Malam itu, Zian duduk di sudut kamarnya, hanya ditemani oleh sinar remang dari ponselnya yang berpendar samar di tengah gelap. Hujan tipis mengguyur kota Bandung, menciptakan irama lembut yang menyerupai detak hatinya yang sedang kacau. Di layar, sebuah pesan masuk melalui WhatsApp, pesan yang akan mengubah dunianya yang abu-abu menjadi lebih kompleks, namun tetap hitam dan putih.
“Hai, aku Klaraa. Aku dapat nomor kamu dari grup WA. Boleh kenalan?”
Zian mengernyit heran. Pesan itu datang dari dunia yang tampak jauh dan asing. Di antara deretan chat tak berarti, pesan Klaraa tampak seperti percikan cahaya dalam kesuraman. Tapi ada sesuatu yang membuatnya tertarik. Di dunia yang selalu penuh keraguan, pesan ini terasa seperti harapan baru.
“Hai Klaraa. Boleh banget. Kamu dari mana?”
Setelah beberapa detik hening, balasan muncul. “Kalimantan Barat. Kamu?”
“Bandung, Jawa Barat. Jauh juga ya, Kalimantan... Gimana kabarnya di sana?”
Percakapan yang sederhana ini perlahan mengisi malam yang dingin dan kelabu. Mereka berbicara tentang hal-hal biasa—cuaca, hobi, dan keseharian yang tampaknya serba hitam putih. Namun, setiap kalimat yang tertukar mulai menambah warna pada dunianya yang suram. Perlahan, Zian mulai merasakan kenyamanan yang tak terduga.
Klaraa bercerita tentang desanya yang hijau, hutan lebat yang melingkupi rumahnya, suara burung yang berkicau setiap pagi. Zian, di sisi lain, hanya bisa membayangkan semua itu. Di pikirannya, hutan yang Klaraa gambarkan muncul dalam bayangan abu-abu. Di dunia Zian, semuanya tampak datar, sementara deskripsi Klaraa menambah lapisan warna yang mulai ia rindukan.
Hari demi hari, percakapan mereka semakin dalam. Klaraa berbagi impiannya, kecintaannya pada dongeng dan cerita-cerita fantasi yang membawanya keluar dari kenyataan yang keras. Zian mendengarkan, tersenyum kecil. Dia seorang penulis fantasi, dunia imajinasi adalah tempatnya bersembunyi dari kerasnya realita. Mereka bertukar cerita, ide-ide liar yang melompat dari layar ke layar, membentuk jembatan antara dua dunia yang terpisah jauh.
Suatu malam, Klaraa berkata, “Aku selalu suka dongeng. Buatku, dongeng itu seperti jendela menuju dunia lain yang penuh warna. Tempat di mana hitam dan putih bisa bercampur jadi abu-abu yang indah.”
Zian meresapi kata-kata itu. Dia juga merasa begitu. Menulis baginya adalah melarikan diri dari kenyataan yang kaku, menciptakan dunia di mana segalanya mungkin terjadi. Tapi di balik percakapan itu, ada bayangan hitam yang terus menyelimuti hubungan mereka. Sebuah perbedaan besar yang mereka tak bisa abaikan.
Kemudian, pertanyaan yang Zian tahu pasti akan datang, akhirnya muncul.
“Zian, aku ingin tanya sesuatu,” tulis Klaraa suatu malam.
Zian merasa tegang. “Tanya aja, Klaraa.”
“Aku penasaran, kamu agamanya apa?”
Zian menarik napas dalam. Inilah momen ketika dunia hitam dan putih mereka mulai menampakkan batasannya. “Aku Islam, Klaraa. Kamu?”
“Aku Katolik,” jawab Klaraa singkat. Ada jeda, sebelum akhirnya dia menambahkan, “Kamu nggak masalah, kan?”
Zian menatap layar ponselnya, perasaan berat menghampiri. Dia tahu, perbedaan ini bukan sekadar warna di permukaan. Di balik layar, ini adalah batas yang tegas antara dunia mereka yang akan sulit disatukan. "Masalah sih nggak sekarang. Tapi mungkin nanti... ini bakal jadi sulit.”
Balasan Klaraa datang dengan cepat, “Iya, aku ngerti. Tapi kita masih bisa coba pelan-pelan, kan?”
Percakapan mereka terus berlanjut, tetapi di hati Zian, dunia mulai kembali ke warna aslinya. Setiap kata yang mereka tukar adalah seperti jalan yang makin jelas menuju akhir yang tak terhindarkan. Mereka berdua hidup di dunia yang berbeda, tak hanya secara geografis, tetapi juga secara spiritual dan budaya. Meski Klaraa tetap ceria, Zian merasa beban semakin berat di pundaknya. Dia tahu, warna-warna di antara mereka akan memudar dan kembali menjadi hitam putih.
Suatu malam, Klaraa mengirim pesan yang membuat hatinya semakin gelap.
“Zian,” tulisnya dengan lembut, “aku tahu mungkin kita nggak bisa bareng. Dunia kita beda, mungkin selamanya akan begitu. Tapi aku nggak menyesal pernah kenal kamu. Aku bahagia kita bisa berbagi cerita dan impian, meskipun akhirnya kita harus berjalan di jalan yang berbeda.”
Zian menatap pesan itu lama, mencerna setiap kata seperti hujan yang mengalir pelan di jendelanya. Pesan itu menamparnya, mengingatkannya bahwa tidak semua cerita berakhir dengan bahagia. Dia menulis balasan dengan hati yang berat, jari-jarinya gemetar.
“Aku juga merasakan hal yang sama, Klaraa. Mungkin dunia kita memang nggak akan pernah bersatu. Tapi aku bersyukur pernah mengenalmu. Kamu akan selalu menjadi bagian dari hidupku, meski hanya sebagai kenangan yang indah.”
Klaraa membalas dengan emoji hati, simbol sederhana namun penuh makna. Dan malam itu, Zian tahu, perasaan mereka akan selalu ada, namun terperangkap dalam batas hitam putih dunia yang berbeda.
---
Malam semakin larut. Zian duduk di depan jendela kamarnya, menatap hujan yang terus turun dengan lembut. Di luar, dunia tampak sepi, hanya ada bayang-bayang samar yang menyatu dengan kegelapan. Dia tahu, tidak semua cinta bisa melawan perbedaan yang begitu besar. Tapi meskipun dunia mereka tak pernah bisa bersatu, bagian dari hatinya akan selalu menyimpan Klaraa—gadis dari Kalimantan Barat yang pernah memberi warna dalam dunia hitam putihnya.