Langit sore itu tampak sedikit mendung, tapi di dalam kelas yang sepi, suasana hati Dika terasa jauh lebih mendung. Ia duduk di bangkunya, menatap jendela dengan pikiran yang melayang jauh. Di tangannya, ada selembar kertas kecil yang sudah berulang kali ia baca, kertas itu berisi tulisan yang membuat hatinya berdebar lebih cepat setiap kali membacanya. Sebuah surat cinta.
Namun, masalahnya adalah bukan Dika yang menulisnya. Surat itu berasal dari Karin, teman sekelasnya yang sudah lama diam-diam ia sukai.
"Kenapa harus ke dia?" gumam Dika dengan perasaan sedikit getir.
Surat itu ditujukan untuk Bagas, sahabatnya sendiri. Bagas, siswa yang populer dan selalu dikelilingi teman-teman. Karin menyelipkan surat itu ke dalam laci meja Dika pagi tadi, meminta tolong agar Dika menyerahkannya kepada Bagas, seolah-olah itu hal yang biasa saja. Tapi bagi Dika, tugas sederhana itu terasa seperti beban besar yang menghancurkan hatinya perlahan.
“Karin…” gumamnya lagi, kali ini lebih pelan, seolah-olah memanggil namanya dalam hati bisa meringankan sedikit rasa sesak di dadanya.
Dika sudah menyukai Karin sejak tahun pertama SMA. Dari cara Karin tersenyum, caranya tertawa, hingga caranya bicara, semua terasa begitu sempurna di mata Dika. Tapi, selama ini ia tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Ia takut merusak persahabatan mereka. Karin selalu melihat Dika sebagai teman baik, tempatnya curhat, tertawa, dan mengeluh tentang kehidupan sehari-hari. Dan Dika, yang tak pernah ingin merusak hubungan itu, memilih menyimpan perasaannya rapat-rapat.
“Sudah jam segini?” gumam Dika saat melihat jam di dinding. Bel pulang sekolah sudah berbunyi, tapi ia tetap enggan beranjak. Bagas pasti sudah menunggu di kantin seperti biasa. Sekarang Dika harus memberikan surat itu, meskipun hatinya terasa berat.
**
Di kantin, Bagas duduk santai di meja pojok, menikmati jus jeruknya sambil bercanda dengan teman-teman. Dika berjalan mendekat, mencoba menyembunyikan kegelisahannya di balik senyum yang dipaksakan.
“Hai, Gas,” sapanya sambil duduk di kursi kosong di samping sahabatnya itu.
“Eh, bro! Ngapain lama banget? Udah hampir habis nih jus gue,” Bagas tertawa.
Dika menghela napas panjang sebelum mengeluarkan surat itu dari sakunya. Ia meletakkannya di meja dengan hati-hati. “Ini buat lo, Gas.”
Bagas mengerutkan kening. “Apa ini?”
“Surat. Dari Karin,” jawab Dika dengan suara rendah.
Begitu nama Karin disebut, Bagas langsung tertawa lebar. “Karin? Serius? Wah, cewek itu nggak pernah keliatan naksir siapa-siapa sebelumnya.”
Dika hanya tersenyum kecil, meskipun hatinya sakit. Bagas mulai membuka surat itu, membaca isinya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Setelah beberapa detik, Bagas menatap Dika dengan senyum setengah menggoda.
“Kayaknya dia suka sama gue nih,” kata Bagas dengan nada santai.
“Hm, iya,” Dika mencoba menahan nada suaranya agar tetap biasa saja. Ia tidak ingin Bagas tahu bahwa sebenarnya hatinya hancur saat ini.
Bagas melipat surat itu kembali, memasukkannya ke dalam sakunya, lalu meminum sisa jusnya. “Gue nggak tau, bro. Gue nggak terlalu mikirin cewek sekarang. Lagi sibuk basket dan pelajaran. Tapi, ya, siapa tau bisa jalan bareng dulu.”
“Lo bakal bales suratnya?” tanya Dika dengan sedikit gugup.
“Gue pikirin dulu deh. Lagian kita masih kelas dua, bro. Nggak mau buru-buru.” Bagas berdiri dari kursinya. “Thanks udah jadi kurir cinta, bro,” tambahnya sambil menepuk bahu Dika.
Dika tersenyum kecut, mengangguk. “Iya, Gas. Nggak masalah.”
Bagas melangkah pergi, meninggalkan Dika yang masih terdiam di tempat. Kepalanya penuh dengan pikiran-pikiran yang bergejolak. Mengapa ia tidak pernah berani mengatakan perasaannya? Mengapa justru sekarang, ketika Karin menyukai sahabatnya, ia merasa lebih sakit daripada sebelumnya?
**
Beberapa hari berlalu, dan Dika terus menyimpan perasaannya dalam diam. Setiap kali bertemu Karin, ia berpura-pura semuanya baik-baik saja, meskipun di dalam hatinya, ada rasa sakit yang semakin dalam. Hingga suatu hari, di lorong sekolah, Karin menghampiri Dika dengan senyum lebar.
“Dika! Makasih ya kemarin udah kasih suratnya ke Bagas.”
Dika mengangguk canggung. “Iya, nggak masalah.”
“Tapi… dia nggak bales suratku, ya?” tanya Karin, nada suaranya mulai berubah sedikit khawatir.
Dika menghela napas. “Belum, sih. Tapi Bagas emang lagi fokus sama basket sekarang. Dia mungkin nggak mau buru-buru.”
Karin tertawa kecil, meskipun senyumnya sedikit pudar. “Ya, aku ngerti. Tapi aku lega udah ngungkapin perasaanku. Kadang, kalau kita terlalu lama diam, perasaan itu malah nyakitin diri kita sendiri, kan?”
Dika menatap Karin dalam diam, merasakan betapa benarnya kata-kata itu. Ia terlalu lama diam, dan sekarang perasaannya menjadi beban yang ia tanggung sendiri.
“Lun, aku… mau ngomong sesuatu,” ucap Dika tiba-tiba.
Karin mengangkat alisnya. “Ada apa?”
“Sebenernya… ada hal yang udah lama pengen aku bilang. Tentang kita.” Dika terdiam sejenak, merasakan dadanya berdebar semakin kencang. Tapi ia tahu, ini saatnya. Ia tidak bisa terus-terusan diam.
“Aku suka sama kamu, Karin,” lanjut Dika akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. “Dari dulu, dari pertama kali kita ketemu di kelas satu, aku selalu suka sama kamu. Tapi aku terlalu takut buat ngungkapinnya.”
Karin terdiam, jelas tidak menyangka mendengar pengakuan itu dari Dika. Ia menatap Dika dengan mata besar, seakan mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakannya.
“Dik…” Karin akhirnya berbicara, suaranya lembut. “Kamu… kenapa nggak bilang dari dulu?”
Dika tersenyum pahit. “Karena aku takut merusak persahabatan kita. Dan sekarang aku malah makin terlambat…”
Karin menatap Dika dengan tatapan yang sulit diartikan, lalu ia menghela napas panjang. “Dik, kamu tahu kan kalau aku udah suka sama Bagas. Tapi… aku juga nggak tahu kalau kamu ngerasain hal ini selama ini.”
“Iya, aku tahu,” jawab Dika dengan tenang, meskipun hatinya masih terasa sakit. “Aku nggak minta apa-apa, Lun. Aku cuma nggak mau diam lagi. Setidaknya, aku udah bilang apa yang aku rasain.”
Karin tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. “Aku ngerti, Dik. Dan aku seneng kamu udah jujur. Kamu adalah teman yang sangat berarti buat aku. Dan aku harap… kita masih bisa kayak dulu.”
Dika menatap mata Karin, lalu tersenyum. Meskipun rasa sakit itu masih ada, ia merasa lega. Setidaknya, beban di dadanya sedikit berkurang. Ia tahu, cinta pertamanya mungkin tidak akan berakhir dengan cara yang ia inginkan, tetapi setidaknya ia sudah berani mengungkapkannya.
“Iya, Lun,” jawab Dika akhirnya. “Kita tetap teman. Selalu.”
Karin tersenyum hangat sebelum melangkah pergi. Dika memandangi punggungnya yang perlahan menjauh, dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa damai dengan perasaannya. Meski cinta pertamanya tak terbalas, Dika tahu bahwa ada banyak hal yang lebih penting dari itu, keberanian untuk jujur pada diri sendiri, dan menghargai setiap momen yang pernah ia alami bersama Karin.