Langit sore itu dipenuhi oleh warna abu-abu. Awan menggantung rendah, seperti selimut berat yang menekan kota di bawahnya. Gedung-gedung bertingkat mencakar langit, dingin dan tanpa jiwa, berdiri di antara jalan-jalan yang dipenuhi kendaraan yang bergerak perlahan, seperti orang-orang yang sudah lelah dengan hidup mereka. Di tengah keramaian kota yang tak pernah tidur, seorang pemuda bernama Haris merasa dirinya terjebak, terkekang oleh kehidupan yang serba cepat dan monoton.
Haris duduk di dalam kamar apartemennya yang kecil, di lantai 20 sebuah gedung tua di tengah kota. Kamar itu penuh dengan benda-benda yang ia beli dengan gaji bulanan, tetapi tak satu pun dari mereka memberi kebahagiaan. Di luar jendela, ia bisa melihat lalu lintas yang merayap di jalan raya yang macet. Suara klakson mobil yang tak pernah berhenti, gemuruh mesin, dan suara langkah kaki di trotoar menjadi latar belakang konstan dalam hidupnya. Namun, Haris merasa terasing dari semua itu, dari keramaian, dari suara-suara, bahkan dari dirinya sendiri.
Ia meraih cangkir kopi yang sudah dingin dan menyesapnya dengan enggan. Matanya yang cekung menatap layar laptop di hadapannya, di mana sebuah dokumen kosong terbuka sejak beberapa jam lalu. Sudah beberapa bulan sejak ia meninggalkan pekerjaan kantornya di sebuah perusahaan periklanan, berharap mengejar mimpi menjadi penulis. Tapi setiap kali ia mencoba menulis, kegelisahan itu datang menyerang, merayap ke dalam pikirannya dan melumpuhkan jari-jarinya di atas keyboard.
“Kosong,” gumamnya pelan. “Semuanya kosong.”
Ponselnya berbunyi di atas meja, menggetarkan permukaan kayu yang mulai retak. Sebuah pesan masuk dari grup obrolan teman-teman lamanya: undangan reuni di kafe akhir pekan ini. Haris membaca pesan itu dengan tatapan hampa. Mereka semua sekarang bekerja di perusahaan-perusahaan besar, menikah, punya anak, dan tampak begitu mapan dalam hidup mereka. Sementara dia? Masih duduk di sini, di kamar kecilnya, tanpa pencapaian berarti.
Haris menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya ke kursi. Udara di dalam kamar terasa pengap. Dia bangkit, membuka jendela, berharap angin segar bisa membantu menenangkan pikirannya. Tetapi yang dia dapatkan hanyalah bau asap knalpot yang menusuk hidung dan deru kota yang semakin keras.
Di luar, orang-orang berjalan dengan cepat, kepala menunduk, mata mereka terfokus pada layar ponsel. Tak ada yang saling menatap, seolah-olah mereka hanyalah bayangan-bayangan yang melewati satu sama lain. Haris memperhatikan mereka dengan cermat. Seorang ibu dengan dua anaknya yang terlihat letih, seorang pria berjas yang tergesa-gesa sambil berbicara di telepon, seorang remaja yang berjalan lamban dengan ransel besar di punggungnya. Mereka semua tampak sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing, tetapi Haris bisa merasakan sesuatu yang lain—sebuah kesunyian yang aneh di antara kerumunan itu.
“Mungkin mereka juga merasakan hal yang sama,” pikir Haris. “Mungkin mereka juga terjebak dalam rutinitas ini.”
Haris menutup jendela, kembali duduk di kursinya, dan menatap layar laptop lagi. Kata-kata yang ingin ia tulis terasa seperti beban yang terlalu berat untuk diangkat. Kegelisahan terus membayangi dirinya—kegelisahan tentang masa depan, tentang apa yang akan terjadi jika ia gagal, dan apa yang akan ia lakukan jika mimpinya tak pernah terwujud.
**
Dua hari kemudian, Haris memutuskan untuk datang ke reuni itu. Bukan karena ia ingin, tetapi karena ia tak tahan lagi dengan kesendiriannya. Ia berharap dengan bertemu orang-orang lama, ia bisa merasa lebih hidup, lebih terhubung dengan sesuatu.
Reuni diadakan di sebuah kafe kecil di sudut kota, tempat yang dulu sering mereka kunjungi ketika masih mahasiswa. Saat Haris masuk, ia langsung disambut oleh suara tawa dan obrolan yang riuh. Teman-teman lamanya tampak berubah, lebih dewasa, lebih sibuk, tapi tawa mereka tetap sama seperti dulu.
“Haris! Sudah lama, bro!” seseorang berseru sambil menepuk bahunya. Itu Aldo, teman sekelasnya yang kini bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan besar.
Haris tersenyum tipis, lalu duduk di meja bersama mereka. Perbincangan mengalir dengan mudah, tentang pekerjaan, pernikahan, anak-anak, investasi, dan liburan ke luar negeri. Haris mendengarkan semua itu dengan saksama, tapi di dalam hatinya, ia merasa semakin jauh dari mereka. Kehidupan mereka tampak begitu mapan, begitu jelas arahnya, sementara dirinya masih terombang-ambing tanpa tujuan.
“Kau sendiri bagaimana, Ris?” tanya Aldo tiba-tiba, memecah lamunannya. “Masih dengan tulisanmu?”
Haris terdiam sejenak, merasa ragu harus menjawab apa. “Ya, masih coba-coba,” jawabnya akhirnya. “Belum ada yang selesai, tapi... masih berusaha.”
“Ah, itu bagus,” Aldo tersenyum, tapi ada sedikit keraguan di matanya. “Tapi, kapan-kapan kalau kau butuh pekerjaan, kabari aku, ya? Aku bisa kenalkan kau ke beberapa orang di kantor.”
Ucapan itu, meskipun terdengar ramah, membuat Haris merasa seperti dihantam palu. Aldo seolah mengatakan bahwa mimpinya menulis tak akan pernah membuahkan hasil, bahwa pada akhirnya, ia harus kembali ke kehidupan yang ia tinggalkan, pekerjaan kantoran, rutinitas sembilan hingga lima, dan kebahagiaan palsu yang ditawarkan oleh stabilitas ekonomi.
Sepanjang malam, Haris merasa semakin tertekan. Semua orang di ruangan itu tampak puas dengan hidup mereka, atau setidaknya mereka pandai berpura-pura. Tapi Haris tidak bisa berpura-pura. Ketika akhirnya pertemuan itu berakhir dan Haris berjalan pulang melalui jalan-jalan yang lengang, kegelisahan dalam dirinya terasa semakin menguat. Dunia di sekelilingnya, gedung-gedung tinggi dan lampu kota yang berkilauan, terasa begitu asing. Ia seperti berada di dunia yang tak lagi dikenalnya.
**
Beberapa minggu berlalu, dan Haris mulai merasa dirinya semakin tenggelam dalam kehampaan. Setiap hari terasa sama, bangun, duduk di depan laptop, mencoba menulis, lalu gagal. Setiap malam ia menatap langit-langit kamarnya, bertanya-tanya apa yang salah dengan dirinya. Ia merasa terjebak di antara dua dunia, dunia tempat ia ingin hidup, penuh kreativitas dan kebebasan, dan dunia tempat ia merasa harus berada, penuh tanggung jawab dan keteraturan.
Suatu malam, ketika ia tidak bisa tidur, Haris memutuskan untuk keluar dan berjalan-jalan di sekitar apartemennya. Udara malam terasa dingin, dan jalanan sepi dari keramaian biasanya. Tanpa tujuan yang jelas, Haris melangkah ke arah taman kota yang tidak jauh dari tempatnya tinggal. Di sana, ia duduk di bangku kayu tua yang menghadap ke air mancur yang sudah berhenti mengalir.
Selama beberapa saat, ia hanya duduk diam, mendengarkan suara angin yang berdesir pelan di antara pepohonan. Kegelisahan yang terus menghantuinya selama berminggu-minggu masih ada di sana, tapi di dalam kesunyian malam itu, ada sesuatu yang berubah. Haris mulai menyadari bahwa ia bukanlah satu-satunya yang merasa seperti ini. Dunia di sekelilingnya penuh dengan orang-orang yang mungkin mengalami hal yang sama, terjebak di antara harapan dan kenyataan, di antara mimpi dan kewajiban.
Di kejauhan, suara langkah kaki terdengar mendekat. Seorang wanita muda, dengan jaket tebal dan syal panjang, duduk di bangku yang sama, tidak jauh dari Haris. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap ke arah yang sama, ke air mancur yang mati.
“Kadang-kadang,” kata wanita itu tiba-tiba, suaranya pelan tapi jelas, “hidup ini terasa seperti mimpi yang tidak pernah selesai.”
Haris menoleh, terkejut dengan ucapannya. Ia tidak mengenal wanita itu, tapi entah kenapa, kata-katanya terasa begitu familiar, begitu dekat dengan perasaannya sendiri.
“Ya,” jawab Haris pelan, “seperti kita terus berjalan, tapi tidak pernah benar-benar sampai.”
Wanita itu tersenyum kecil, tapi matanya tampak sedih. “Aku sering merasa seperti itu. Seperti semua yang kita lakukan hanyalah pengalihan sementara... agar kita tidak harus menghadapi kenyataan bahwa kita tidak tahu apa yang kita inginkan.”
Haris merasakan benarnya kata-kata itu. Selama ini, ia terus mencoba menulis, mencoba mencari makna, tapi mungkin yang ia hindari bukanlah kegagalan, melainkan kenyataan bahwa ia tidak benar-benar tahu apa yang ia kejar.
“Dan kadang,” lanjut wanita itu, “...kita hanya perlu berhenti sejenak.”
Wanita itu menyelesaikan kalimatnya dengan nada lembut, nyaris seperti bisikan yang lenyap tertelan angin malam. Haris memandangi wajahnya yang tertunduk, rambutnya tergerai ditiup angin, dan ia merasakan sesuatu yang berbeda. Entah bagaimana, kehadiran wanita itu menenangkan. Ada kedamaian dalam keheningan di antara mereka.
“Berhenti sejenak?” Haris mengulang kata-katanya, agak ragu.
Wanita itu menoleh padanya, tersenyum samar. “Ya. Kadang kita terlalu keras memaksa diri. Terlalu fokus pada apa yang seharusnya kita capai hingga lupa bahwa hidup ini bukan tentang tujuan akhir. Ada hal-hal kecil di sepanjang perjalanan yang sering kita abaikan.”
Haris menatap ke arah air mancur yang mati, mencoba mencerna kata-kata wanita itu. Selama ini, ia selalu merasa harus terus bergerak, terus mengejar sesuatu yang tidak pasti. Ada dorongan yang tak pernah berhenti untuk membuktikan bahwa ia bisa mencapai sesuatu, bahwa hidupnya punya makna. Tetapi apa arti dari semua itu jika yang ia rasakan hanyalah kekosongan dan kegelisahan?
“Lalu,” Haris berkata pelan, “bagaimana kita tahu kapan harus berhenti?”
Wanita itu tertawa kecil, seolah pertanyaan Haris menggelitiknya. “Kita tidak pernah benar-benar tahu. Tapi saat hati kita merasa begitu lelah, seperti tak ada lagi energi untuk melanjutkan, mungkin itulah saatnya berhenti sebentar. Bukan menyerah, tapi memberi diri kita ruang untuk bernapas.”
Haris terdiam. Kata-katanya sederhana, namun mengandung kedalaman yang sulit dijelaskan. Ia tidak mengenal wanita ini, mereka bahkan belum saling memperkenalkan diri. Tapi anehnya, ia merasa telah mengenalnya sejak lama. Seperti seorang teman lama yang tiba-tiba muncul di momen yang tepat.
“Namaku Haris,” katanya akhirnya, memecah keheningan. “Aku penulis… atau setidaknya sedang mencoba menjadi penulis.”
Wanita itu tersenyum lebih lebar, kali ini dengan sedikit rasa hangat. “Senang bertemu denganmu, Haris. Namaku Maya. Aku… hanya seseorang yang juga sedang mencari jalannya.”
“Jalannya?” tanya Haris, penasaran.
Maya menatap langit malam yang dipenuhi awan gelap. “Aku bekerja di bidang yang tidak kusukai selama bertahun-tahun. Rutinitas yang melelahkan, kehidupan yang hanya soal uang dan status. Pada akhirnya, aku berhenti. Tapi sekarang, aku tidak benar-benar tahu apa yang kucari. Mungkin itu sebabnya aku sering datang ke sini, mencari sesuatu… entah apa itu.”
“Apakah kau menemukannya?” tanya Haris dengan jujur.
Maya terdiam, merenung. “Mungkin tidak. Tapi aku mulai menyadari bahwa tidak menemukan sesuatu bukan berarti hidup kita sia-sia. Kadang, proses mencari itu sendiri adalah bagian penting dari hidup.”
Haris merasa setiap kata yang keluar dari mulut Maya seperti cermin dari apa yang selama ini ia rasakan. Dia sendiri sedang mencari, mencari makna, mencari tujuan, mencari kepuasan yang tak pernah datang. Tapi apa yang Maya katakan membuatnya berpikir 'mungkin mencari itu sendiri adalah tujuannya'. Mungkin perjalanan tanpa kepastian ini bukanlah sesuatu yang salah.
“Setiap orang terjebak dalam kerumunan,” kata Maya, suaranya kembali tenang. “Kita semua bergerak cepat, mengikuti arus, dan seringkali lupa untuk bertanya pada diri sendiri apa yang sebenarnya kita inginkan. Tapi, di tengah keramaian itu, ada momen-momen kecil yang bisa kita temukan. Sesuatu yang mungkin tidak pernah kita sadari jika kita terlalu fokus pada tujuan akhir.”
Haris mengangguk, meskipun pikirannya masih bergulat dengan konsep itu. Ia menatap lagi ke arah air mancur, mendengar sayup-sayup suara kota di kejauhan. Malam itu terasa berbeda, seperti ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Bukan karena ia menemukan jawaban atas semua pertanyaannya, tetapi karena ia merasa bahwa mungkin tidak apa-apa untuk tidak tahu semuanya sekarang.
Setelah beberapa saat dalam keheningan, Maya berdiri. “Aku harus pergi,” katanya dengan senyum yang ramah. “Semoga kau bisa menemukan apa yang kau cari, Haris.”
Haris menatapnya dengan tatapan penuh terima kasih. “Terima kasih, Maya. Aku rasa… aku butuh mendengar ini.”
Maya mengangguk ringan, lalu berjalan menjauh, langkahnya tenang dan mantap. Haris mengawasinya hingga sosoknya hilang di balik bayangan gedung-gedung kota.
**
Keesokan harinya, Haris bangun dengan perasaan yang sedikit berbeda. Ia masih merasakan kegelisahan, tapi kali ini tidak lagi menakutkan. Mungkin, seperti yang Maya katakan, tidak apa-apa untuk merasa hilang. Tidak apa-apa untuk memberi diri sendiri waktu. Setelah sekian lama memaksa dirinya untuk terus bergerak, mungkin inilah saatnya untuk berhenti sejenak dan melihat dunia di sekitarnya dengan lebih jernih.
Haris duduk di depan laptopnya, membuka dokumen yang sama dengan hari-hari sebelumnya. Namun kali ini, dia tidak lagi merasa tertekan oleh halaman kosong. Alih-alih memikirkan apa yang seharusnya ia tulis, ia membiarkan jemarinya bergerak sendiri, menuliskan apapun yang muncul dalam benaknya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, Haris menulis tanpa rasa takut akan hasil akhirnya.
Kata-kata mengalir dengan mudah, dan meskipun tidak sempurna, Haris merasa lega. Ia menyadari bahwa yang terpenting bukanlah apakah ia berhasil menyelesaikan naskah itu atau tidak, melainkan proses menulis itu sendiri yang membuatnya merasa hidup.
Setelah beberapa jam menulis, Haris berhenti dan menatap ke luar jendela. Kota yang biasanya tampak begitu menyesakkan kini terasa lebih damai. Ia melihat orang-orang yang berjalan di trotoar, masih sibuk dengan hidup mereka masing-masing, namun kali ini Haris tidak merasa terasing. Ia mulai mengerti bahwa semua orang memiliki beban yang mereka bawa, entah itu kegelisahan, ketakutan, atau harapan. Mungkin itulah yang membuat kita tetap bergerak, perjuangan untuk menemukan makna di tengah kekacauan hidup.
Haris menarik napas dalam-dalam dan tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ringan. Kegelisahan itu masih ada, tapi kini ia bisa menerimanya sebagai bagian dari perjalanan. Dan dalam ketidakpastian itu, Haris menemukan sesuatu yang berharga: harapan.
Di malam yang tenang, di tengah kota yang tak pernah tidur, Haris memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya, bukan untuk mencari akhir yang pasti, tapi untuk menikmati setiap langkah yang diambil, satu demi satu, dalam pencarian makna yang tak pernah selesai.
***
Setelah malam itu, kehidupan Haris perlahan-lahan berubah. Meski kegelisahan tentang masa depannya tidak sepenuhnya hilang, ia mulai memahami bahwa hidup adalah sebuah perjalanan yang tidak harus selalu dipenuhi dengan jawaban pasti. Setiap pagi ia bangun dengan perasaan yang berbeda, lebih terbuka terhadap apa yang akan terjadi, dan tidak lagi terjebak dalam ketakutan akan kegagalan.
Menulis menjadi bagian penting dari rutinitasnya, bukan sebagai alat untuk mencapai kesuksesan instan, tetapi sebagai cara untuk mengekspresikan dirinya. Haris tidak lagi khawatir tentang apakah tulisannya akan diterima oleh penerbit besar atau mendapat pujian dari orang-orang. Ia menulis untuk dirinya sendiri, untuk menemukan makna di tengah hiruk-pikuk dunia yang tak henti-hentinya bergerak.
Suatu sore, beberapa bulan setelah pertemuannya dengan Maya, Haris berjalan di taman yang sama di mana mereka dulu berbincang. Taman itu tidak banyak berubah, bangku kayu yang usang, air mancur yang tetap mati, dan pepohonan yang berbisik pelan saat angin bertiup. Tapi ada sesuatu yang berbeda dalam cara Haris melihatnya.
Ia duduk di bangku yang sama, membiarkan pikirannya melayang. Dunia di sekitarnya tetap sibuk, orang-orang bergegas, mobil-mobil berlalu-lalang, dan suara kota yang akrab menggema di telinganya. Tapi di tengah semua itu, Haris merasa tenang.
Dia memikirkan tentang Maya, tentang kata-katanya yang sederhana namun penuh makna. Mereka belum bertemu lagi sejak malam itu, tetapi dampaknya terhadap Haris begitu mendalam. Maya telah mengajarkan sesuatu yang penting, sesuatu yang sulit diterima oleh orang-orang yang hidup dalam dunia yang selalu menuntut hasil 'bahwa kadang-kadang kita hanya perlu berhenti, bernapas, dan menerima ketidakpastian.'
Sambil merenung, Haris menyadari bahwa banyak orang di sekelilingnya mungkin merasakan hal yang sama seperti yang ia rasakan dulu, terjebak dalam kegelisahan tentang hidup, tentang apa yang seharusnya mereka capai, dan apa yang dianggap sebagai kesuksesan. Ia melihat seorang pria paruh baya duduk di bangku tidak jauh darinya, memegang kepala dengan kedua tangan, tampak terbebani oleh sesuatu yang tidak terlihat. Haris merasa ingin mendekatinya, menawarkan kata-kata yang dulu Maya berikan padanya, tetapi ia menahan diri. Setiap orang memiliki jalannya masing-masing, dan mungkin pria itu juga sedang mencari caranya sendiri.
Matahari mulai terbenam, memancarkan cahaya keemasan yang indah di atas gedung-gedung tinggi. Haris mengambil buku catatan kecil dari sakunya dan mulai menulis. Tidak ada rencana, tidak ada tekanan. Ia hanya menulis apa yang ada di dalam hatinya, biarkan pena itu mengalir tanpa kendali.
Tulisan itu bukan tentang akhir atau kesimpulan, melainkan tentang perjalanan, tentang bagaimana setiap langkah, sekecil apapun, memiliki nilai. Tentang bagaimana dalam kerumunan yang sibuk, kita seringkali terdiam, menahan rasa takut atau kebingungan kita. Tetapi, pada saat yang sama, kita juga memiliki kesempatan untuk menemukan kedamaian, meski hanya sejenak.
Ketika Haris menyelesaikan tulisannya, ia merasa lebih damai daripada sebelumnya. Ia tahu bahwa hidup ini tidak akan selalu mudah, dan kegelisahan mungkin akan datang lagi. Tetapi sekarang, ia memiliki alat untuk menghadapinya. Bukan dengan berlari lebih cepat, tetapi dengan berhenti sejenak, merenung, dan menerima bahwa ketidakpastian adalah bagian dari perjalanan hidup.
Saat malam mulai tiba, Haris berdiri, memasukkan buku catatannya ke dalam saku, dan berjalan pulang. Jalanan masih dipenuhi orang-orang yang bergegas, tetapi Haris merasa berbeda. Langkahnya lebih ringan, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa dunia yang begitu besar dan sibuk ini bukanlah musuhnya, melainkan temannya dalam perjalanan panjang yang tak pasti.
Dan dalam hati, Haris tahu bahwa apapun yang terjadi selanjutnya, ia akan baik-baik saja. Karena ia telah belajar bahwa dalam setiap langkah, baik cepat atau lambat, ada makna yang bisa ditemukan. Bukan di tujuan akhir, tetapi di sepanjang jalan yang kita tempuh.
----