Di kota kecil yang terletak jauh dari keramaian, hiduplah seorang gadis bernama Aluna. Sejak kecil, Aluna merasa tak pernah cocok dengan orang lain. Penampilannya, yang menurut orang-orang tak sesuai dengan standar kecantikan, selalu menjadi bahan olokan. Tubuhnya yang sedikit gemuk, wajahnya yang tak dihiasi senyuman ceria, serta rambut kusut yang selalu dibiarkan tergerai tak beraturan membuat Aluna jadi sosok yang tak menarik perhatian—setidaknya, menurut lingkungan di sekitarnya.
Setiap hari, Aluna berangkat ke sekolah dengan kepala tertunduk, menghindari tatapan orang-orang. Ia tahu apa yang akan terjadi jika terlalu menonjol: tatapan mengejek, bisik-bisik yang menusuk hati, dan ejekan dari teman-teman sekelasnya yang tak pernah henti. Di kelas, ia selalu memilih duduk di barisan paling belakang, mencoba sekuat tenaga agar tidak diperhatikan. Namun, meski berusaha menghilang, ia tetap tak luput dari ejekan. "Lihat gadis aneh itu," bisik seorang gadis sambil tertawa bersama temannya. "Dia pasti tidak tahu caranya merawat diri!"
Rasa tak percaya diri itu terus tumbuh di dalam diri Aluna, seperti tanaman liar yang menjalar tanpa henti. Ia mulai membenci dirinya sendiri, melihat cermin hanya membuatnya ingin menangis. Tak hanya di sekolah, di rumah pun Aluna merasa kesepian. Keluarganya—ibu, ayah, dan kakak laki-lakinya—tak pernah menunjukkan perhatian yang ia butuhkan. Mereka menganggap Aluna kuat, bahwa ia tidak butuh perhatian lebih. "Kamu kan sudah besar, Aluna. Kamu harus bisa mengurus dirimu sendiri," ucap ibunya setiap kali Aluna mencoba berbicara.
Namun di balik kata-kata itu, Aluna tahu bahwa keluarganya sebenarnya tak peduli. Mereka melihatnya sebagai beban—anak yang gagal memenuhi harapan mereka, anak yang tak pernah bisa membuat mereka bangga. Kakaknya, Dimas, selalu lebih baik dalam segala hal. Ia cerdas, tampan, dan populer. Sementara itu, Aluna hanya seorang gadis yang keberadaannya nyaris tak diakui.
Malam-malam Aluna sering diisi dengan air mata yang ia tumpahkan sendirian di kamar. Hatinya terasa sesak, seolah-olah dunia terus menekan dari segala arah tanpa memberinya kesempatan untuk bernapas. Setiap kali ia merasa terpuruk, ia menghibur diri dengan meyakini bahwa suatu saat semua ini akan berakhir. Namun, hari demi hari berlalu tanpa perubahan. Tekanan itu semakin besar, dan pada akhirnya, Aluna merasa tak ada lagi harapan.
Suatu malam, ketika perasaannya mencapai titik terendah, Aluna berjalan tanpa arah. Langkah kakinya membawanya ke atap sekolah, tempat ia sering menyendiri. Ia berdiri di tepi, menatap kosong ke arah langit yang kelabu. Angin malam berhembus dingin, namun Aluna tak merasakannya. Di dalam hatinya, ada kehampaan yang tak bisa diisi oleh apa pun. "Mungkin sudah waktunya," gumamnya pelan.
Namun, di saat yang bersamaan, dari kejauhan, seorang pemuda bernama Reza memperhatikan Aluna. Reza adalah salah satu teman sekelas Aluna, meskipun mereka tak pernah benar-benar berbicara. Reza, seperti kebanyakan orang, awalnya tak peduli pada Aluna. Bagi Reza, Aluna hanyalah gadis yang selalu menyendiri, sosok yang terlalu aneh untuk didekati. Ia sering melihat Aluna berjalan sendirian, namun tak pernah terpikir olehnya untuk menyapa atau bertanya bagaimana keadaannya.
Namun, malam itu, ada sesuatu yang berbeda. Ketika Reza melihat Aluna berdiri di tepi atap dengan pandangan kosong, hatinya berdegup kencang. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arahnya. "Aluna!" teriaknya, suaranya menggema di antara bangunan sekolah yang sepi. Aluna tersentak, namun ia tak berbalik. Ia hanya berdiri diam, seolah tak mendengar panggilan Reza.
Dengan napas terengah-engah, Reza akhirnya tiba di samping Aluna. Ia tak tahu harus berkata apa, tak tahu bagaimana cara menghentikan gadis itu dari melakukan sesuatu yang fatal. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya dengan suara lembut, berusaha menenangkan.
Aluna tetap diam, matanya masih menatap ke depan, seolah mencari jawaban di balik kelamnya malam. Akhirnya, dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berkata, "Tak ada yang peduli. Bahkan jika aku pergi, tak ada yang akan menyadari."
Kata-kata itu membuat Reza terhenyak. Selama ini, ia tak pernah memikirkan perasaan Aluna, tak pernah berpikir bahwa gadis itu mungkin menyimpan kesedihan yang begitu mendalam. "Aku peduli," ucap Reza spontan, meski dalam hatinya ia sendiri tak yakin.
Malam itu, Reza tak membiarkan Aluna sendirian. Ia duduk bersamanya di atap, berbicara dengan hati-hati, mencoba mendengarkan apa yang Aluna rasakan. Meski canggung, perbincangan mereka berlanjut hingga larut malam, dan perlahan, Aluna mulai terbuka. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang mau mendengarkannya tanpa menghakimi.
Hari demi hari berlalu, dan Reza mulai semakin sering menemui Aluna. Awalnya, ia tak yakin apa yang membuatnya tertarik untuk terus berada di sisi gadis itu. Mungkin karena rasa simpati, atau mungkin karena ia merasa ada sesuatu dalam diri Aluna yang layak untuk dikenali. Perlahan tapi pasti, Reza mulai melihat sisi lain dari Aluna yang tak pernah ia duga. Di balik penampilan yang tertutup dan sikapnya yang cenderung pendiam, Aluna sebenarnya adalah gadis yang penuh kebaikan. Ia memiliki keberanian yang luar biasa untuk tetap bertahan meskipun dunia seolah-olah memusuhinya.
Lambat laun, Reza mulai merasakan sesuatu yang lebih dalam. Ia jatuh cinta pada Aluna, bukan karena penampilannya, tetapi karena hatinya yang tulus dan kuat. Ia kagum pada bagaimana Aluna bisa bertahan menghadapi semua kesulitan tanpa pernah benar-benar menyerah. Meski Aluna sering merasa dirinya tidak pantas, bagi Reza, Aluna adalah gadis yang luar biasa.
Suatu hari, setelah berbulan-bulan bersama, Reza memutuskan bahwa ia harus menyatakan perasaannya. Ia ingin Aluna tahu betapa ia berarti, betapa ia dicintai, dan betapa ia pantas mendapatkan kebahagiaan. Dengan hati berdebar, Reza mengajak Aluna ke tempat favorit mereka—sebuah taman kecil yang tersembunyi di belakang sekolah.
Namun, saat Reza akhirnya mengungkapkan perasaannya, Aluna menolak. "Aku tidak pantas," katanya, dengan suara pelan namun penuh keyakinan. Air mata menggenang di matanya saat ia menatap Reza. "Aku... aku rusak. Aku tidak bisa menjadi seperti yang kau harapkan."
Reza terdiam, hatinya terasa berat. Namun, ia tidak menyerah. Ia tahu bahwa Aluna butuh waktu untuk menyadari bahwa dirinya layak dicintai. Reza berjanji pada dirinya sendiri untuk terus berada di samping Aluna, untuk membuktikan bahwa gadis itu pantas mendapatkan cinta dan kebahagiaan.
Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Aluna mulai sering merasa lemas dan pusing. Tubuhnya semakin lemah, dan pada suatu hari, ia akhirnya memutuskan untuk pergi ke dokter. Hasil pemeriksaan membuat dunianya runtuh: ia didiagnosis mengidap penyakit fatal yang sudah berkembang selama berbulan-bulan. Rekam medisnya menunjukkan bahwa Aluna sudah mengetahui tentang penyakit ini setengah tahun lalu, namun ia tak pernah mengikuti saran dokter untuk menjalani pengobatan.
Ketika Reza mendengar kabar ini, ia hancur. Ia berusaha sekuat tenaga mencari solusi, berharap ada jalan keluar untuk menyelamatkan gadis yang ia cintai. Namun, dokter mengatakan bahwa harapan sudah hilang. Penyakit itu sudah terlalu jauh berkembang, dan tak ada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu waktu.
Aluna, di sisi lain, menerima kenyataan itu dengan tenang. Ia tahu bahwa hidupnya tak akan lama lagi, meski ia merasa menyesal karena baru sekarang menyadari ada orang yang peduli padanya. Namun, Aluna meminta satu hal pada Reza: ia ingin Reza tetap di sisinya sampai akhir.
Dan begitu, hari-hari terakhir Aluna dipenuhi dengan kehadiran Reza. Meskipun sakit yang ia rasakan semakin berat, Aluna tetap tersenyum setiap kali Reza ada di dekatnya. Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang hidup, tentang mimpi yang tak akan terwujud, dan tentang cinta yang tak sempat berkembang sepenuhnya.
Pada malam terakhirnya, Aluna terbaring di tempat tidur rumah sakit, dengan tangan Reza yang terus menggenggam erat. Dalam napas yang semakin lemah, Aluna berbisik, "Terima kasih... karena kau telah membuatku merasa berharga."
Dengan air mata yang menggenang, Reza menunduk, menatap wajah Aluna yang kini terlihat sangat lemah. Napas gadis itu terengah-engah, seolah setiap tarikan napas adalah perjuangan. "Aku yang seharusnya berterima kasih, Aluna. Kau telah mengubah hidupku," ucapnya dengan suara serak, menahan kesedihan yang menderu dalam dadanya. Ia tak pernah membayangkan bahwa orang yang begitu ia cintai harus pergi secepat ini.
Aluna tersenyum lemah, sebuah senyum yang sangat berbeda dari senyum-senyum sebelumnya. Senyum itu penuh ketenangan, seolah-olah ia telah menerima takdir yang menanti. "Jangan sedih, Reza. Aku senang kau ada di sini bersamaku... sampai akhir," bisiknya.
Reza menggenggam tangan Aluna semakin erat, seolah dengan begitu ia bisa menahan kepergiannya. Tapi ia tahu, semakin erat ia menggenggam, semakin dekat pula gadis itu dengan takdirnya. Reza ingin menangis, namun ia tahu Aluna tidak ingin melihatnya hancur. Maka, meskipun hatinya remuk, ia tetap tersenyum—senyum yang sama penuh kesedihan dan kepasrahan, menutupi rasa sakit yang tak terlukiskan.
Pada saat itulah, napas terakhir Aluna terdengar, sangat pelan, seperti angin yang berhembus lembut di tengah malam. Tangan gadis itu, yang selama ini digenggam erat oleh Reza, perlahan-lahan melemas. Senyum di wajahnya tak pernah hilang, bahkan di saat ia telah menghembuskan napas terakhirnya.
Ruangan rumah sakit yang sunyi menjadi saksi bisu kepergian Aluna. Reza tetap duduk di sana, menggenggam tangan gadis itu, meski ia tahu bahwa Aluna telah pergi. Dadanya terasa kosong, seolah-olah sebagian dari jiwanya ikut pergi bersama Aluna. Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya mengalir, jatuh satu demi satu, membasahi pipinya. Namun, ia tetap tersenyum, seperti yang telah ia janjikan pada Aluna.
Tak lama setelah itu, keluarga Aluna datang. Mereka terlambat, seperti biasa, baru menyadari apa yang hilang setelah semuanya berakhir. Mereka tak pernah tahu betapa Aluna telah menderita, betapa selama ini gadis itu menyimpan begitu banyak kesakitan seorang diri. Saat melihat tubuh Aluna yang terbaring tak bernyawa, mereka terguncang, air mata penyesalan mulai mengalir dari mata ibunya. "Kami tak pernah tahu... kami tak pernah menyadari..." ucap ibunya dengan isak tangis yang tak terbendung.
Reza memandang mereka dari sudut ruangan, hatinya penuh dengan berbagai emosi. Ia bisa melihat penyesalan di wajah mereka, namun penyesalan itu tak akan pernah cukup untuk mengembalikan Aluna. Reza tahu bahwa Aluna telah memaafkan mereka, meski mereka tak pernah meminta maaf. Aluna selalu seperti itu—berbesar hati, meskipun orang-orang di sekitarnya tak pernah memberinya kehangatan.
Setelah beberapa saat, Reza berdiri dan mendekati tubuh Aluna untuk terakhir kalinya. Ia membungkuk, menanamkan ciuman lembut di kening gadis itu, sebuah perpisahan yang menyakitkan namun juga penuh cinta. "Aku akan selalu mengingatmu, Aluna. Kau yang terbaik, meskipun dunia ini tak pernah cukup baik untukmu," bisiknya pelan.
Lalu, dengan langkah yang berat, Reza meninggalkan ruangan itu. Angin malam yang dingin menyambutnya ketika ia melangkah keluar dari rumah sakit. Langit malam penuh bintang, namun bagi Reza, semuanya terasa kelabu. Aluna telah pergi, dan meskipun ia tahu bahwa hidup harus terus berjalan, ia merasa kosong. Gadis yang ia cintai telah memberinya pelajaran tentang arti cinta, tentang keberanian, dan tentang menerima takdir, namun ia juga meninggalkan luka yang dalam di hati Reza.
Hari-hari setelah kepergian Aluna terasa lambat dan berat. Reza sering kali memandang ke langit, berharap bisa menemukan sosok Aluna di antara bintang-bintang. Ia sering mengunjungi tempat-tempat yang dulu mereka datangi bersama, taman kecil di belakang sekolah, dan atap tempat ia pertama kali melihat Aluna hampir menyerah pada hidupnya. Di tempat-tempat itulah Reza merasakan kehadiran Aluna yang masih kuat di dalam dirinya.
Meski begitu, hidup harus terus berjalan. Reza tahu bahwa Aluna tidak akan ingin melihatnya terpuruk terlalu lama. Dengan segala kenangan yang ia miliki, Reza berusaha menjalani hari-harinya. Setiap kali ia merasa kehilangan, ia akan mengingat senyum terakhir Aluna—senyum yang penuh ketenangan, seolah-olah gadis itu telah menemukan kedamaian yang selama ini ia cari.
_
Pada akhirnya, Reza menerima kenyataan bahwa cinta tidak selalu datang dengan kebahagiaan abadi. Terkadang, cinta datang dengan kehilangan, dengan perpisahan yang menyakitkan, namun tetap memberi kita makna yang mendalam. Bagi Reza, Aluna adalah cinta yang tak terlupakan, sosok yang akan selalu hidup dalam kenangannya, meski ia tak lagi ada di dunia ini.
Dan di bawah langit kelabu yang sama, Reza melangkah maju, membawa cinta dan kenangan itu bersamanya—sebuah cinta yang tak akan pernah pudar meski waktu terus berlalu.
**TAMAT*