Cinta pertama selalu meninggalkan jejak yang tak terlupakan, seperti yang aku alami pada suatu masa di bangku SMA. Namanya Sinta, gadis yang selalu tersenyum hangat dan ramah kepada siapa saja. Kami sering satu kelas, tapi aku terlalu canggung untuk mengajaknya berbicara. Hanya berani mencuri pandang dari jauh, saat dia sibuk dengan buku-bukunya atau bercanda dengan teman-temannya.
Setiap pagi, aku sengaja datang lebih awal hanya untuk melihatnya berjalan masuk ke sekolah. Rambut panjangnya yang tergerai, langkahnya yang ringan, dan senyum manis yang selalu membuat pagiku lebih cerah. Saat dia melewatiku di koridor, jantungku berdegup lebih kencang. Aku tidak pernah tahu kenapa, tapi rasanya selalu seperti itu—campuran rasa gugup dan bahagia yang membuatku merasa hidup.
Suatu hari, sekolah mengadakan acara festival seni, dan setiap siswa diharapkan berpartisipasi. Aku, yang biasanya tidak pernah tampil di depan umum, memutuskan ikut lomba baca puisi. Tidak ada alasan yang lebih kuat daripada harapan bahwa Sinta akan memperhatikanku. Aku ingin dia tahu bahwa aku ada, meski hanya melalui bait-bait kata.
Hari perlombaan tiba. Aku berdiri di atas panggung dengan tangan yang gemetar dan hati yang berdebar. Saat melihat ke arah kerumunan, mataku mencari-cari, dan di sana dia, duduk di barisan depan, tersenyum sambil memperhatikanku. Dadaku terasa sesak oleh campuran kegugupan dan harapan.
Aku membaca puisiku dengan suara sedikit gemetar di awal, namun semakin lama aku semakin percaya diri. Setiap kata seolah-olah kutujukan padanya, meskipun dia mungkin tidak menyadarinya. Setelah selesai, tepuk tangan terdengar, dan Sinta juga ikut bertepuk tangan dengan senyum lebar.
Setelah lomba, Sinta mendatangiku. “Puisimu bagus sekali,” katanya sambil tersenyum. Rasanya seperti mimpi. Kami berbicara singkat, tetapi percakapan itu terasa sangat berarti bagiku. Sinta memberi semangat dan pujian yang tulus, yang membuat hatiku melayang.
Meski kami tak pernah benar-benar dekat, perasaan itu tetap membekas. Sinta adalah cinta pertamaku—sederhana, manis, dan tak pernah terucapkan dengan jelas. Namun, mungkin itu yang membuatnya indah, karena cinta pertama tak selalu harus berakhir dengan kisah yang sempurna. Cukup dengan kenangan manis yang tersimpan di sudut hati, dan aku akan selalu mengingatnya.