali mengamati gadis di seberangnya.
"Mau apa sih tuh cewek? Jangan-jangan mau bunuh diri. Gawat! Kalau gitu aku harus selamatkan gadis itu. Kalau nggak mau diselamatkan, aku jorokin saja biar cepat rampung!"
Sementara kemudian Salim berlari begitu cepat. Dalam waktu singkat ia sudah berada di belakang gadis yang sedang menangis itu.
"Kalau langsung aku tegur pasti dia kaget. Hmm, sebaiknya aku pura-pura batuk saja," pikir Salim. Maka terdengarlah suara seperti iklan obat batuk.
"Uhuk... uhuk...." Gadis itu tiba-tiba menengok.
"Uhuk, uhuk, uhuk, uhuuk... hoeek! Cuih!"
Gadis itu lalu menggumam, "Kasihan, masih muda, ganteng. Eh, punya penyakit bengek!"
Salim tidak tersinggung dan dipaksakan diri untuk tersenyum, lalu melangkah tiga langkah mendekati gadis itu. Tiba-tiba gadis berteriak, "Berhenti! Jangan mendekat lagi!"
"Loh, kenapa?"
"Aku mau bunuh diri! Aku enggak mau kau pegangi saat aku mau melompat nanti!"
"Kamu mau bunuh diri?"
"Ya, memang aku mau bunuh diri. Kalau kamu tidak percaya, lihat nih aku mau melompat!"
"Hiaaah ...!"
"Ee, eh ... tunggu dulu. Jangan bunuh diri, nanti kamu mati loh!"
"Memang aku kepingin mati!" sahutnya makin ketus.
"Lihatlah kalau nggak percaya, satu, dua, ti ..."
"Eeeh ... tunggu!" sergah Salim makin dekat tapi tak berani menyentuh gadis itu.
"Gila! Itu dada apa pabrik susu, kok gedenya membuat sesak napas orang yang memandang?" gumam Salim mengomentari keseksian si gadis berambut pirang itu.
"Apa masalah kamu, barangkali aku bisa membantu?" tanya Salim.
"Kamu nggak boleh tahu masalahku. Aku mau bunuh diri saja!"
"Ya, sudah. Aku mau pulang saja!"
"Aku mau bunuh diri beneran nih!"
"Silakan! Aku juga mau pulang beneran," kata Salim berlagak mau mengeloyor pergi dengan cuek.
"Baiklah, akan kuceritakan masalahku! Aku sedih," katanya dengan menunduk.
"Sedihnya itu kenapa? Jelaskan dong. Kalau cuma bilang, aku sedih. Semua orang tahu kalau kau sedang bersedih!"
Setelah diam sesaat gadis itu mulai bicara, "Namaku, Marie Helena van Denberg. Aku putri kedua dari keluarga Pieter van Denbarg."
"Oh, begitu. Lalu di mana tempat tinggalmu?"
"Desa Naga Jilu."
"Naga Jilu berapa?"
"Gaji gue kecil!" jawab Marie ketus.
"Baiklah. Terus, apa masalah kamu sehingga mau bunuh diri?"
"Aku ditolak kembali ke rumah. Aku tidak diaku anak lagi oleh ayahku, sebagai anak seorang Belanda."
"Memangnya kenapa?"
"Kelebihan personil, katanya!"
"Ha ha ha! Ya, sudah kita pulang ke rumah nenekku saja, tempat ini angker tahu. Nanti di perempatan sana kita naik odong-odong. Bagaimana?"
"Odong-odong?" Gadis itu sempat terkejut mendengar nama yang tidak ada di zamannya.
Tak berpikir lama, akhirnya gadis itu merasa senang kemudian, berjalan di belakang Salim untuk pulang ke rumah neneknya menaiki odong-odong.
Di sepanjang jalan Marie bernanyi, dan terlihat ia nampak bahagia sekali. Tidak kalah keseruannya Salim pun ikutan menyanyikan lagu berbahasa Belanda itu.
Arm Den Haag, dat is toch erg, dat jij maar niet vergeten kan
De klank van krontjong en van gamelan
In het Indisch restaurant gonst het gesprek van alle kant: Tempo doeloe, tempo doeloe in dat verre, verre land
Ach kassian, het is voorbij Kassian, het is voorbij
Den Haag, Den Haag, de weduwe van Indie ben jij
We kunnen hier heus wel Indisch eten thuis klaarmaken Sambal goreng telor, lontong, tahoe pecis
Alleen, de buren hebben het niet zo graag
En we kunnen hier ook heus wel tropische planten kopen
Zoals bijvoorbeeld kembang sepatoe Dat noemen ze hier hibiscus, hibiscus
En allerlei varens: canna's, gerbera', orchideeen
Maar het staat hier in de huiskamer toch heel anders
Dan daar in de vrije natuur, ja Trouwens, ze gaan allemaal dood bij de kachel
En weet u, ik heb thuis zo'n groot schilderij hangen.
Dat verbeeldt natuurlijk lndie, ja Adoe, beeldig, beeldig
Mooie groene sawah's, Klapperbomen
Links een karbouw met zo'n kleine katjong op z'n rug, ja
En rechts een pahman met zeven van die leuke kleine bebeks achter zich aan
Maar weet u, het schilderij, het krijgt hier geen licht genoeg
Weet u wat nog meer Meneer Le Clerque-Zubli hij komt ook nooit meer langs
Ach kassian, het is voorbij Kassian, het is voorbij
Den Haag, Den Haag, de weduwe van Indie ben jij
We kunnen hier heus wel Indisch eten thuis klaarmaken
"Siapa kamu punya nama?"
"Salim...!"
"Saleem?" tanya Marie.
"Ya, betul."
"Kamu suka bernyanyi juga?"
"Tidak...!"
"Kenapa?" Marie jadi penasaran karena baru saja ia bernyanyi bersama-sama.
"Aku cuma suka menangis!" jawab Salim sekenanya.
"Hahahaa... kamu lucu sekali, ya!" Marie tertawa geli mendengar Salim menjawab asal saja.
Keinginan Marie untuk bunuh diri tidak terjadi karena ia sudah meninggal puluhan tahun lamanya.
Ikuti terus cerpenku, yaa...
Jangan lupa follow😉