Ran tidak pernah menyukai matematika selama hidupnya. Berawal dari saat ia masih sangat kecil dan dituduh mencontek pada teman sebangkunya oleh gurunya sendiri karena nilai matematimanya sempurna. Ran marah dan marah tetapi terlalu sopan untuk menunjukkannya pada gurunya, jadi dia muak setiap melihat angka dan sejak saat itu ia tidak begitu berusaha keras untuk nilai matematikanya.
Tidak memedulikan pelajaran matematika bukan berarti dia bodoh, dia cukup pintar dan itu adalah masalahnya. Seberapapun dia membenci matematika dia selalu menemukan dirinya dengan nilai yang cukup untuk lulus dan cukup bagus untuk menjadi bagian dari Oxford.
Bergaul adalah masalah terkecil yang sangat mudah untuk diatasi. Uang membawa teman, cukup keliarkan beberapa lembar dari dompet dan membayar minuman, maka mereka akan sukarela berada disekitarmu dan Ran bukan gadis yang menyia-nyiakan privilage semacam itu.
Pesta dan mabuk adalah hal terakhir yang ia sukai—dengan kata lain dia tidak menyukainya. Dia hanya minum segelas dan membiarkan teman-teman yang dia beli dengan uang mabuk untuk mengabaikannya. Lucu sekali kan, mencari teman hanya untuk diabaikan. Yang penting Ran tidak diasingkan atau merasa terasing dan ditinggalkan.
Sejauh ini tidak ada yang mengusiknya kecuali seorang laki-laki berkacamata dengan kemeja aneh yang dimasukkan ke dalam celana longgarnya yang selalu melempar tatapan jijik setiap kali ia bersama teman-temannya di bar atau bahkan saat Ran hanya sendiri.
Pria bernama Andrew Johnson—seorang kutu buku yang sangat terkenal karena kejeniusannya dan juga terasing. Dia duduk di tempat biasa dia duduk di perpustakaan, di ujung, dekat dengan meja yang biasa digunakan Andrew Johnson.
Mereka memiliki alasan berbeda dalam memilih tempat duduk itu. Andrew menginginkan ketenangan dan Ran tidak jauh berbeda meski ketenangan itu bukan untuk menyerap ilmu melainkan tidur dan menghindari teman-teman penjilatnya. Namun, meski matanya termejam dia masih bisa merasakan tatapan Andrew.
Ran sudah berada di titik tidak tahan dengan tatapannya yang menyebalkan sekaligus panas kalau bisa dikatakan. Jadi, dia mengangkat kepalanya dari meja dan menyangga dengan tangan menatap di samping.
"Tidak pernah bosan menatapku, Johnson?"
Pria itu dengan cepat mengalihkan pandangan dan mendengus, tetapi rona merah di telinganya itu tidak luput dari pandangan Ran.
"Kau menyukaiku ya?"
Akhirnya pria itu berbicara. "Kau bicara dengan hantu?"
"Aku menyebut namamu tadi, Johnson, Andrew Johnson." Ran sengaja menyebut nama pria itu dengan cara yang panas dan setengah berbisik.
Sekarang bukan hanya telinganya yang merah tetapi juga pipinya. Lucunya..
"Kalau begitu kau tidak bisa membedakan tatapan suka dan jijik." Hidung Andrew mengerut. "Tidak heran kau buta dalam memilih teman."
"Hm? Teman-teman mana yang kau bicarakan?" Tentu saja Ran tau siapa yang dimaksud pria berkacamata itu. Teman-teman bodohnya, cih.
"Tentu saja teman-temanmu yang menjijikan itu, hidup dengan uang orangtua dan masih menjilati sepatumu. Haaa aku lupa kau juga termasuk."
Ran tertawa, mengabaikan desisan dari pengunjung perpustakaan lain. "Haha, lucu sekali Johnson, tapi kau bicara fakta."
"Ya, kalian anak-anak manja yang masuk tanpa usaha dan hanya mabuk dan bercinta, menjijikan."
Ran tidak bisa tidak memerhatikan bibirnya yang terlihat lembut dan rahangnya yang tajam. Tetapi kemudian matanya melotot mendengar tuduhan dia masuk oxford tanpa usaha? Yang benar saja?
"Kau menyebutku bodoh, Johnson?"
"Aku tidak mengatakannya, kau yang mengatakannya."
"'Kalian' kau bilang, kau salah kalau menyamakanku dengan anak-anak bodoh itu." Ran beranjak dan berjalan menghampiri meja Andrew. Tangannya meluncur di atas meja saat ia membungkuk di samping Andrew. "Aku mungkin memakai uang ayahku untuk banyak hal, tetapi kalau kau mengira aku masuk dengan bantuannya maka kau salah besar dan aku cukup tersinggung."
Telinga Andrew memerah namun wajahnya masih mengerut tak suka dan menatapnya penuh dengki. Demi apapun itu sangat lucu untuk Ran. Jadi, gadis itu berniat untuk sedikit mempermainkannya.
Tangan Ran terulur menyentuh bahu Andrew dan menyapu ke belakang tengkuknya saat dia mendekatkan bibirnya di telinganya.
"Mabuk dan bercinta, seolah kau tidak melakukannya? Tapi sayang sekali kau salah tentangku mengenai keduanya." Ran menyisipkan jari-jarinya di antara rambut Andrew dan membelainya lembut. "Dan aku tidak ingin bercinta dengan sembarangan pria."
Ran melihat bibir Andrew terbuka menikmati sentuhannya, gadis itu menahan senyumnya dan melepaskan tangannya dari Andrew.
"Well, sampai jumpa Johnson."
Ran berjalan kembali mejanya dan menyambar tasnya sebelum melangkah pergi melewati Andrew yang menghirup dalam-dalam aroma parfum yang ditinggalkannya di udara sekitarnya.
Gadis itu menggeleng dan tertawa disepanjang jalan, mengabaikan tatapan mahasiswa lain. Dia masih bisa mengingat eskpresi Andrew dan betapa pria itu tidak berkutik dibawah sentuhannya.
"Hanya sentuhan ringan dan dia tidak bisa mengoceh." Ran mengangkat telapak tangannya di depannya. "Cowok kutu buku yang mendambakan sentuhan, ya.."
...
Kalo dipikir-pikir, kayaknya mending dibikin cerita bersambung ya??