Aku Mey, bekerja sebagai bidan di sebuah puskesmas yang berada di desa terpencil. Aku ingin menceritakan pengalamanku, menangani pasien seorang gadis belia yang bernama Lisa. Lisa yang saat itu usianya masih 14 tahun dipaksa menikah oleh kedua orangtuanya dengan seorang laki-laki tua yang lebih pantas menjadi seorang ayah baginya. Lelaki tua itu bernama pak Sarman. Ia adalah orang terkaya di desanya yang sudah memiliki tiga orang istri.
Ketika saat itu Lisa menikah di kantor KUA secara resmi dengan dihadiri oleh kedua orang tuanya dan juga warga setempat. Walaupun Lisa menjadi seorang istri yang keempat laki-laki tua itu. Para istri Pak Sarman sangat baik kepadanya. Ketiga istri pak Sarman amat menyayangi Lisa gadis belia tersebut, sekaligus merasa iba dengannya karena cepat atau lambat nasibnya akan sama seperti mereka.
Malam pertama yang dialami Lisa, jeritan-jeritan suara yang terdengar sagat memilukan. Tidak seperti pasangan pengantin lainnya yang begitu bahagia memadu kasih di ranjang pengantin. Seringkali saat malam hari, Pak Sarman seperti seorang yang mengidap penyakit kelainan jiwa jika hendak berhubungan intim dengan istri-istrinya. Pak Sarman pasti akan menyiksa pasangannya terlebih dahulu.
Di keesokan harinya, ketiga pak Sarman hendak masuk ke kamar Lisa, sekadar hanya untuk melihat keadaan gadis belia itu, tetapi mereka sangat terkejut karena menemukan Lisa dalam keadaan babak belur di sekujuran tubuhnya. Lisa yang usianya masih belia, seharusnya sibuk dengan mata pelajaran di sekolahnya. Namun, kini kenyataannya tergeletak tidak sadarkan diri, di sudut kamar si tua bangka yang tidak berperikemanusiaan itu.
Ketiga istri pak Sarman merawat Lisa selayaknya anak mereka sendiri, namun tidak ada yang dapat mereka perbuat, selain mengobati luka-luka yang ada di tubuh gadis belia itu. Ketiga istri pak Sarman tidak ada satu pun yang berani untuk melawan karena sangat takut jika lelaki tua itu sudah murka. Sudah pasti mereka akan mendapatkan siksaan yang sangat mengerikan.
***
Saat pagi harinya, Pak Sarman pergi mengunjungi rumah orangtua Lisa dengan membawa beberapa tukang bangunan untuk membuatkan rumah baru untuk gadis belia itu. Rumah Lisa direnovasi dari bilik bambu menjadi bangunan yang cukup mewah di desanya. Adik-adiknya saat itu yang sudah putus sekolah, kini sudah dapat bersekolah kembali. Keluarganya yang terbiasa makan satu-dua kali sehari. Dengan kekayaan yang dimiliki pak Sarman, mereka bisa makan tiga kali sehari. Dan keperluan uang lainnya pun telah ditanggung oleh laki-laki tua kaya itu.
Sementara dilain keadaan yang dialami oleh Lisa, dirinya begitu sangat menderita. Di beberapa bagian tubuhnya mulai tampak luka-luka yang bernanah. Siksaan dari laki-laki tua bangka itu begitu kejam, membuat gadis belia itu hanya bisa pasrah menerima penderitaannya sehari-hari. Tiga bulan kemudian, Lisa mulai merasakan mual-mual di perutnya. Pak Sarman tampak begitu cemas, memperhatikan gadis belia itu akhir-akhir ini seringkali terlihat pingsan.
***
Pada saat malam harinya, Lisa diantar pak Sarman ke puskesmas tempat praktekku dalam keadaan tidak sadarkan diri. Melihat keadaan gadis belia itu, aku sangat terkejut karena banyak sekali luka lebam disekujuran tubuhnya. Sementara itu, segera aku mengambil tindakan pemeriksaan, dengan memasang selang infus beserta oksigen. Saat aku tanyakan keadaan Lisa kepada laki-laki tua itu, Pak Sarman membentakku lalu memukul meja dengan keras, sampai-sampai laptop yang aku letakkan di atasnya hampir terjatuh.
"Kau urus saja yang menjadi tugasmu, Ibu Bidan! Kau tidak berhak, bertanya-tanya tentang keadaan Lisa. Kau mengerti!" bentak Pak Sarman ketika itu.
Awalnya aku mengira laki-laki tua itu adalah ayah Lisa. Saat aku tanyakan dimana suami gadis belia itu kepadanya. Pak Sarman menjawab bahwa dirinya adalah suaminya. Saat itu aku benar-benar terkejut dan tidak habis pikir. Lisa yang masih di bawah umur menjadi seorang istri laki-laki yang sudah tua. Sesudah itu, di ranjang pasien aku perhatikan Lisa mulai sadarkan diri, dan dari wajahnya tampak begitu ketakutan. Namun, pada saat itu juga gadis belia itu mulai mengigau.
"Ampun! Ampun, juragan!"
Hanya kata-kata itu yang aku dengar berulang-ulang kali dari mulutnya. Aku mengatakan pada pak Sarman bahwa Lisa tengah hamil tujuh minggu. Mendengar apa yang aku sampaikan. Terlihat jelas dari wajah laki-laki tua itu, begitu gembira sekali. Malam itu pak Sarman memberikan aku uang sebesar 1 juta, sebagai tanda terima kasih atas pelayananku. Aku hanya terdiam, melihat uang yang diberikan laki-laki tua kaya itu di atas mejaku.
"Apa kurang uangnya, ibu bidan?" tanya Pak Sarman.
"Sudah, cukup," jawabku cepat.
"Jagalah Lisa baik-baik, Pak. Jangan sampai ada yang orang menyakiti dia lagi," kataku pada Pak Sarman.
"Ibu bidan tidak perlu ikut campur urusan orang lain!" sahut Pak Sarman begitu ketus padaku, kemudian pak Sarman mencium kening Lisa, tetapi wajah gadis belia itu terlihat begitu ketakutan sekali.
"Ampun, juragan! Ampuuun." Hanya itu yang aku dengar dari mulut Lisa.
Aku tidak peduli dengan permasalahan, atau pun pertengkaran suami istri tersebut. Sepasang mataku lebih tertarik dengan makhluk yang bersama Lisa. Di sebelah kanan gadis itu, tampak sesosok anak kecil bertubuh merah. Bertelinga panjang yang sedang sibuk mengusap-usap perut Lisa, sedangkan di sebelah kirinya terlihat sesosok wanita sedang menjilati luka-lukanya. Sesudah itu, pak Sarman segera mengajak Lisa untuk segera pulang ke rumahnya.
Pada saat itu juga, penglihatanku masih saja mengamati sosok makhluk-makhluk yang ikut pergi bersama mereka meninggalkan puskesmas tempatku berpraktek. Aku pun telah melupakan kedua pasangan suami istri itu. Memang benar apa yang dikatakan pak Sarman kepadaku. Aku tidak punya hak untuk mencampuri urusan orang lain, terlebih aku bukan sanak saudara dari mereka.
***
Tidak terasa sudah tiga hari berlalu, Lisa datang kembali ke puskesmas. Kulihat gadis belia itu mengalami pendarahan yang cukup hebat, hingga membuatnya sampai pingsan dan tak sadarkan diri, kemudian segera aku melakukan penanganan kepadanya. Sementara itu, setelah selesai aku periksa, ternyata Lisa mengalami keguguran. Aku bersihkan bekas noda-noda darah di beberapa bagian tubuhnya.
Selang infus dan oksigen sudah lengkap aku persiapkan. Pada saat aku menoleh ke arah belakang. Aku amati wajah pak Sarman tampak lebih segar. Berbeda sekali saat aku melihat sebelumnya. Laki-laki tua itu kini terlihat lebih muda. Garis-garis kerutan di wajahnya kini tidak terlihat lagi. Laki-laki tua itu seperti seorang pemuda yang berumur 25 tahun, padahal usia pak Sarman sudah mencapai 45 tahun, pada saat aku memeriksa data dirinya.
Sementara ketika aku amati kembali, memang sungguh tampan pak Sarman. Namun, aku tidak ingin terlena lebih lama karena dibalik ketampanan laki-laki tua itu, tampak sekali lendir-lendir hitam di tubuhnya dalam penglihatanku. Bau busuk di tubuhnya pun sangat menyengat sekali. Rasanya ingin muntah aku ketika itu. Sesudah itu, Pak Sarman segera menghampiri Lisa di ranjang pasien. Gadis belia itu pun perlahan-lahan mulai sadarkan diri.
"Mari kita pulang, Sayang," ucap Pak Sarman sambil mengecup lembut bibir kecil Lisa
Setelah aku berikan obat-obatan juga keperluan administrasi, tanpa aku sadari sebelumnya, Pak Sarman memberikan aku uang sebesar 3 juta rupiah. Jumlah yang cukup banyak untuk biaya obat-obatan yang telah aku berikan. Setelah itu, uangnya aku masukkan ke dalam laci meja kerjaku. Aku simpan dan tanpa kusentuh lagi. Begitu banyak sekali keanehan dan kejanggalan pada diri Pak Sarman. Pada saat itu juga dan tanpa aku sengaja.
Aku melihat sesosok kuntilanak dan sosok anak kecil bertubuh merah bertelinga panjang yang sedang menggendong seorang anak bayi. Aku tidak terlalu jelas melihatnya saat itu. Semalaman aku tidak dapat tidur, dan aku menduga banyak kejanggalan-kejanggalan yang disembunyikan oleh Pak Sarman.
***
Pada keesokan harinya, aku pergi ke rumah laki-laki tua itu untuk memeriksa keadaan Lisa. Aku mulai mengetuk pintu rumah yang sangat mewah itu, kemudian yang keluar adalah ibu Mirna, yaitu salah seorang istri dari Pak Sarman. Ibu Mirna mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Aku terdiam di depan pintu dan mulai merasakan hawa yang tidak enak sekali menyelimuti rumah itu.
Rumah pak Sarman sungguh tidak layak dijadikan tempat tinggal bagi manusia. Lebih pantasnya rumah bagi para makhluk-makhluk halus. Di rumah pak Sarman, terlihat sesosok kuntilanak juga makhluk-makhluk kecil bertubuh merah dan bertelinga panjang yang sedang berlarian ke sana-kemari. Sosok-sosok itu begitu terkejut dengan kedatanganku, hingga menatapku dengan wajah tidak senang. Aku pun tidak memperdulikan mereka.
Sementara aku rasakan bulu kudukku mulai bergidik semua saat itu, kemudian kupercepat langkahku ke arah kamar Lisa. Namun, di dalam kamar gadis itu semakin tidak enak lagi hawanya. Bau anyir darah dan bau-bau lain yang sangat busuk menusuk hidungku. Aku tidak tahan mencium bau busuknya hingga perutku terasa terasa mual sekali.
"Ibu Mirna, maaf! Toiletnya di mana, ya?" tanyaku kemudian.
"Silakan ada di sana, Ibu Bidan," jawab Ibu Mirna sambil menunjukkan jarinya.
Pada saat di toilet aku muntah-muntah dan tanpa kusadari aku melirik ke arah kanan kamar mandi. Ternyata ada kolam besar yang penuh dengan kembang tujuh rupa. Terlihat juga sebuah kamar mandi mewah yang serba lux, ada bathup dan ada kolamnya juga. Sesudah itu, aku pun keluar dari toilet dan kembali lagi ke kamar Lisa yang sedang berbaring di kasur dengan wajah tampak pucat sekali.
Aku mencoba memberanikan diri bertanya kepada Lisa, sebenarnya apa yang telah terjadi pada dirinya. Lisa menangis sesenggukkan, gadis belia itu menceritakan semua yang ia alami selama dijadikan istri oleh pak Sarman. Dadaku terasa amat sesak sekali mendengar Lisa mencerita keadaannya yang diperlakukan keji sekali oleh pak Sarman. Lisa juga menceritakan di dalam rumah mereka yang mewah tersebut. Ada 10 kolam besar dengan ukuran 100 x 150 meter persegi semua.
Kolam-kolam tersebut harus diisi dengan kembang tujuh rupa, kemudian setiap harinya harus diganti. Namun, pada akhirnya kecurigaanku telah terjawab. Lantas aku kembali bertanya kepada Lisa.
"Apakah di rumah ini ada kamar yang kosong, Lisa?"
"Tidak ada kamar yang kosong di sini, Ibu Bidan." Belum selesai aku bertanya, namun tiba-tiba pintu kamar Lisa didobrak oleh seseorang dari luar.
"Sudah aku bilang! Jangan pernah campuri urusanku, Bu Bidan! Kau mengerti!"
bentak Pak Sarman ketika ia sudah masuk ke dalam kamar.
"Kalau Pak Sarman melukai Lisa kembali. Aku akan laporkan Bapak kepada pihak kepolisian dengan bukti-bukti yang sudah jelas. Bahwa disekujur tubuh istri Bapak, terdapat banyak luka-luka lebam!" ancamku begitu kesal melihat laki-laki tua itu.
Merasa tidak terima dengan perkataanku, pak Sarman lantas mengusirku keluar dari rumahnya. Namun, samar-samar aku melihat di samping rumah laki-laki tua itu, terdapat kolam besar yang dipenuhi kembang tujuh rupa. Air di dalam kolamnya tampak bergerak terus-menerus. Kembali aku perhatikan kolam itu dengan memusatkan konsentrasiku dan penuh ketenangan. Penglihatanku menangkap sesuatu di kolam itu berisi sesosok makhluk besar yang mengerikan.
Wajahnya seperti, seorang nenek-nenek tua. Giginya bertaring dan tubuhnya berlendir berwarna hijau, seperti seekor katak. Dan, aku memperkirakan sosok makhluk itu, besarnya dua kali lipat dari seekor gajah, tetapi memiliki ekor yang berduri-duri. Makhluk itu sedang menghisap bermacam-macam kembang yang telah disediakan oleh pak Sarman. Dan, tanpa aku duga, makhluk itu mengedarkan pandangannya ke arahku.
Sekejap saja makhluk besar itu menyerangku dengan melilitkan lidahnya pada tubuhku. Aku sangat takut dan jijik ketika itu, dengan lendir serta bau busuk yang keluar dari tubuh makhluk tersebut. Sementara itu, aku segera membaca doa yang diajarkan oleh kakekku. Dari arah belakang aku rasakan hembusan hawa dingin dan seberkas sinar terang menghantam lidah makhluk berlendir itu. Sesudah itu, lidah makhluk itu pun mengendur dan melepas lilitannya dari tubuhku.
Byuuurrrr...!
Makhluk itu terhempas kembali ke dalam kolam, dan terdengar suara rintihan kesakitan. Pak Sarman lantas keluar dari rumahnya dengan sangat murka. Aku didorongnya keluar pagar hingga aku terjatuh. Telapak tanganku sakit sekali dan sampai berdarah. Sesudah itu, aku cepat-cepat meninggalkan rumah pak Sarman. Namun, aku berpikir sejenak dan tidak mau lagi mencampuri rumah tangga Lisa dan juga laki-laki tua itu.
***
Pada saat malam harinya, aku berzikir dan berdoa. Semoga Lisa selalu dalam keselamatan dan diberikan kesembuhan dari sakitnya. Bibirku terus saja berzikir hingga aku ketiduran karena begitu lelahnya.
***
Sementara keesokan pagi harinya, pintu rumah dinasku digedor-gedor dari luar sehingga membuatku terkejut dan terbangun dari tidur. Aku pun segera ke ruangan depan untuk melihat siapakah yang datang. Ketika aku mulai membukakan pintu. Tidak aku sangka, ternyata Lisa yang datang dengan wajah masih pucat sekali. Aku melihat keadaannya sangat sedih sekali. Pada saat itu juga, sepasang mataku tertuju pada makhluk-makhluk aneh yang menyeramkan di samping Lisa.
Aku menduga kalau sosok makhluk-makhluk itu selalu mengikuti kemanapun gadis itu pergi. Namun, anehnya makhluk itu tak berani mendekati aku. Sesudah itu, aku segera mempersilahkan Lisa masuk dan memberikannya air minum. Aku pun beranjak ke arah dapur dan, kemudian merebuskan Lisa telur setengah matang. Sementara itu, aku amati Lisa makan begitu lahapnya. Akan tetapi, tiba-tiba saja ia menatap wajahku begitu tajam.
"Ibu Bidan, aku lapar sekali! Apa ada nasi untuk aku makan?"
"Maaf sekali Lisa, aku belum memasak apa-apa hari ini. Aku hanya mempunyai mie instan. Sebenarnya tidak bagus untukmu. Kamu, kan baru saja mengalami keguguran."
Lisa tidak memperdulikan perkataanku. Gadis itu hanya memikirkan untuk mengisi perutnya. Aku perhatikan Lisa memang sangat kelaparan sekali. Saat itu aku memasak tiga bungkus mie instan. Aku dan Lisa pun makan bersama, sambil mendengarkan dirinya bercerita. Lisa mengatakan kepadaku, semua istri-istri Pak Sarman setiap hari hanya diberi makan satu kali saja. Setiap harinya mereka hanya diperintah menari untuk menghibur sosok makhluk besar berlendir yang berada di kolam itu,
Sementara jika mereka tidak menari, laki-laki tua itu akan marah besar dan mereka akan dipaksa memakan bunga-bunga yang berada di kolam itu. Seketika itu juga aku kembali bertanya pada Lisa, bagaimana ia dapat melarikan diri dari rumah itu. Gadis belia itu memberitahuku bahwa pak Sarman semalam menikah kembali dengan gadis berumur 16 tahun. Pada saat pengawasan di rumah itu sedang lengah, ia pun nekat melarikan diri, kemudian menuju ke rumahku.
Lisa pun memberitahu kembali yang membuat pak Sarman menjadi seorang yang kaya. Ternyata, sosok makhluk-makhluk itu meminta tumbal janin dari seorang wanita. Itulah penyebab yang membuat pak Sarman dapat menjadi kaya dan awet muda sampai saat ini.
Ketiga istri Pak Sarman tidak dapat hamil, dan selalu dinyatakan mandul oleh dokter, padahal istri-istri Pak Sarman beberapa kali mengalami kehamilan. Namun, naasnya selalu saja keguguran dan janin bayi mereka itu disantap oleh makhluk besar berlendir peliharaan Pak Sarman. Lisa telah mengetahui kalau makhluk besar berlendir itu takut dengan api. Itu sebabnya rumah laki-laki tua yang terkenal kaya itu, tidak pernah ada kompor ataupun korek api di dalam rumahnya.
Pak Sarman akan marah besar kepada istri-istrinya jika ada nyala api di dalam rumahnya. Aku pandangi wajah Lisa, tersirat amarah dan dendam yang sangat besar. Gadis belia yang teramat lugu tersebut, kemungkinan akan menjadi seekor singa betina yang sangat buas, pikirku. Aku yakin Lisa ingin sekali terbebas dari cengkraman pak Sarman si tua laknat itu, namun ia masih bimbang dan ragu untuk membalas sakit hatinya karena penyiksaan yang dideritanya selama ini.
Beberapa saat aku menatap lekat-lekat wajah Lisa, seperti ada yang sesuatu yang sedang ia pikirkan. Lisa mencoba kembali melanjutkan ceritanya sambil menangis. Ia mengatakan bahwa sosok makhluk besar berlendir itu setiap harinya, selalu menjilati tubuhnya dan ia sangat jijik sekali dengan makhluk itu. h bercerita. Tubuhnya tidak dapat digerakkan oleh lilitan makhluk berbau busuk berlendir itu.
Sementara hanya menangis dan menjerit ketakutan yang hanya dapat ia lakukan. Sesak sekali dadaku mendengar Lisa bercerita. Tanpa, aku sadari air mataku ikut menetes di pipiku. Pada saat itu, aku mengingatkan Lisa untuk salat, tetapi ia mengatakan bahwa dirinya tidak mengerti caranya untuk salat. Aku pun memberikan Lisa buku panduan salat berbahasa latin agar lebih mudah ia membacanya.
Belum selesai aku bicara, tiba-tiba terdengar seorang laki-laki berteriak keras di depan rumahku. Aku sangat mengenal sekali bahwa itu suara Pak Sarman. Dan, anehnya, laki-laki tua itu tidak berani masuk ke dalam rumahku. Entah, apa yang menjadi penyebabnya. Pada saat itu, aku mencoba mengingatkan Pak Sarman agar Lisa harus segera dirawat karena ia telah mengalami pendarahan kembali. Laki-laki tua kaya itu tidaak sedikitpun mendengar perkataanku.
Pak Sarman terus saja menarik tangan Lisa untuk segera dibawa kembali ke rumahnya.
"Aku tegaskan, cepat Bapak pergi dari rumah saya! Atau saya akan melaporkan Bapak kepada polisi!"
Mendengar perkataanku mengancamnya. Pak Sarman tampak ketakutan, lantas ia segera pergi dari rumahku.
*
Keesokan harinya, Lisa aku ajarkan cara untuk salat. Gadis belia itu cepat sekali mengerti apa yang aku ajarkan. Namun, tanpa aku menduga sebelumnya, pada saat menjelang magrib orang tua Lisa datang ke rumahku dan memarahi Lisa habis-habisan. Aku sudah mengira pasti Pak Sarman yang memberitahu kalau Lisa berada di rumahku. Aku kesal sekali melihat sikap Lisa yang hanya diam saja dimarahi kedua orang tuanya.
Seharusnya Lisa menjelaskan semua perlakukan pak Sarman terhadap dirinya selama ini. Aku pun mencoba memberikan bukti kepada kedua orang tuanya, dengan cara membuka pakaiannya bahwa disekujur tubuh putrinya itu banyak sekali luka-luka lebam. Namun, orangtua Lisa tidak perduli sama sekali dengan penjelasanku. Sikapnya seakan, tidak peduli apa pun yang terjadi terhadap putrinya. Kini aku mengerti bahwa kedua orang tua Lisa sudah dibutakan oleh uang dan harta yang diberikan pak Sarman selama ini.
"Ibu Bidan tahu apa tentang putri saya? Ia hanya terjatuh dari tangga, sebentar lagi juga pasti akan sembuh!" bentak Ayah Lisa kepadaku.
Setelah kedua orang tua Lisa membantah semua penjelasan dariku. Aku pun tidak dapat berbuat apa-apa. Semantara itu, aku mengatakan kepapada Lisa agar ia pulang kembali ke rumahnya, tetapi sebelum Lisa pergi dari rumahku, ia membisikkan sesuatu kepadaku.
"Aku akan membalas semuanya, Bu Bidan! Jangan lupa doakan aku disaat jasadku telah membujur kaku!"
Aku amat terkejut mendengar Lisa bicara seperti itu, kemudian ia tersenyum menyeringai ke arahku dan berlalu bersama dengan orang tuanya.
***
Satu minggu pun berlalu, aku tidak pernah mendapatkan kabar dari Lisa lagi. Namun, pada saat minggu kedua barulah aku mendapatkan kabar bahwa sesuatu telah terjadi. Rumah Pak Sarman hangus terbakar dilalap api pada malam hari. Pak Sarman seperti orang yang tidak waras, berteriak-teriak meminta tolong kepada penduduk desa untuk memadamkan api di rumahnya. Menurut yang melihat awal kejadiannya, telah terjadi tiga ledakan yang begitu keras membuat rumah laki-laki tua kaya itu hangus terbakar api.
Pada saat kejadian naas itu, istri-istri pak Sarman pun panik, mereka berlarian untuk menyelamatkan dirinya. Namun, pada saat itu juga Pak Sarman terus saja berteriak-teriak meminta pertolongan warga desa.
"Hartaku, hartaku...!" teriak Pak Sarman.
***
Keesokan paginya, rumah pak Sarman hanyalah tinggal puing-puing hancur yang berserakan. Keempat jasad wanita telah ditemukan dalam keadaan hangus terbakar termasuk jasad Lisa. Pihak kepolisian terus saja sibuk mencari asal muasal terjadinya kebakaran tersebut. Setelah diselidiki, ternyata asal kebakaran bermula dari dalam kamar Lisa yang telah di temukan tiga buah tabung gas 3 kilogram. Pada saat itu, baru aku teringat apa yang pernah dikatakan Lisa jika di rumah pak Sarman tidak ada kompor gas.
Lalu 3 tabung gas itu datangnya dari mana? Sedangkan Lisa selalu dalam pengawasan pak Sarman dan juga makhluk-makhluk berlendir itu. Pertanyaan tersebut hingga saat ini, hanya menjadi misteri di desa. Namun, dalam tragedi kebakaran itu hanyalah pak Sarman yang selamat, tetapi keadaannya sangat memperhatikan. Ia menjadi gila dan selalu berkubang di tempat kotor sambil menangis dan meracau sendirian.
"Hartaku, hartaku....!"
Keadaan kedua tangan dan kaki Pak Sarman mulai membusuk serta dipenuhi dengan belatung. Wajah dan tuhbuhnya pun mulai berlendir. Selama satu tahun, Pak Sarman menerima azab atas perbuatannya, kemudian kabarnya pak Sarman mati secara mengenaskan. Puing-puing di rumah laki-laki tua kaya itu, menjadi saksi bisu pesugihan yang telah ia lakukan. Dengan mengorbankan 4 orang wanita yang tidak berdosa.
Setiap kali datang malam bulan purnama, selalu saja terdengar suara tabuhan gending dan sosok penampakan empat wanita yang tengah menari-nari di bangunan mewah yang kini telah menjadi reruntuhan puing-puing. Terlihat juga satu sosok laki-laki tua yang tubuhnya terikat di tiang kayu. Semenjak peristiwa kejadian itu, para penduduk desa tidak ada yang berani untuk melintasi rumah Pak Sarman. Namun, ada juga beberapa orang yang sengaja mendatangi tempat itu untuk melakukan pesugihan agar memperoleh kekayaan.[ ]