Maya duduk di samping ranjang rumah sakit, menggenggam tangan suaminya yang dingin dan tak bergerak. Mata Haris tertutup rapat, napasnya diatur oleh mesin yang berdengung lembut di latar belakang. Sudah tiga minggu sejak kecelakaan tragis itu, tiga minggu yang penuh dengan doa, air mata, dan harapan yang perlahan memudar. Dokter mengatakan bahwa Haris dalam keadaan koma, dan tidak ada yang bisa mereka lakukan kecuali menunggu. Kata-kata itu terasa seperti hukuman, seperti beban yang tak terangkat dari pundak Maya.
Namun, Maya belum pernah merasa selemah ini sebelumnya. Ia selalu menjadi orang yang kuat. Haris sering bercanda bahwa Maya bisa bertahan dalam badai apa pun. Tapi sekarang, badai itu menghantam hidup mereka dengan keras, dan Maya tak bisa menemukan jalan keluarnya.
Setiap hari, Maya datang ke rumah sakit. Ia berbicara kepada Haris, meskipun tahu suaminya tidak bisa mendengarnya. Kadang-kadang ia membaca buku yang disukai Haris, kadang ia hanya terdiam, berharap keajaiban terjadi. Hingga suatu sore, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Saat Maya menggenggam tangan Haris dengan lemah, ia mendengar suara. Lembut, jauh, tapi jelas.
"Maya... kenapa kamu di sini?"
Maya terperanjat, jantungnya berdetak kencang. Suara itu bukan berasal dari ruangan, bukan dari dokter atau perawat. Itu suara Haris. Tapi... Haris tidak bergerak, bibirnya tetap tertutup rapat. Suara itu... ada di dalam kepalanya.
“Ini pasti halusinasi,” gumam Maya, menarik tangannya dari genggaman Haris. Ia mundur satu langkah, menatap suaminya dengan mata penuh kebingungan. Tapi suara itu kembali terdengar.
"Aku takut... gelap di sini... di mana aku?"
Maya menutup mulutnya, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Tapi kemudian, ia sadar. Ini bukan halusinasi. Ini adalah suara hati Haris. Entah bagaimana, Maya bisa mendengar pikiran terdalam suaminya.
Maya melangkah maju lagi, mendekat ke tempat tidur Haris. “Haris? Apa kamu bisa mendengarku?” tanyanya dengan suara gemetar.
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Haris, tetapi dalam benak Maya, suara itu kembali terdengar, kali ini lebih lemah.
"Maya... aku nggak tahu harus bagaimana. Aku... nggak bisa bergerak. Nggak bisa melihat. Apa ini mimpi?"
Maya merasakan air mata mengalir di pipinya. Haris ada di sana, di suatu tempat yang jauh, tapi terperangkap. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Namun, mendengar suara hati Haris seperti memberikan secercah harapan, sebuah koneksi yang selama ini ia rindukan di tengah ketidakpastian ini.
Hari-hari berikutnya, Maya terus mendengar suara hati Haris. Setiap kali ia datang, suara itu semakin jelas. Kadang, Haris hanya berbicara tentang kenangan masa lalu, tentang pertemuan mereka di kampus, tentang perjalanan ke pantai pertama mereka, bahkan tentang kebiasaan kecil Maya yang sering membuat Haris tersenyum.
"Kamu selalu tidur dengan buku di dada, tahu nggak? Aku kadang suka nunggu buku itu jatuh karena kamu pasti lupa menaruhnya di samping."
Maya tersenyum kecil mendengar itu. Tapi ada kalanya suara Haris menjadi lebih kelam, mencerminkan ketakutan yang ia alami dalam kegelapan pikirannya.
"Aku merasa terjebak, Maya. Aku nggak tahu caranya kembali. Aku takut kamu pergi."
Maya berusaha meyakinkan Haris, meskipun ia tidak tahu apakah suaminya benar-benar bisa mendengarnya. Setiap kali Haris merasa gelap atau takut, Maya akan bicara, membisikkan kata-kata penghiburan.
"Aku nggak akan kemana-mana, Haris. Aku di sini. Aku akan selalu di sini," katanya setiap hari.
Namun, semakin lama kemampuan ini, Maya mulai menyadari sesuatu yang lebih dalam. Di antara percakapan yang mereka "lakukan," Maya mulai mendengar rahasia-rahasia yang selama ini tersimpan di dalam hati Haris. Suatu sore, ketika Maya sedang duduk di samping Haris, suara suaminya terdengar samar tapi penuh beban.
"Aku selalu khawatir nggak cukup baik buat kamu, Maya. Aku nggak pernah bilang, tapi aku merasa kamu pantas dapat yang lebih baik. Aku nggak pernah tahu caranya menunjukkan kalau aku sayang kamu, dengan benar."
Maya terdiam. Kata-kata itu seperti menghantamnya. Ia tidak pernah tahu Haris merasa seperti itu. Di matanya, Haris selalu menjadi suami yang baik, meski ada banyak kekurangan. Tapi sekarang, mendengar keraguan Haris yang tak pernah terungkap selama ini, Maya mulai merasakan sakit yang berbeda. Ia ingin menenangkan Haris, ingin mengatakan bahwa cinta mereka selama ini cukup. Tapi bagaimana bisa ia meyakinkan seseorang yang bahkan tidak sadar?
Hari-hari berikutnya, Maya terus mendengar lebih banyak. Tentang ketakutan Haris akan masa depan, tentang harapan-harapan yang tak pernah terucapkan, bahkan tentang rasa bersalah kecil yang Haris simpan di hatinya.
Suatu hari, suara Haris terdengar lebih jelas daripada sebelumnya.
"Maya... aku nggak pernah bilang soal ini, tapi aku takut kehilangan kamu sejak awal. Aku takut kalau suatu hari kamu sadar aku bukan orang yang tepat buat kamu."
Maya merasa dadanya sesak. Selama ini, Haris selalu tenang, penuh percaya diri di luar. Tapi di dalamnya, ada rasa tidak aman yang ia sembunyikan. Maya ingin menjerit, ingin berkata bahwa Haris adalah cinta sejatinya, bahwa tidak ada yang lebih baik daripada mereka bersama.
Tapi, seiring dengan suara hati Haris yang semakin sering terdengar, Maya mulai merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Kemampuan ini, meski awalnya membawa penghiburan, kini terasa seperti beban. Maya mulai merasa tenggelam dalam pikiran dan perasaan Haris, seakan-akan kehidupannya sendiri terserap ke dalam suaminya yang koma. Ia mulai kehilangan dirinya.
Suatu malam, Maya duduk sendirian di samping Haris, suara hati suaminya terdengar samar.
"Maya... aku ingin kembali. Aku ingin bangun. Tapi aku takut. Takut kalau ketika aku bangun, kamu sudah nggak ada di sini lagi."
Maya menghela napas panjang. Ini adalah malam di mana semuanya berubah. Ia menyadari bahwa meski ia bisa mendengar suara hati Haris, ia tidak bisa terus hidup hanya untuk mendengarnya. Ada batas antara dunia mereka, dan Maya harus memilih, terus terikat pada pikiran Haris, atau melepaskan dan melanjutkan hidup.
"Dengarkan aku, Haris," ucap Maya dengan suara pelan, meski ia tahu Haris mungkin tidak akan mendengarnya dengan cara yang biasa. "Aku sayang kamu. Kamu nggak perlu takut. Tapi aku juga nggak bisa terus seperti ini. Aku harus biarkan diriku hidup lagi."
Air mata mengalir di pipinya saat ia berbicara. Maya mencium dahi Haris, menggenggam tangannya untuk terakhir kalinya malam itu. Dalam hati, ia berjanji tidak akan pernah menyerah. Namun, ia juga tahu bahwa ia harus memberi ruang pada dirinya sendiri untuk bernapas.
Suara Haris masih terdengar, tapi Maya perlahan mulai belajar untuk tidak selalu mendengarkannya.
Beberapa bulan kemudian, Haris masih belum terbangun, tetapi Maya sudah mulai menerima kenyataan. Ia masih datang ke rumah sakit setiap hari, masih menggenggam tangan suaminya, tetapi ia juga mulai kembali ke kehidupannya. Di dalam dirinya, ada kedamaian yang perlahan tumbuh. Mungkin Haris akan bangun suatu hari nanti, atau mungkin tidak. Tapi Maya tahu, cinta mereka akan selalu ada, meskipun dalam keheningan.
Dan di dalam hati, Maya berjanji pada dirinya sendiri bahwa suara-suara yang tersisa akan selalu menjadi bagian dari dirinya, tetapi tidak akan lagi mengikatnya pada masa lalu.