"Fiq, nanti antar aku ke stasiun, ya. Hari ini aku dengan Zulaikha mau pulang ke Jakarta," ucap Sayidah.
"Kalian mau pulang, kok mendadak?" Syafiq terlihat terkejut.
"Iya, Fiq. Kami mau pulang, hanya beberapa hari ini saja. Biasanya kita bertiga memang selalu pulang bareng," tambah Sayidah lagi.
"Kamu tinggal di pondok baik-baik, ya, Fiq!" Zulaikha mengingatkan Syafiq.
"Pesan dari aku, kamu hati-hati di sini, ya. Nanti takutnya kamu di gondol santriwati kalau kami berdua sudah pergi. Benarkan, Kha?" Sayidah meledek Syafiq agar ia tidak begitu sedih di pondok sendirian.
"Iya, benar Fiq, Sayidah bilang. Pasti Syafiq nanti digoda Herlina gadis Palembang adiknya ustadz Taufiq. Ha ha ha!" Zulaikha pun ikutan meledek.
"Zulaikha cemburu, tuh Fiq," ledek Sayidah.
"Hiih... apa, sih Sayidah." Wajah Zulaikha memerah.
"Iya, iya, iya aku ingat! Ya, sudah nanti aku antar kalian ke stasiun!"
Setelah tinggal beberapa bulan di pondok Pesantren Pandan Wangi. Syafiq, Sayidah dan juga Zulaikha memang sudah terlihat begitu akrab. Padahal di Jakarta mereka tidak dekat satu sama lain, tetapi sebagian santri dan santriwati juga para ustaz, menganggap kalau mereka ini berpacaran. Padahal mereka bertiga masih kerabat dekat.
Sesudah Syafiq mengantar Sayidah dan Zulaikha ke stasiun kereta. Syafiq mulai merasakan kesepian ditinggal mereka berdua. Memang sudah terbiasa mereka selalu bersamaan, terkadang berkumpul di rumah nenek Sayidah yang tidak jauh dari pondok pesantren. Walaupun untuk sekedar makan bareng ataupun makan rujak bersama-sama dengan keluarga Sayidah di desa tersebut.
Sayidah tinggal di Jakarta dengan kedua orangtuanya, tetapi neneknya lebih memilih tinggal di desa bersama dengan anak-anaknya yang lain. Keesokan harinya, Syafiq diberikan tugas oleh Ummi Hajah. Ibu dari kiai pemilik pondok pesantren untuk menemani salah seorang santriwati pergi ke pasar. Namanya Herlina asal Palembang.
Pada saat itu Syafiq dan Herlina berjalan kaki melewati sebuah hutan kecil yang berada di sekitaran pondok, sehingga sampailah mereka di sebuah jalan raya, kemudian mereka berdua menaiki angkutan umum untuk menuju pasar. Sesampainya di pasar, Herlina tidak perlu waktu lama untuk mencari barang-barang yang diperlukan, ternyata sudah ia dapatkan dengan cepat. Lantas mereka pun segera mencari angkutan umum untuk kembali ke pondok pesantren.
Setelah sudah sampai di pinggir jalan raya menuju pondok pesantren, mereka kembali melewati hutan kecil itu karena kendaraan belum dapat masuk menuju pondok pesantren. Terpaksa mereka harus berjalan kaki menyusuri hutan kecil yang dilewati tadi.
"Lin, apa benar ini jalannya?" tanyaku yang sedikit heran.
"Syafiq, aku hapal jalan ini. Tidak mungkin salah jalan ini!" Herlina meyakinkan Syafiq.
"Tapi aku kurang yakin kalau hutan ini yang tadi kita lewati, Lin!
"Terserah kamu, Fiq mau percaya atau tidak karena aku sudah yakin ini jalannya!" sahut Herlina sedikit kesal, lalu ia mempercepat langkahnya meninggalkan Syafiq di belakang.
Tidak ada pembicaraan diantara mereka. Syafiq dan Herlina terus berusaha menyusuri rimbunan hutan saat itu untuk segera kembali ke pondok pesantren. Namun, tdak terasa rasanya sudah setengah hari mereka berjalan dan tidak sampai juga. Suasana di hutan itu pun mulai gelap karena hari seperti mendekati malam, lantas Herlina pun mulai gelisah juga ketakutan.
"Kita di mana, ya Fiq? Kok, dari tadi tidak sampai-sampai ke pondok!"
"Aku rasa kita tersesat, Lin! Bagaimana kalau kita bermalam di sini! Besok baru kita cari jalan menuju pondok?"
"Ah, aku tidak mau,.Fiq! Aku takut rasanya di sini!"
"Kamu jangan pergi ke mana-mana dan tunggu di sini. Aku coba lihat-lihat hutan ini sebentar."
"Jangan lama-lama, Syafiq. Aku takut!"
"Iya, kamu jangan ke mana-mana. Ingat!"
Lolongan serigala di hutan telah diperdengar suaranya, langit pun mulai hitam tanpa cahaya rembulan, membuat suasana di hutan itu semakin mencekam. Di jejeran pohon besar yang menjulang tinggi, rupanya Syafiq tidak tahan ingin buang air kecil. Ia tidak sadar ternyata ada beberapa sepasang mata yang sedang mengawasinya.
Setelah selesai buang air kecil, kemudian Syafiq berniat untuk kembali menemui Herlina, tetapi tiba-tiba langkahnya tertahan oleh dua sosok tubuh yang tiba-tiba menghadang jalannya.
"Siapa namamu, Cepat kau sebutkan!"
"Kalian ini siapa?"
"Kami penduduk di sebelah hutan ini!"
"Maafkan kalau saya mengganggu. Saya sedang tersesat dan ingin kembali ke pondok kami," ucap Syafiq sambil memperhatikan kedua sosok laki-laki di hadapannya dari ujung kaki sampai rambut.
"Apa kamu yang bernama, Haris?" tanya salah seorang yang mengaku penduduk desa sebelah dari hutan tersebut.
"Nama saya Syafiq. Saya tidak mengenal, Haris!" jawab Syafiq sambil mengerutkan dahinya.
"Hm... kamu Syafiq. Kami pun sudah mendengar namamu di sini," ucap laki-laki itu kembali.
"Maaf, saya tidak mengerti apa maksudnya. Baiklah saya permisi."
"Tunggu...!" cegah kedua laki-laki tersebut.
"Tolonglah adik kami yang sedang sakit," ucap salah seorang laki-laki itu dengan wajah penuh harap.
"Saya tidak bisa membantu karena saya bukan dokter," terang Syafiq.
"Sebaiknya kamu lihat dahulu keadaan adikku!"
Kemudian dengan gerakan yang begitu cepatnya, kedua laki-laki itu menyambar lengan anak muda itu. Dan, dengan sekejap suasana di tempat itu pun berubah warna menjadi kekuningan.
"Di mana aku sekarang?" tanya Syafiq kepada kedua laki-laki itu yang telah menjelma dalam wujud aslinya.
Kini di hadapan anak muda itu, nampak jelas kedua laki-laki yang bersamanya tadi adalah dua sosok raksasa dengan wajah amat bengis.
"Kamu sedang berada di alam kami," sahut salah satu sosok raksasa itu.
"Haaahh...! Ternyata kalian bukan manusia?"
"Benar sekali. Tolonglah adik kami yang tergeletak tidak sadarkan diri itu. Dia terluka dengan bangsa kami sendiri." Ucapnya sambil mengarahkan jari telunjuknya yang begitu besar ke arah sosok gadis yang berwujud seperti manusia pada umumnya.
Gadis itu berpakaian sutera. Berwarna putih yang nampak terkapar di sebuah batu besar.
"Cepat! Kita harus meninggalkan tempat ini." ucap Syafiq sambil membopong tubuh gadis itu, lalu kedua raksasa itu pun menurut apa yang dikatakan Syafiq.
Kejadian di alam lain begitu cepatnya. Sekejap saja Syafiq sudah berada di tempat yang lebih asing lagi baginya.
"Cepatlah tolong adik kami. Kami sangat khawatir keadaanya," ucap salah satu sosok raksasa itu.
Secara tiba-tiba, sepasang mata Syafiq berubah berwarna merah dan tatapannya begitu tajam serta menyilaukan mata. Kedua tangannya mulai ditumbuhi bulu-bulu halus yang lebat, lantas ia mengaum begitu kerasnya, sehingga menggetarkan tempat di sekelilingnya.
Pada saat itu juga sebuah keanehan terjadi. Mendadak gadis itu sadarkan diri dan tersenyum pada Syafiq, kemudian tiba-tiba sosok raksasa di tempat itu semakin banyak jumlahnya. Mereka semuanya serempak berdiri, seperti memberi tanda memberi hormat kepada anak muda itu.
"Terima kasih, Syafiq. Kau sudah menolong adikku. Terimalah hidangan atas rasa hormat bangsa kami."
Raksasa itu menyodorkan makanan dari wadah batok kelapa yang berisikan semut-semut berwarna merah, berukuran besar tidak seperti seekor semut pada umumnya.
Makanan yang dihidangkan untuk Syafiq itu telah dicampur dengan nasi putih oleh kedua raksasa-raksasa tersebut agar Syafiq bisa makan. Anak muda itu sempat ragu atas pemberian makanan kedua raksasa itu. Namun karena ia selalu mengikuti kata hatinya, akhirnya hidangan itu ia masukan juga ke dalam mulutnya dengan satu suapan.
Seorang gadis berpakaian sutera tadi, kemudian menghampiri Syafiq dan duduk di sebelahnya. Sepasang matanya yang indah terus memperhatikan anak muda itu.
"Terima kasih kau telah menolongku," ucap gadis itu tiba-tiba. Syafiq tidak menjawab, tapi hanya tersenyum.
"Kau dari bangsa manusia, Syafiq?" tanya gadis itu sambil memberikan senyum juga.
"Iya, benar aku manusia."
Pada saat Syafiq masih mengunyah makanan yang diberikan kedua raksasa tadi, tiba-tiba saja terdengar seruan seorang laki-laki yang tidak jauh dari tempat Syafiq dan para raksasa itu berkumpul.
"Syafiq...! Waktumu telah habis. Kembalilah ke alam Janaloka."
Nampak seorang kakek tua di hadapannya mengenakan pakaian serba putih, rambutnya pun telah memutih. Dan, tidak henti-hentinya ia memandangi anak muda itu dengan penuh rasa kagum. Syafiq hanya dapat melihatnya sebentar saja, sosok kakek tua itu yang memang belum pernah ia bertemu sebelumnyam. Namun, tiba-tiba dengan sekejap mata tempat itu pun menjadi gelap gulita.
Dilain tempat, tidak jauh dari pondok pesantren tengah berkumpul seluruh santri, santriwati dan para ustaz di kediaman Kiai Ageng Ungu pengurus Pondok Pesantren Pandan Wangi yang pada malam itu sedang diadakan doa bersama untuk selamatan atas santrinya yang bernama Syafiq yang menghilang sudah sembilan hari lamanya.
Kehilangannya santri itu dikabarkan oleh Herlina seorang santriwati yang, ketika itu juga pergi bersama Syafiq untuk ke pasar dan melewati hutan kecil yang tidak jauh dari pondok pesantren mereka. Para warga setempat dan dari pihak kepolisian telah melakukan pencarian berhari-hari ke dalam hutan, tetapi tidak membuahkan hasil.
Sebenarnya kabar kehilangan Syafiq membuat para santri dan santriwati juga para ustaz di pondok itu merasakan adanya keanehan dan juga kejanggalan yang tidak masuk akal logika manusia.
Pada saat itu juga dikejauhan, nampak samar-samar sesosok anak muda yang sedang berusaha memasuki halaman rumah Kiai Ageng Ungu dengan berjalan terseok-seok.
Semua mata memandang dan tertuju pada sosok yang sedang berusaha berjalan dengan penuh perjuangan.
Ketika sudah mendekat, semua yang hadir di tempat itu begitu terkejut melihat Syafiq yang wajahnya terlihat begitu kotor. Pakaiannya yang ia kenakan pun sudah compang-camping.
"Syafiq...!" Semua yang hadir di tempat itu begitu terkejut sekali melihatnya.
Kiai Ageng Ungu sedikit berlari menghampiri Syafiq dan, kemudian memeluknya, tetapi keadaan santri itu begitu lemah, sehingga tubuhnya ambruk di tanah dan tak sadarkan diri.
"Apa sebenarnya yang terjadi pada Syafiq, Kiai?" tanya salah seorang ustad di tempat itu.
"Ternyata Syafiq selama ini berada di alam gaib! Dan sudah menolong salah satu dari bangsa jin!"
"Astagfirullahal adziim, tapi saat ini bagaimana keadaan Syafiq, Kiai"
"Insya Allah Syafiq tidak apa-apa. Hanya saja sudah 9 hari ia tidak makan, makanan di alam kita."
"Astagfirullah, lalu bagaimana Kiai?"
"Kamu bawa Syafiq ke rumah Ummi Hajah, Ustadz Rehan! Dan nanti kalau Syafiq sudah sadar beri dia madu dan juga buah-buahan."
"Baik, Kiai...!"
Para santri dan warga desa ketika itu menjadi gempar, atas peristiwa yang terjadi pada santri tersebut, kemudian mereka berbondong-bondong menuju rumah Ummi Hajah untuk mendengarkan Syafiq bercerita selama ia berada di alam lain. [ ]