Matahari sore mulai meredup, mengalirkan semburat oranye di langit ketika Lisa melangkah cepat pulang dari sekolah. Langkahnya terasa berat, bukan karena kelelahan fisik, tapi karena rasa gelisah yang tak kunjung hilang. Di kelas, dia sering dijadikan sasaran ejekan oleh sekelompok gadis yang merasa lebih kuat dan berkuasa. Setiap kata kasar yang mereka ucapkan menancap dalam di hatinya.
Hari itu, semuanya berubah.
Ketika Lisa sedang berjalan di lorong sekolah, Sofia, pemimpin kelompok yang selalu mengejeknya, mendekat dengan senyuman meremehkan. “Kau pulang sendirian lagi, Lisa? Tak ada yang mau bersamamu?”
Lisa diam, matanya tertunduk. Tapi hari itu ada sesuatu yang berbeda. Dia sudah lelah selalu menjadi korban. Dalam hati, dia mendengar suara yang berkata, Sudah cukup.
Sofia tertawa kecil dan menepuk pundaknya dengan kasar. “Kamu lemah, Lisa. Bahkan tak bisa membela diri.”
Lisa mengepalkan tangannya, merasakan gemuruh kemarahan yang selama ini dia pendam. Rasa takut yang biasanya memenuhi dadanya mulai menguap, digantikan oleh sesuatu yang lebih kuat—keberanian.
Tanpa ragu, Lisa mengangkat kepalanya, menatap langsung ke mata Sofia. "Kau pikir kau bisa terus seperti ini?"
Sofia terkejut, tidak mengira Lisa akan menantangnya. "Apa maksudmu?" suaranya sedikit bergetar, meski ia berusaha tampak tetap berkuasa.
Lisa maju selangkah, tak lagi menghindar. "Aku mungkin diam selama ini, tapi bukan berarti aku lemah. Kau tidak punya hak untuk memperlakukan orang lain seperti ini."
Kerumunan murid mulai berkumpul, tertarik oleh keberanian Lisa yang tiba-tiba muncul. Sofia terlihat cemas sejenak, tetapi dengan cepat berusaha mengendalikan situasi. "Siapa yang peduli dengan apa yang kau katakan? Semua orang tahu kau pecundang."
Tapi kali ini, Lisa tidak terpengaruh. Dia menyadari bahwa kekuatan sesungguhnya tidak datang dari berapa banyak kata-kata yang bisa dilontarkan atau berapa banyak orang yang bisa dijatuhkan. Kekuatan sejati datang dari keyakinan dalam diri sendiri.
"Aku mungkin tidak sempurna," kata Lisa dengan suara yang tegas. "Tapi aku lebih kuat dari yang kau kira. Dan mulai sekarang, aku tidak akan membiarkan orang sepertimu mengontrol hidupku."
Sofia terdiam. Untuk pertama kalinya, dia tampak tidak yakin. Orang-orang di sekitarnya yang biasanya ikut tertawa dan mengejek mulai terdiam juga. Mereka melihat sesuatu yang baru di diri Lisa—sesuatu yang mereka tidak pernah duga sebelumnya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Sofia mundur, canggung, dan berbalik pergi, diikuti oleh teman-temannya yang bingung. Lisa menghela napas panjang, merasakan beban yang selama ini dia pikul mulai menghilang.
Saat kerumunan bubar, beberapa teman sekelas Lisa menghampirinya. Mereka tersenyum dan mengangguk, seolah-olah baru menyadari siapa Lisa sebenarnya. Dan untuk pertama kalinya, Lisa merasa bebas—bebas dari rasa takut, dan bebas untuk menjadi dirinya sendiri.
Hari itu, Lisa belajar bahwa melawan balik bukan hanya soal menghadapi orang lain, tetapi juga soal menghadapi rasa takut dan menemukan kekuatan di dalam diri sendiri. Dan itulah kemenangan yang sesungguhnya.