Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan lebat, terdapat sebuah rumah tua yang konon ditinggalkan selama puluhan tahun. Masyarakat desa sering mendengar cerita aneh tentang rumah itu—suara tangisan, langkah kaki yang tidak terlihat, dan bayangan yang melintas di jendela malam. Namun, satu hal yang paling menarik perhatian Tia, seorang gadis remaja pemberani, adalah cermin besar yang terletak di ruang tamu rumah tersebut.
Suatu malam, ketika langit cerah dan bulan purnama bersinar, Tia memutuskan untuk menjelajahi rumah tua itu. Dengan senter di tangan dan keberanian di dalam hati, ia memasuki rumah yang menyeramkan itu. Pintu kayu berderit saat dibuka, menciptakan suara yang seakan mengundang semangat petualangan dalam dirinya.
Ruangan pertama yang Tia masuki dipenuhi debu dan sarang laba-laba. Di sudut, ia melihat cermin besar berdiri tegak, bingkai kayunya usang dan tampak sangat kuno. Rasa ingin tahunya mengalahkan ketakutannya, dan ia mendekati cermin tersebut.
Saat Tia berdiri di depan cermin, ia merasakan hawa dingin yang menyentuh kulitnya. Dengan perlahan, ia melihat bayangannya sendiri, tetapi ada sesuatu yang aneh. Bayangan itu tersenyum meski ia tidak. Rasa ngeri mulai menjalar di tubuhnya, tetapi Tia tetap berusaha tenang.
Tiba-tiba, cermin itu bergetar, dan bayangannya mulai bergerak sendiri. Tia terkejut, tetapi ia tidak bisa beranjak. Bayangannya mengulurkan tangan seolah meminta tolong. "Bantu aku!" suara itu menggema dalam kepalanya, mengganggu pikirannya.
Tia merasa terjebak antara dua dunia—dunia nyata dan dunia di balik cermin. Ia berusaha meraih bayangan itu, tetapi seolah ada kekuatan yang menariknya kembali. “Siapa kau?” Tia berteriak, suaranya hampir tenggelam dalam ketakutan.
“Seorang yang terperangkap dalam bayanganku,” jawab bayangan itu. “Aku terjebak di sini selama ratusan tahun. Jika kau tidak membantuku, aku akan menghisapmu ke dalam cermin ini selamanya.”
Tia merasakan detak jantungnya berpacu. Ia tahu ia harus melakukan sesuatu. “Bagaimana aku bisa membantumu?” tanyanya, suara bergetar namun bertekad.
“Cobalah untuk memecahkan teka-teki ini. Temukan kunci yang tersembunyi di rumah ini. Hanya dengan itu aku bisa bebas.”
Tanpa membuang waktu, Tia mencari kunci tersebut. Ia menjelajahi setiap sudut rumah, menemukan ruangan yang dipenuhi barang-barang antik, lemari yang terkunci, dan gambar-gambar usang. Setiap detik terasa seperti berjam-jam saat ia mencari kunci itu, sementara suara langkah kaki di baliknya semakin mendekat.
Akhirnya, di ruang bawah tanah yang gelap, Tia menemukan sebuah kotak kayu tua. Ia membukanya dengan cepat dan menemukan sebuah kunci kecil bersinar. Dengan napas tersengal, ia berlari kembali ke ruang tamu, kunci di tangan.
Di depan cermin, bayangan itu semakin gelisah. “Cepat, masukkan kunci itu ke dalam kunci cermin!” Tia mengangkat tangan gemetar dan memasukkan kunci tersebut ke dalam lubang yang tidak terlihat di bingkai cermin.
Saat kunci berputar, cermin itu bergetar hebat. Tia merasakan angin kencang berputar di sekelilingnya. “Cepat! Sebelum terlambat!” teriak bayangannya. Tia menutup matanya, dan saat ia membuka mata lagi, cermin itu pecah menjadi ribuan kepingan.
Ketika kepingan-kepingan cermin jatuh, bayangan itu menghilang, dan Tia terjatuh ke lantai. Di sekelilingnya, hanya ada hening. Ia berhasil menyelamatkan dirinya, tetapi misteri rumah tua itu tetap membayangi pikirannya.
Tia berdiri dan berjalan keluar dari rumah itu, bertekad untuk tidak pernah kembali. Namun, saat ia menoleh sekali lagi, ia melihat potongan cermin yang bersinar di antara reruntuhan, dan seolah mendengar suara lembut berbisik, “Terima kasih.”
Sejak malam itu, Tia tidak pernah melupakan pengalaman menegangkan di rumah tua itu, dan walaupun ia berhasil keluar, bayangan di balik cermin tetap menjadi misteri yang takkan pernah terpecahkan.