.
.
.
"SIAAAAAP GRAAAK!"
Atensiku senantiasa tertuju pada seorang laki-laki yang berdiri di depan barisan, terhitung semenjak sang empunya memasuki lapangan. Semburat merah—dapat dipastikan—menghiasi kedua pipiku yang mulai memanas, tat kala melihat sosoknya yang dua kali lipat lebih tampan dari biasanya dengan selempang bertuliskan 'pemimpin barisan'. Jantungku berdegup kencang setiap kali mendengar suara berat nan khas itu berteriak dengan lantang, yang mana kian memancarkan aura dominan sesuai dengan statusnya sebagai seorang 'ketua'.
Gavindra Aksa Wiguna; secara harfiah merupakan teman satu angkatan denganku.
Namanya sering menjadi topik perbincangan dikalangan kaum hawa. Orang-orang kerap memanggilnya 'big boss' berdasarkan statusnya sebagai ketua OSIS merangkap kapten tim basket sekolah. Selain pintar dan supel, sosoknya juga dikenal sangat rendah hati. Tidak heran jika banyak orang yang ingin berteman dekat dengannya. Pun parasnya yang manis dengan kulit eksotis yang menawan tak ayal menjadi poin plus, membuatnya memiliki cukup banyak penggemar perempuan.
Bisa dibilang, aku menjadi salah satunya.
Bedanya, aku lebih memilih untuk mengaguminya secara diam-diam. Bukan tanpa alasan, mengingat hubungan kami pernah cukup dekat. Sampai akhirnya dia dan keluarganya memutuskan untuk pindah. Sebelumnya kami berdua memang bertetangga. Bahkan letak rumah kami saling bersebrangan.
Aku ingat menangisi kepindahannya sembari memeluk Bambi—kucing liar yang kami temukan saat bermain di halaman dan pada akhirnya kami putuskan untuk merawatnya bersama. Ia pindah tepat setelah lulus dari sekolah dasar. Dari kabar yang kudengar, Gavin melanjutkan pendidikannya di kampung halaman sang ibu, tepatnya di kediaman neneknya yang berada di Bandung. Aku ingat dia selalu menceritakan pengalamannya saat berlibur di sana. Ditambah lagi orangtuanya sering memberi kami oleh-oleh.
Jujur, aku sangat sedih saat pertama kali mengetahui rencana kepindahan keluarganya. Rasanya seperti kehilangan seseorang yang begitu berharga. Meski saat itu aku masih belum paham benar, namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai menyadari bahwa selama ini aku menyukai Gavin.
Ikatan persahabatan yang terjalin diantara kami nyatanya telah berhasil menumbuhkan benih-benih cinta di hati. Sekeras apapun akal ini mencoba untuk menyangkal, nyatanya ia tetap kalah dengan perasaan rindu yang teramat menyesakkan dada. Terbukti sampai saat ini, aku masih kesulitan untuk melupakannya.
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku sendiri juga tidak tahu pasti, kapan dan bagaimana perasaan aneh ini bisa muncul.
Saat awal duduk di bangku sekolah dasar, aku tidak begitu menyukai sikapnya dikarenakan ia selalu datang ke rumah—hampir setiap hari—hanya untuk memaksaku bermain bersamanya di luar, yang pastinya akan selalu aku tolak. Kepribadian kami yang saling berlawanan sempat membuat orang tua kami cemas. Mereka berpikir bahwa kecil kemungkinan kami berdua bisa menjadi teman dekat.
"Kenapa sih kamu nggak mau coba temenan sama Gavin? Padahal kelihatannya dia anaknya baik, seumuran pula. Emangnya kamu nggak bosen main sendiri di rumah?" tanya ibuku pada suatu hari, tepat setelah aku menolak ajakan Gavin untuk yang kesekian kalinya.
Dengan bibir yang masih cemberut kesal, aku pun membalas, "Dia berisik, Rere nggak suka."
"Kan Gavin cuma mau main sama Rere."
"Tapi Rere nggak mau! Gavin kan cowok, masa mau main sama anak cewek? Rere sukanya main boneka. Cowok kan sukanya main bola. Rere nggak suka!"
Saat itu ibuku hanya bisa terdiam sembari tersenyum maklum.
Aku dekat dengan hampir semua anak perempuan di kelasku, namun tidak dengan murid laki-laki, termasuk Gavin. Meski begitu, alih-alih bermain bersama anak lainnya sepulang dari sekolah, aku lebih memilih untuk menghabiskan waktuku di rumah. Karena itulah, aku tetap kekeh menolak ajakan Gavin. Karena pada dasarnya aku memang tidak ingin berteman dengan anak laki-laki.
Namun, ada satu momen dimana ia rela menemaniku bermain rumah-rumahan, dengan syarat aku mau menyetujui ajakannya bermain bersama anak-anak seumuran kami di taman komplek. Dan entah bagaimana usahanya tersebut—pada akhirnya—berhasil membuatku luluh.
Sayang, beberapa anak enggan menerima kehadiranku, terutama seorang anak perempuan bernama Wulan. Bisa dibilang, ia merasa iri hanya karena aku memiliki beberapa barang lucu. Ia lalu menghasut orang-orang untuk menjauhiku, menyebutku sombong hingga tukang pamer yang pada akhirnya diikuti oleh anak-anak lainnya. Mereka kemudian melontarkan berbagai ejekan yang awalnya hanya kuanggap sebagai candaan ringan. Namun, tak kusangka beberapa anak perempuan di kelasku juga ikut menjauhiku.
Hingga akhirnya, tersisa aku seorang diri.
Satu-satunya orang yang masih mau berteman denganku hanyalah Gavin.
Laki-laki itu selalu membelaku, bahkan tak segan memasang badan untuk melindungiku dari orang-orang yang menjahiliku. Ia bahkan sempat mengalami bentrok dengan kakak kelas—yang diketahui sebagai kakak Wulan—yang merasa tidak terima saat mengetahui adiknya dibentak oleh Gavin. Namun, laki-laki itu terlihat tidak peduli. Ia selalu tersenyum dengan penuh rasa percaya diri.
"Rere tenang aja. Power Rangers tidak akan membiarkan kejahatan menang!" Itulah yang dia katakan setiap kali aku melarangnya untuk berurusan dengan mereka.
Meski Gavin sudah berkali-kali melaporkan mereka kepada pihak sekolah, namun, entah mengapa anak-anak itu tidak pernah merasa jera. Puncaknya saat geng Willi—kakak Wulan—datang secara langsung untuk...melabrakku? Jujur saja, aku sama sekali tidak mengetahui apa kesalahanku. Tapi laki-laki itu mengancam akan semakin merundungku jika seandainya aku ketahuan melapor kembali pada guru. Dan benar saja, anak-anak itu mulai berani melakukan kekerasan fisik terhadapku. Mulai dari menjambak, menjegal kaki, hingga memukulku.
Aku tidak berani memberitahu orangtuaku perihal perundungan tersebut. Selain itu, aku juga tidak mau Gavin terlibat semakin jauh, mengingat mereka selalu mencari kesempatan disaat laki-laki itu tidak ada. Alhasil, yang bisa kulakukan hanyalah diam dan menangis. Hampir satu bulan lamanya aku memilih untuk mendekam di dalam kamar. Gavin rutin mendatangi kediamanku untuk mengajakku bermain, namun aku selalu menolaknya. Orangtuaku pun mulai bertanya-tanya akan apa yang sebenarnya terjadi padaku.
Namun, aku memilih untuk tetap bungkam.
Hingga pada suatu sore, Gavin datang menemuiku dengan kondisi babak belur—beruntung hanya luka ringan. Segera saja aku menyeretnya masuk ke dalam rumah untuk mengobatinya, tak lupa sambil memborbardirnya dengan berbagai pertanyaan. Anehnya, laki-laki itu malah tertawa melihatku yang sudah hampir menangis setelah mendengar alasan konyol yang dibuatnya.
"Aku terjatuh saat mau menyelamatkan seekor kucing yang nyangkut di atas pohon. Tau nggak apa yang lebih ngeselin? Kucing itu tiba-tiba saja melompat turun dan mencakarku. Emang dasar kucing nggak tau terima kasih!"
Spontan aku memukul lengannya yang langsung membuatnya mengaduh. "Dasar ceroboh! Payah! Aku benci!" Aku membentaknya dengan air mata yang berlinang. Kemudian, aku mulai menangis hingga membuatnya sedikit gelagapan.
"E–eh, udah jangan nangis dong...! Kan kamu liat sendiri aku nggak apa-apa. Lagian cuma luka kecil gini doang. Nggak kerasa sakit sama sekali," ucapnya, berusaha menenangkanku.
Aku mendongak, menangis sesenggukan dan membalas, "Tapi bukan karena dicakar kucing, kan? Emangnya aku nggak tau kamu ketemuan sama Willi di depan kamar mandi tadi?"
"Eh? Kamu liat?" tanyanya dengan mata membulat tak percaya.
Sembari mengusap air mataku, aku mengangguk pelan. Dapat kudengar helaan nafas panjang sebelum akhirnya kurasakan sebuah tangan yang mengusap kepalaku dengan lembut.
"Maaf ya kalo aku bohong. Habisnya aku nggak mau bikin Rere khawatir," ujarnya beralasan.
Sontak aku mendelik kesal. "Tapi kamu udah bohong!"
"Kan udah minta maaf." Gavin lalu menangkup kedua pipiku, membuatku refleks mendongak menatapnya. "Udah dimaafin belum?" tanyanya.
Merasa tak memiliki pilihan lain, aku pun mendengus. "Janji nggak bakal bohong lagi?" Aku menyodorkan jari kelingkingku padanya sebagai simbol untuk membuat janji.
Dapat kulihat Gavin tersenyum, kemudian mengaitkan jari kelingkingnya dengan milikku. "Janji!" Laki-laki itu terkekeh, membuat sudut bibirku ikut tertarik keatas.
Setelah kejadian itu, hubungan kami menjadi semakin dekat. Aku mulai memberanikan diri untuk bermain diluar, bersama Gavin—tentunya—yang senantiasa menemaniku. Masalah antara Gavin dan Willi berhasil diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Ditambah Wulan juga sudah meminta maaf secara langsung padaku.
O,iya!
Ada satu momen—bisa dibilang cukup berkesan—yang tidak akan pernah bisa aku lupakan.
Itu terjadi saat aku sedang giat-giatnya belajar menaiki sepeda. Tekadku saat itu benar-benar kuat, membuatku enggan berhenti untuk berlatih setiap harinya. Aku tidak ingat berapa kali aku terjatuh. Entah berapa banyak pula luka yang aku dapatkan. Yang pasti, setelah aku bisa melakukannya, aku selalu mengajak Gavin untuk bersepeda setiap sore.
Saat Gavin berhalangan lantaran diajak pergi oleh orangtuanya, aku memutuskan untuk bersepeda seorang diri. Aku mengayuh sepeda milikku dengan sangat kencang, yang mana berujung membuatku terjatuh saat perjalanan pulang ke rumah—itu adalah perbuatan yang tidak baik, mohon jangan ditiru. Keningku membentur trotoar hingga berdarah. Seketika aku menangis dengan keras.
Para tetangga yang mendengar sontak berlarian ke luar. Melihat darah yang mengucur dari kening hingga ke bagian mata, ibuku langsung membawaku ke rumah sakit. Setelah mendapatkan beberapa perawatan, aku diperbolehkan untuk pulang. Gavin dan keluarganya datang menjenguk sesaat setelah kami sampai di rumah. Dan untuk pertama kalinya, aku melihat dia menangis.
"Maaf Rere...aku gagal," ujarnya sembari terisak.
"Kenapa Gavin yang minta maaf? Kan yang salah Rere." Aku tersenyum, berusaha untuk menenangkannya. "Maaf udah bikin Gavin khawatir. Rere emang ceroboh banget. Rere janji bakal lebih hati-hati."
Aku mulai melemparkan beberapa gurauan sembari berpura-pura untuk tetap terlihat kuat di hadapannya. Beruntung strategiku berhasil. Tangisan Gavin terhenti. Laki-laki itu tertawa dan mulai membalas candaanku.
"Rere inget nggak cita-citaku apa?"
"Power Rangers!" tebakku.
Mana mungkin aku bisa melupakan momen yang membuat heboh seluruh penghuni kelas saat perkenalannya di hari pertama masuk sekolah. Tapi jika dipikir-pikir, selama ini dia selalu mengatakan hal yang sama tanpa memberikan alasannya.
"Ngomong-ngomong, kenapa Gavin mau jadi Power Rangers?"
"Soalnya aku mau ngelindungin Rere."
"Hah?" Aku mengerjap, memastikan bahwa diriku tidak salah dengar.
Sementara Gavin malah tersenyum dan mengusak rambutku. "Ya kalau ngelindungin Rere aja aku nggak bisa, gimana mau menang melawan monster?"
Saat itu aku hanya bisa terpaku dengan debaran jantung yang menggila disertai pipi yang perlahan mulai menghangat. Meski ucapan yang dilontarkan olehnya terdengar konyol, namun, sorot matanya yang penuh dengan ketulusan sukses membuatku terharu. Aku akui ia telah sukses mengubah pandanganku mengenai sifat anak laki-laki yang urakan, serta membuatku tidak memiliki alasan untuk tidak menerimanya sebagai seorang teman.
Sejak saat itu, Gavindra Aksa Wiguna resmi menjadi sahabat pertamaku.
***
Waktu telah berlalu dan kupikir aku tidak akan pernah bertemu kembali dengan sahabatku, orang yang selama ini diam-diam kusukai. Namun siapa sangka, saat menjalani MOS di hari pertama masuk SMA, tiba-tiba saja aku melihat sosoknya. Awalnya aku berpikir bahwa itu hanyalah sekedar halusinasi. Akan tetapi, begitu melihatnya memasuki kelasku—secara kebetulan—untuk menjalankan hukuman dan menyebutkan namanya, aku tahu bahwa orang itu memang Gavin, sahabatku.
Aku terkejut, tidak tahu harus berkata apa. Jujur, Gavin sama sekali tidak berubah. Hanya saja badannya terlihat jauh lebih tinggi dari terakhir kali kami bertemu. Ditambah lagi, parasnya menjadi semakin tampan.
Atau memang aku saja yang baru menyadarinya?
Meskipun aku yakin bahwa laki-laki itu adalah Gavin, namun hingga saat ini, aku masih belum berani untuk menyapanya. Sepertinya dia sudah melupakanku. Dan saat aku mulai menyadari bahwa hubungan kami tak lagi sama seperti dulu, aku memilih untuk berbalik arah.
Perlu digaris bawahi bahwa Gavin yang dulu berbeda dengan yang sekarang. Sosoknya terlampau sulit untuk kugapai. Bagaikan langit dan bumi. Laki-laki itu sering digosipkan dengan beberapa 'siswi famous' yang ada di sekolah, dan pastinya, mereka adalah orang-orang yang sangat pantas untuk bersanding dengannya. Sedangkan aku? Mana mungkin seorang 'pangeran sekolah' mau melirik gadis membosankan sepertiku?
Ada yang bilang, bahwa 'sadar diri' itu diperlukan untuk menjaga batin tetap waras.
Meski ada kemungkinan dia akan mengenaliku, namun aku tidak ingin berharap lebih. Karena itulah, aku memilih untuk mengaguminya dari jauh, yang mana kulakukan sampai detik ini. Berdoa saja supaya tidak ketahuan hingga kami lulus nanti, karena aku malas jika harus berurusan dengan para penggemarnya yang fanatik.
Percayalah, itu akan sangat merepotkan dan juga beresiko.
Hari ini sekolah kami mengadakan pertandingan basket, dan besar kemungkinan ini akan menjadi turnamen terakhir bagi Gavin dalam tim. Tentunya pertandingan kali ini akan berlangsung lebih heboh dari biasanya, mengingat sang kapten basket kebanggaan sekolah akan segera lulus.
Seperti biasa, aku beranjak menuju loker milik Gavin. Jika kebanyakan orang memberinya snack maupun hadiah, maka aku lebih memilih untuk menempelkan sticky notes bertuliskan kata-kata penyemangat pada pintu lokernya. Bukannya tidak modal, hanya saja loker Gavin selalu penuh dengan pemberian para penggemar lainnya. Toh jika ingin memberikan hadiah, biasanya akan langsung kutaruh ke dalam tasnya secara diam-diam.
Tunggu—apakah aku terdengar seperti seorang penguntit?
Saat tiba di ujung koridor, langkahku langsung terhenti begitu melihat Gavin sedang berbincang dengan seorang perempuan. Dengan segera aku bersembunyi di balik tembok sambil sesekali mengintip. Posisi perempuan itu membelakangiku sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya. Aku juga tidak dapat mendengar percakapan mereka dengan jelas. Tapi yang pasti, Gavin nampak tersenyum sebelum memberikan sesuatu kepada perempuan itu. Melihat itu, otomatis otakku mulai menerka-nerka.
Mungkinkah perempuan itu adalah kekasih Gavin?
Apakah dia orang yang sama dengan seseorang yang baru-baru ini sedang digosipkan dekat dengan Gavin?
Jangan bilang jika mereka menjalani hubungan secara diam-diam?
Berbagai pertanyaan mulai memenuhi benakku saat kurasakan perasaanku mulai campur aduk. Apakah ini yang dinamakan cemburu? Sungguh? Aku benar-benar tidak habis pikir. Gavin tentu bebas menjalin hubungan dengan siapapun. Tidak ada yang berhak melarangnya, termasuk aku. Lagipula, posisiku tak lebih dari sekedar pengagum rahasianya. Sudah sepatutnya aku sadar akan hal itu.
Ternyata benar.
Mengharapkan sesuatu yang belum pasti sama halnya dengan menyiksa diri sendiri secara perlahan. Sepertinya ini adalah waktu yang tepat untuk berhenti melakukan hal-hal yang nantinya hanya akan berakhir sia-sia. Untuk itu, aku mencengkeram dadaku sembari menghela napas panjang. Cukup sesak, namun aku harus tetap kuat.
"Lebih baik aku pulang," monologku.
Saat hendak berbalik, aku tidak sengaja menabrak seseorang hingga membuatku oleng, dan hampir terjatuh ke lantai jika saja orang itu tidak memegangi lenganku. Berulang kali aku meminta maaf sembari mengusap keningku. Karena demi apapun, rasanya benar-benar sakit.
"Maaf, maaf...aku bener-bener nggak sengaja." Aku masih menundukkan kepalaku lantaran merasa lalu.
Dan saat aku mendongak untuk melihat siapa orang yang sudah kutabrak, detik itu juga mataku membulat dengan sempurna.
"Kamu nggak apa-apa? Ada yang sakit nggak? Mau aku anterin ke UKS?"
Aku termangu, menatap tak percaya pada sosok familiar yang kini sedang berdiri di hadapanku, yang tak lain dan tak bukan adalah Gavin.
Iya, benar...Gavin, sahabatku.
Dan yang lebih sialnya lagi, laki-laki itu berhasil membuatku tidak bisa berkutik.
Demi Tuhan!
Bagaimana bisa ada makhluk yang nyaris sempurna seperti ini?
Bahkan rambutnya yang basah oleh keringat justru membuatnya tampak begitu maskulin. Dilihat dari jarak sedekat ini, aku jadi bisa melihat detail dari parasnya yang tampan. Mulai dari matanya yang tajam, alisnya yang tebal, hidungnya yang mancung, rahangnya yang tegas, dan yang terakhir...bibirnya yang tebal—Astaga! Apa yang sedang aku pikirkan?
Seketika saja aku menggelengkan kepalaku.
"Rere kenapa? Kepalanya pusing?"
"Apa—oh! E–enggak kok..."
Tunggu! Tadi dia memanggilku apa?
"Tadi kenapa nggak ngasih sticky notes kayak biasanya? Padahal aku nungguin loh. Aku jadi nggak semangat mainnya. Untung masih bisa menang."
Napasku tertahan selama beberapa saat. Bagaimana dia bisa tahu?
"M–maksud lo apa...? G–gue nggak ngerti..." balasku, berusaha mengelak.
Namun, laki-laki itu justru berdecak. "Udah ya Re, aku capek harus pura-pura nggak kenal sama aku. Mending udahan main rahasia-rahasiannya. Soalnya dari awal aku juga udah tahu."
Aku terdiam menatapnya dengan penuh menyelidik. Sangat jelas kudengar dia memanggilku Rere, bukan Rhea. Selama ini hanya keluarga dan juga orang terdekatku saja yang memanggilku Rere. Jika Gavin memanggilku demikian, itu berarti...dia mengingatku?
"Aku anterin pulang, yuk! Alamat rumah kamu masih sama kayak yang dulu, kan?"
"T–tunggu dulu!" Aku melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan tanganku, membuat langkahnya spontan menjadi terhenti. Kemudian, ia berbalik menatapku bingung dengan sebelah alis terangkat.
"Jadi selama ini...kamu inget sama aku?" Aku menatap Gavin tak percaya.
Laki-laki itu mengangguk. "Ya kali aku nggak inget sama sahabatku sendiri."
"Serius?"
"Iyaaa, Rhea Mariska...!"
"T–terus, kenapa kamu nggak bilang?"
"Gimana mau bilang, orang kamunya menghindar setiap papasan sama aku. Kirain kamu ngambek. Aku jadi takut buat nyapa."
Aku memicing, mencari setitik kebohongan dari netra segelap belanga itu sementara dirinya menghela napas panjang.
"Lagian kamu kenapa sih, pake nulis sticky notes segala? Padahal aku lebih seneng kalau kamu ngomong langsung. Capek tau nungguinnya!"
"Kamu nungguin sticky notes dari aku?!" Tanpa sadar aku berteriak.
"Iya lah! Tapi please...sekarang udahan aja, ya? Kalo misal aku ada salah, aku minta maaf deh. Aku cuma mau hubungan kita balik kayak dulu lagi." Gavin memohon sambil menangkup kedua tanganku.
Aku menggigit bibir bawahku ragu. Disatu sisi aku masih tidak percaya bahwa Gavin—rupanya—mengingatku. Namun disisi lain, aku takut jika hal itu akan menarik perhatian orang-orang, terutama para penggemarnya. Ditambah selama ini kami berdua tidak pernah terlibat dalam interaksi apapun. Tentunya hal itu akan menimbulkan banyak pertanyaan, bahkan gosip-gosip yang kemungkinan besar bisa menyebabkan masalah untukku maupun Gavin.
"Nanti kalau misal ada gosip yang enggak-enggak gimana?" tanyaku sedikit was-was.
Gavin mengangkat bahunya tak acuh. "Ya nggak apa-apa. Orang bentar lagi kita lulus."
"Enak aja! Aku nggak mau ya jadi sasaran amuk massa."
"Tenang aja. Kalo soal itu, aku udah jelasin soal hubungan kita sama cewek yang sempet nembak aku tadi."
Aku terdiam. Ingatanku melayang pada kejadian beberapa saat yang lalu.
"Bentar-bentar! Kamu ditembak? Terus, kamu tolak gitu aja?"
"Iya lah. Masa aku terima pas aku udah punya hubungan sama kamu."
"Hah?" Aku mengerjap beberapa kali. "Gimana gimana?"
Gavin lantas mengusap rambutku dengan lembut. "Aku bilang kalau aku udah punya pacar, cuma kita lagi backstreet."
Ia tersenyum, senyuman manis yang selalu dapat meluluhkan hatiku. Aku tersentak saat tiba-tiba saja ia menggenggam tanganku.
"Ngomong-ngomong, kamu mau kan jadi pacar aku? Aku nggak terima penolakan. Jadi mulai hari ini, kamu resmi jadi pacar aku. Oke?"
Seketika netraku terbelalak.
Yang benar saja!!!
Tapi ya...mau bagaimana lagi? Gavin tetaplah Gavin. Laki-laki itu memang gemar mengambil keputusan seenaknya.
Huft, dasar...
.
.
.
—THE END.